24. Mesin Waktu (3)

1112 Words
Isla berlari melewati gerbang sekolahnya dengan tergesa. Pagi ini gadis itu benar-benar datang terlambat karena ia semalaman tak bisa memejamkan kedua matanya, membuatnya harus repot-repot berdoa sepanjang perjalanan menuju sekolah, berharap kalau bel jam pertama belum berbunyi dan guru yang bertugas mengajar di kelasnya belum datang. Kedua kaki Isla berhenti sejenak di salah satu koridor yang mengarah ke kelasnya. Gadis itu berbalik dan menatap ke belakang saat merasa ada seseorang yang memperhatikannya namun ia tak menemukan siapa-siapa di sana. "Mungkin hanya perasaanku saja," gumamnya sebelum benar-benar memasuki kelas. "Kau terlambat lagi, Isla. Ada apa?" Teresa memutar kursinya ke belakang dan menatap Isla yang masih kepayahan dalam mengatur napasnya. "Aku tak bisa tidur semalaman," jawab Isla seraya meletakkan tasnya di atas meja. "Aku tadi sempat bertemu dengan Alex dan dia berkata padaku kalau semalam kalian tidak jadi pergi. Apa itu benar? Dia bilang kau tidak enak badan jadi dia kembali." Teresa melipat kedua tangannya di depan d**a dengan pandangan yang tak lepas dari Isla barang sedetik pun. "A-apa? Ah, iya, begitulah. Aku benar-benar tak bisa tidur semalam karena badanku agak panas. Kurasa ini gara-gara cuaca kemarin," ujar Isla. "Alex terlihat kecewa karena tak bisa pergi denganmu, tapi dia juga sangat khawatir," ujar Teresa. "Teresa, sudahlah. Aku tak mau membahasnya lagi dan berhentilah menjodohkan aku dengan Alex karena aku tak menyukainya." Isla mendengkus pelan. Teresa berkedip dua kali. "Tapi dia yang menyukaimu." Isla memutar kedua bola matanya, "terserah." *** "Apa yang harus kita lakukan dengan ini?" Denzel menatap kota Angelholm dari atas Trollehallar. "Menurutmu apa? Kau sudah tahu jawabannya, kan?" Hugo menyeringai tipis. Tidak lama setelahnya, awan-awan hitam mulai berdatangan bersamaan dengan angin yang bertiup kencang. Petir mulai menyambar Angelholm bersamaan dengan gerimis yang turun. Sebuah burung phoenix besar muncul dengan api di sekitarnya, membakar semua lahan di Trollehallar di tengah hujan yang begitu deras dan juga beberapa kali sambaran petir di beberapa tempat. *** "Kau tidak pergi ke Trollehallar lagi?" tanya Teresa saat melihat Isla yang tengah memainkan ponselnya. "Tidak." "Itu bagus—" "Ya Tuhan, Teresa, kau harus melihat ini!" Isla tiba-tiba menunjukkan layar ponselnya pada Teresa saat ia menemukan sebuah artikel. "Trollehallar mengalami kebakaran di tengah hujan deras?" Kedua mata Teresa sampai menyipit membaca artikel itu, bahkan ia harus memastikan penglihatannya kalau apa yang dia baca itu tidak salah. "A-apa maksudnya itu, ha? Apa kau sedang bercanda?" "Seperti yang kau lihat, Teresa. Ini aneh." Isla membaca kembali artikel di ponselnya. "Bagaimana mungkin hutan itu bisa kebakaran di tengah hujan deras seperti itu? Isla, aku semakin menyarankanmu agar kau tidak kembali ke sana lagi. Kau lihat, kan? Artikelnya baru saja keluar beberapa jam lalu. Di sini bahkan terasa begitu panas, tapi kini di Trollehallar terjadi hujan yang sangat mengerikan. Sudah, cukup. Kau jangan pergi ke sana atau sesuatu yang aneh juga akan menimpamu. Sudah kubilang kalau itu adalah hutan sihir!" Isla sama sekali tak mendengarkan semua ocehan yang keluar dari mulut Teresa. Gadis itu kini sibuk memperhatikan foto yang berhasil diambil dari kejauhan yang ada di artikel itu. Kejadian aneh seperti itu, sudah bisa ia tebak siapa pelakunya. "Jika cuaca terus seperti ini maka hancurlah pekerjaan BMKG dan mereka akan dicap sebagai penipu." "Sudah kubilang untuk tidak mempercayai ramalan cuaca seratus persen, Teresa," ujar Isla. Ia kembali memasukkan ponselnya ke dalam saku. "Isla kau sudah merasa baikan?" Tiba-tiba Alex datang ke kelasnya dan itu membuat Isla terkejut. "I-iya, aku merasa sedikit lebih baik sekarang. Kenapa kau ke sini?" tanya Isla. Sementara Teresa di depannya sudah memasang tampang yang super menyebalkan. "Aku merasa cemas padamu dan aku pikir hari ini kau tidak akan berangkat. Aku membelikan ini untukmu di kantin." Alex meletakkan sebungkus roti dan juga s**u kotak ke hadapan Isla, membuat Teresa di depan sana semakin menggila. "Terima kasih. Kau bisa pergi, aku harus belajar." "Baiklah, kalau begitu aku pergi dulu." Alex segera pergi dari sana, membuat Isla bisa langsung memelototi Teresa. "Astaga, kenapa kau mengusirnya? Kau bisa membiarkan Alex tetap berada di sini. Kau lihat, kan? Aku tidak berbohong sama sekali. Dia memang khawatir padamu," ujar Teresa. "Diam. Sudah kubilang kalau aku tidak ingin membahas hal itu lagi." Isla mendengkus sebal dan ia memasukkan roti dan s**u pemberian Alex itu ke dalam tas. *** Satu per satu murid keluar dari kelas, membuat ruangan itu juga terasa semakin sepi. Isla sengaja membiarkan Teresa pulang terlebih dulu karena ia harus pergi ke suatu tempat. Secara diam-diam, kedua kaki milik Isla bergerak keluar dari kelas dan gadis itu berjalan menaiki satu per satu anak tangga yang menuju ke perpustakaan sekolahnya. Ia memang tahu kalau buku tua yang ia temukan waktu itu tak ada di sana, namun entah kenapa kali ini, perasaannya menyuruhnya untuk pergi ke sana sepulang sekolah. Seperti yang ia duga sebelumnya, pintu perpustakaan menutup dengan sendirinya tepat setelah ia masuk ke dalam. Kedua matanya langsung menelisik setiap sudut ruangan untuk mencari keberadaan seseorang. "Aku tidak bisa menemukan keberadaanmu, tapi jika kau betah berada di perpustakaan sekolahku dengan cara seperti ini, maka orang-orang akan mengira kalau ruangan ini berhantu," ujar Isla seraya mendekati salah satu rak. "Jika orang-orang di sini menganggap kalau ruangan ini berhantu, kenapa kau berani datang ke sini seorang diri di saat sekolahmu sudah sepi?" Seseorang menyahut. "Aku hanya ingin memastikan satu hal," ujar Isla. "Soal apa?" Seseorang memperhatikan gerakan Isla dari balik salah satu rak buku, namun gadis itu belum menyadari keberadaannya. "Ini tentang buku yang waktu itu. Apa kau ... benar-benar yang menyimpan buku itu?" "Kenapa aku harus memberitahumu?" "Aku ingin memastikan kalau apa yang ada di buku itu, memang berisi tentang Betelgeuse. Di sana pasti sudah tertulis jika suatu hari nanti Betelgeuse akan redup dan kemungkinan terburuknya akan hancur. Tapi pasti ada cara, bagaimana mempertahankan bintang itu tanpa harus merebut habis kekuatan dari planet atau bintang yang lain." Isla menatap ke sekitarnya. Salah satu sudut bibir Tao naik. "Tidak ada. Jika kau benar-benar ingin tahu, akan aku beritahu sekarang. Di dalam buku itu, ada beberapa halaman yang hilang dan aku tidak tahu itu berisi apa saja. Kau puas?" "Hilang?" Kening Isla mengerut. Tepat ketika ia berbalik, ia menemukan Tao yang sudah berdiri menghadapnya. "Aku sudah pernah menunjukkan buku itu padamu tapi kau tidak tertarik sama sekali. Lalu kenapa sekarang tiba-tiba kau mencarinya dan menemuiku?" Kedua kaki milik Tao perlahan bergerak maju mendekati Isla, membuat Isla refleks memundurkan tubuhnya. "Aku hanya ingin mengetahui caranya. Karena aku yakin, jika sampai kalian membuat bumi ini benar-benar hancur, maka itu tidak ada pengaruh apa-apa untuk Betelgeuse," ujar Isla. Ia semakin terpojok saat punggungnya sudah membentur permukaan rak, membuat pergerakannya lebih terbatas sementara Tao terus bergerak ke arahnya. "Lantas jika aku memberikan buku itu sekarang padamu, apa yang akan aku dapatkan sebagai imbalan?" Salah satu sudut bibir milik Tao naik. —TBC
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD