"Dilaporkan bahwa akan terjadi badai dari arah barat menuju ke arah Swedia dengan kecepatan sekitar 20 km/jam. Diperkirakan badai ini akan melintas dalam kurun waktu satu hari. Pemerintah menghimbau agar masyarakat pergi ke tampat yang aman demi keselamatan masing-masing dan berlindung di ruangan bawah tanah."
"Ini tidak bagus." Isla mencebikkan bibirnya. Maria yang duduk tepat di sebelahnya hanya memandangi layar TV sebelum akhirnya wanita itu membuang napasnya pelan.
"Ingat, Isla. Jangan pergi ke mana pun mulai nanti malam dan tetaplah berada di rumah. Kita akan berlindung di ruang bawah tanah," ujar Maria.
Isla mendengkus pelan, "Aku benci musim panas kali ini. Kita bahkan seperti tak diizinkan liburan di pertengahan tahun ini. Padahal tahun-tahun sebelumnya tak pernah seperti ini," ujarnya.
"Mungkin jika besok pagi badai itu benar-benar akan mengamuk saat sampai di negeri ini, semua sekolah kemungkinan akan diliburkan." Maria membawa gelas-gelas kotor yang ada di meja dan membawanya kembali ke dapur untuk segera dicuci.
"Tidak bisakah kita pergi ke Angelholm, Ibu? Rasanya aku takut jika berada di sini. Yah, berita itu memang tak selalu akurat seratus persen tapi perasaanku mendadak tak enak. Bagaimana jika rumah kita hancur?" ujar Isla tanpa mengubah posisi duduknya.
"Jangan berkata yang tidak-tidak dan tetaplah berdoa kepada Tuhan, Isla. Lagi pula kita tidak ada waktu ke Angelholm sekarang dan lagi hari sudah menjelang malam, kau sendiri tahu kan, kalau beberapa hari terakhir ini cuaca di sini sedang menggila dan abnormal. Lagi pula kau dan Rhys masih dalam masa pemulihan." Maria mulai menyabuni satu per satu peralatan makan yang berada di dalam wastafel.
Sementara itu di sofa, Isla memeluk kedua lututnya dan gadis itu menatap lurus ke arah TV selama beberapa saat, sebelum akhirnya ia membuang pandangannya ke arah seorang pria yang terlihat masih tertidur pulas di dekat perapian sejak tadi siang.
"Ini aneh. Tidak biasanya Rhys tertidur selama ini saat siang," gumam Isla. "Apa dia menjadikan tidur sebagai cara untuk memulihkan tenaganya?" Ia sama sekali tak ada niatan membangunkan pria itu karena ia sendiri paham dengan betul bagaimana siklus tidur Rhys selama ini. Pria itu benar-benar membutuhkan waktu tidur yang lebih optimal dan saat ini, ia harus memanfaatkannya dengan sebaik mungkin.
Isla lalu membaringkan tubuhnya di sofa dan kembali melanjutkan menonton TV, setelah sebelumnya ia memindahkan siaran TV itu ke sebuah drama. Ia tak ingin lagi menonton berita yang hanya menayangkan informasi-informasi mengerikan yang membuatnya tak bisa tidur dengan tenang, bahkan untuk memejamkan kedua matanya pun ia merasa begitu sulit karena pikirannya yang terganggu.
***
Sebuah pusaran air di salah satu samudera terlihat berputar dengan kecepatan yang cukup kencang, diikuti oleh angin yang bertiup dengan kuat dan juga langit yang semakin menggelap.
"Kau tahu, kan, melakukan hal seperti ini akan membuat tenagaku cepat habis." Denzel menatap Kai yang berdiri tidak jauh darinya.
Kai menaikkan salah satu alisnya dan pria itu kemudian berujar, "kau itu kuat Denzel. Aku yakin tentang itu. Lalu setelahnya, Kai langsung berteleportasi dari sana ke tempat lain dan setelahnya, petir-petir pun mulai terdengar menyambar ke sana dan kemari."
"Dia selalu bersikap seenaknya," ujar Denzel seraya menggelengkan kepalanya. Ia lalu menatap ke langit, menatap sesuatu yang berterbangan ke sana.
"Lautan di Bumi ini sangat banyak dan luas, hampir menutupi semua permukaan bumi dan Kai ingin kau mengambil semua hidrogen yang ada di sini?" Aric berjongkok di sebuah tebing dan melihat pusaran air itu dengan saksama, "kurasa dia memang sudah tidak waras."
"b*****h itu benar-benar berniat membunuhku," ujar Denzel. Beberapa pohon ikut tercabut karena angin di sana yang bertiup dengan begitu kuat.
Aric tertawa pelan. "Salju-saljuku sudah hamoir semuanya mencair dan sulit sekali rasanya jika ingin melelehkan semua es yang ada di masing-masing ujung bumi. Tubuhku akan berubah menjadi tulang belulang." Ia melemparkan gumpalan es dan menyingkirkan beberapa kerikil yang hampir mengenai dirinya dan Denzel.
Petir-petir semakin menghiasi langit dan itu membuat Denzel semakin was-was, "Awas saja jika Herc menyambarku. Aku pasti akan bangkit dari kuburanku sendiri dan menguburnya secara hidup-hidup," geram Denzel.
Di sebelahnya, Aric dibuat terbengong-bengong. Selama ini ia mengenal Denzel adalah seseorang dengan pribadi yang begitu tenang, layaknya air yang menjadi sumber kekuatannya. Denzel jarang sekali terlihat dengan emosi yang meledak-ledak. Ia seperti air yang bisa dengan mudah memadamkan api, tak peduli sepanas apapun itu. Namun kali ini mungkin lebih tepatnya beberapa hari terakhir, Aric justru melihat sisi lain Denzel untuk yang pertama kali, di mana Denzel benar-benar terlihat lelah dan juga kesal.
Mungkin karena sikap Kai?
"Kenapa kau malah melamun?" tegur Denzel saat menyadari kalau Aric malah melamun seraya menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan.
"Ah, tidak ada," jawab Aric. Ia lalu berdiri dan kembali menyingkirkan bebatuan yang hendak menghalanginya dan Denzel.
"Ngomong-ngomong, Aric. Apa kau juga merasakan hal yang aneh? Keberadaan Rhys sama sekali tak bisa dijangkau dan itu aneh. Hanya seseorang yang memiliki kemampuan tinggi yang bisa melakukan itu. Bahkan seorang Kai pun tak bisa menemukannya. Sekali pun ia tahu kalau Rhys ada di rumah gadis manusia yang bernama Isla itu, ia tak bisa mencapainya dan justru selalu kembali ke tempat semula," ujar Denzel.
"Aku juga memikirkan hal itu selama beberapa waktu terakhir dan itu memang cukup mengganggu. Hal itu biasanya dilakukan untuk melindungi peninggalan leluhur agar tak seorang pun bisa dengan mudah mengambilnya. Apa mungkin Rhys diam-diam mempelajari itu?" Aric melipat kedua tangannya di depan d**a.
"Di antara kita, hanya Tao yang bisa melakukannya. Dan selama ini Tao juga bersama kita. Kau sendiri tahu bagaimana sifat Tao. Jangankan dengan Rhys, dengan kita yang merupakan satu tim dengannya, Tao bahkan bersikap begitu tertutup. Jadi aku ragu kalau dia yang ada di balik semua ini." Denzel menggerakkan angin di depan sana secara perlahan menuju ke arah timur.
"Raja sengaja memilih Tao untuk melindungi buku itu, jadi kurasa tak mungkin Tao melakukannya. Tao bukan sembarangan orang yang bisa dengan mudah melakukan itu, jadi tidak heran jika raja memilihnya. Dia juga bisa membelokkan waktu dan itu sangat berguna saat ada yang menyerangnya secara tiba-tiba," ujar Aric.
"Ayo berpindah ke tempat lain. Pusaran air ini sudah kuatur agar dia bisa berhenti sendiri nantinya." Usai mengatakan itu, Denzel langsung pergi dari sana bersama dengan Aric.
***
Tao memandangi langit yang kala itu tengah mendung di atas sana. Kedua matanya menyipit, menatap sebuah pusaran angin besar yang terletak cukup jauh darinya.
Sebuah tanda yang berbentuk hourglass di salah satu punggung tangannya terlihat bersinar di detik berikutnya dan tubuhnya berbalik. Bersamaan dengan itu, sebuah ranting pohon langsung terbagi menjadi dua bagian dan melesat melewati kepalanya.
Ranting yang terbawa oleh angin kencang di sekitarnya itu pun terbang dan menghilang dari pandangan Tao entah ke mana.
Hingga tidak lama setelahnya, Tao kembali menatap ke arah pusaran besar tadi dan perlahan ia melihat dua titik dari arah sana yang perlahan mendekat ke arahnya. Itu adalah ... Denzel dan Aric.
"Oh! Tao!" Aric yang terlebih dulu melihat Tao itu pun langsung turun ke bawah dan menghampirinya, disusul oleh Denzel tidak lama setelahnya.
"Kau berada di sini, ternyata. Sedang apa kau?" tanya Aric.
"Pusaran angin itu, kau yang melakukannya?" tanya Tao seraya menatap Denzel.
Tubuh Aric membatu setelahnya dengan kening yang mengerut, menatap Tao kesal karena ia benar-benar diabaikan oleh pria itu dan pertanyaannya tak dijawab sama sekali, malah berbalik bertanya pada Denzel dan menganggapnya seolah-seolah tak ada di sana.
"Kurang ajar kau, Tao," geram Aric.
"Ya, itu aku yang melakukannya. Ada apa?" ujar Denzel.
"Kau menyerap hidrogen dan membawanya ke atas sana?" Tao lantas menengadah, menatap sesuatu yang berterbangan memasuki langit.
"Hidrogen itu gas yang mudah terbakar, sangat rapuh tapi dia kuat. Aku dan Aric membuat sebuah penghalang di sana agar mereka semua sampai ke Betelgeuse dan memulihkannya secara perlahan. Kau tahu, aku juga awalnya berpikir sama denganmu kalau Kai memanglah menyebalkan tapi kurasa dia tidak sepenuhnya salah. Ternyata planet ini memanglah mengandung hidrogen yang melimpah dan itu sangatlah menguntungkan. Oh, iya, soal pusaran air yang di sana itu, kau tak usah khawatir. Itu akan berhenti sendiri nanti. Tapi kusarankan kau jangan mendekat karena itu sangatlah kuat dan berbahaya," ujar Denzel. Pria itu setengah berbisik di akhir kalimatnya dan tertawa pelan. "Sudah, ya, aku dan Aric akan berpindah ke tempat lain." Denzel menepuk pelan pundak Tao dan ia kembali melanjutkan perjalanannya bersama dengan Aric.
Sepeninggal Denzel dan Aric, Tao kembali menengadahkan kepalanya ke atas langit sana. Ia menyipitkan kedua matanya, menatap sebuah penghalang yang samar-samar bisa ia lihat dengan kedua matanya. Partikel air dan es yang menyatu itu membuat sebuah kesatuan yang cukup kokoh hingga benar-benar melewati langit di atas sana. Sebuah penghalang yang tak akan bisa dilihat oleh kedua mata milik manusia biasa.
***
Isla segera menutup jendela kamarnya saat merasa kalau angin di luar sana mulai bergerak tak beres tak seperti biasanya. Gadis itu juga menutup pintu yang mengarah ke balkon dan tidak lupa ia juga menguncinya.
Di luar sana, langit benar-benar mengerikan. Ia sempat mengintip ke luar dan tak melihat ada satu orang pun yang ada di luar. Orang-orang benar-benar mematuhi himbauan pemerintah kali ini.
"Sudah dimulai, ya."
Isla berbalik dan menatap Rhys yang entah kapan sudah berada di dalam kamarnya.
"Ah, kau sudah bangun?" ujar Isla. "Kau tidur lama sekali, Rhys. Aku sempat khawatir karena kupikir kau sakit."
Rhys tersenyum tipis. "Aku tidak apa-apa. Hanya memulihkan sedikit tenagaku. Sekarang tubuhku terasa jadi sedikit ringan dari sebelumnya, aku akan baik-baik saja," ujarnya.
"Benarkah? Baguslah." Isla kembali menutup gorden kamarnya namun suara milik Rhys kembali menghentikannya.
"Tunggu!"
"Hm? Ada apa?" Isla menatap Rhys.
"Buka lagi tirainya," titah Rhys.
Isla pun menurut dan gadis itu kembali membuka tirainya.
Kedua kaki milik Rhys berjalan mendekati jendela kaca itu dan keningnya pun mengerut. Pria itu menatap sebuah garis yang membentang man jauh di sana.
"Ada apa? Apa kau melihat sesuatu?" tanya Isla.
"Isla, apa kau bisa melihatnya?" ujar Rhys tanpa mengubah posisinya.
Kedua alis milik Isla saling bertaut dan gadis itu mencoba mengikuti arah pandangan Rhys. Kedua matanya menyipit melihat keadaan di luar. Hanya ada kabut dan juga angin-angin yang tengah mengamuk.
"Tunggu! Apa itu?"
"Kau ... melihatnya?" Rhys menatap Isla. Manusia tak mungkin bisa melihatnya, Rhys yakin akan hal itu. Penghalang yang dilihatnya barusan, yang tidak lain diciptakan dari partikel es dan air yang dibentuk oleh Denzel dan juga Aric, seharusnya tak akan bisa dilihat oleh penglihatan manusia.
Tidak mungkin jika Isla bisa melihatnya.
"Itu ... apa? Apa yang di langit itu ... sebuah pertanda baik, atau justru sebaliknya?" ujar Isla tanpa melepaskan pandangannya barang sedetik pun.
Kedua mata milik Rhys membulat. "Tidak mungkin. Isla hanyalah manusia biasa, harusnya dia tak bisa melihat itu," batin Rhys.
"Oh! Mereka menghilang!" ujar Isla setelahnya.
Rhys kembali menatap ke luar sana dan penghalang itu sudah menghilang dari sana. Jika dugaan Rhys benar, maka kemungkinan besar hal yang sama akan terjadi di belahan langit yang lain. Denzel dan Aric pasti tak akan berhenti begitu saja apalagi setelah mereka tahu kalau kandungan hidrogen yang ada di bumi sangat berlimpah.
"Apa itu hanya sinar matahari yang berhasil menembus awannya? Tapi tunggu, ini kan sudah malam. Matahari tidak seharusnya masih terlihat, kan?" Isla menatap kembali ke luar sana dan cahaya yang di luar sana tadi benar-benar sudah menghilang dan tak terlihat lagi dari pandangannya.
"Astaga, harusnya ini jadi waktu makan malam yang menyenangkan tapi malah begini." Isla membuang napasnya kasar. Gadis itu lalu mendudukkan tubuhnya di kasur dan mengambil ponsel, melihat satu per satu notifikasi yang masuk dan ia juga membalas pesan yang dikirimkan oleh Teresa beberapa waktu lalu.
Rhys yang masih berdiri menghadap jendela kaca itu pun kemudian berbalik dan menatap Isla yang terlihat masih sibuk dengan ponselnya.
"Tidak mungkin. Kenapa Isla bisa melihatnya?" batin Rhys. Ia merasa ada sesuatu yang aneh, yang memang hal itu tak seharusnya terjadi pada Isla.
"Rhys, ayo turun dan makan malam. Kurasa badai ini tak semengerikan seperti yang ada di dalam berita," ujar Isla. Gadis itu meletakkan ponselnya kembali ke atas ranjang dan beranjak dari sana. "Ada apa? Kenapa kau menatapku begitu? Apa ada yang aneh?" Isla berujar sesaat setelah ia menyadari kalau Rhys menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan, seolah menemukan adanya hal aneh pada dirinya.
"Ah, tidak ada. Iya, ayo turun." Rhys tersenyum tipis dan ia segera mengikuti langkah Isla turun ke lantai bawah.
***
"Itu ... apa? Apa yang di langit itu ... sebuah pertanda baik, atau justru sebaliknya?"
"Apa itu hanya sinar matahari yang berhasil menembus awannya? Tapi tunggu, ini kan sudah malam. Matahari tidak seharusnya masih terlihat, kan?"
"Penghalang yang sudah jelas-jelas milik Denzel dan Aric itu ... Isla bisa dengan jelas melihatnya," gumam Rhys. Ia lalu menolehkan kepalanya ke jendela. Angin-angin yang beberapa saat yang lalu mengamuk itu kini sudah tak terlihat lagi, dan digantikan oleh semilir angin biasa yang tak berbahaya.
"Ada sesuatu yang terjadi, tapi aku tak tahu itu apa. Kurasa aku harus mencari sesuatu dan menanyakan beberapa hal padanya." Rhys kemudian berjalan mendekati jendela kamarnya dan ia perlahan membuka benda itu hingga angin-angin yang ada di luar pun berhasil masuk ke dalam kamarnya.
"Kai dan juga yang lainnya sama sekali tak menunjukkan tanda-tanda datang ke sini lagi, entah mereka yang terlalu sibuk mengurusi segala gas alam yang ada di bumi, atau mungkin—" Rhys menggantungkan kalimatnya, dengan kedua mata yang membulat. "Posisiku dan Isla tak bisa mereka jangkau? Tapi kenapa?"
Kedua bola mata Rhys perlahah berubah menjadi warna biru safir dan pria itu sudah bersiap melompat ke luar dari jendela.
"Aku harus mencari tahu sendiri."
"Rhys?"
Kedua kaki Rhys yang sudah bersiap melompat itu pun ia urungkan kembali dan pria itu pun mengubah kembali warna kedua matanya dan lantas menolehkan kepalanya ke belakang dan menatap Isla yang sudah berdiri di ambang pintu.
"Ada apa? Apa terjadi sesuatu? Apa kau merasakan sesuatu yang aneh?" tanya gadis itu.
"Kenapa kau belum tidur?" Rhys tak menjawab pertanyaan Isla sama sekali dan justru malah berbalik bertanya.
"Aku baru saja minum dari bawah dan tak sengaja melihat lampu kamarmu masih menyala. Kau sendiri kenapa belum tidur?" ujar Isla.
"A-ah, aku tidak bisa tidur." Rhys menyunggingkan seulas senyuman tipis pada gadis di depannya.
"Apa ada sesuatu yang mengganggumu pikiranmu? Apa kau merasa tak nyaman?" Isla kembali bertanya.
"Entahlah, mungkin bisa dibilang seperti itu. Atau kurasa ini hanya karena aku terlalu lama tidur tadi siang." Rhys terkikih pelan.
Hening di antara mereka selama beberapa saat sebelum akhirnya Rhys berjalan mendekati Isla, hingga mereka benar-benar berhadapan satu sama lain dengan jarak yang dekat.
"Ada apa?" tanya Isla seraya menatap Rhys yang lebih tinggi darinya.
Rhys tak langsung menjawab. Kedua bola matanya pun perlahan kembali berubah menjadi warna biru safir dan bertumbuk dengan kedua mata Isla yang begitu teduh seperti biasanya.
"Maafkan aku, Isla," lirih Rhys.
Di detik berikutnya tubuh Isla langsung limbung dan ambruk dengan kedua tangan milik Rhys yang dengan sigap menahannya.
"Aku tak bisa menanyakannya langsung padamu, jadi aku terpaksa harus memeriksanya sendiri." Rhys membaringkan tubuh Isla di atas ranjang dan pria itu meletakkan jari telunjuk dan jari tengahnya di dahi milik Isla, lalu membentuk sebuah simbol di sana sebelum akhirnya ia ikut memejamkan kedua matanya.
Rasanya hangat dan damai, seolah tak ada sedikit pun kegelapan yang ada di dalam diri gadis bernama Isla itu. Rhys terus bergerak ke dalam, menelusuri setiap sudut bagian dari alam bawah sadar gadis itu, lalu bergerak menuju hatinya.
Sebuah sengatan kuat mengaliri tubuh Rhys hingga pria itu membuka matanya dengan segera. Ia melepaskan tangannya dan menatap sesuatu yang melesat melewati jendela kamar hingga berhasil menghindarinya. Pria itu bangkit dari posisinya dan berjalan ke jendela, namun tak menemukan adanya tanda-tanda seseorang di luar sana. Rhys lalu berbalik dan berjalan mendekati sosok benda tadi. Ia berjongkok, menatap benda itu dengan saksama.
Sebuah anak panah berukuran kecil yang panjangnya hanya sepanjang jari telunjuk orang dewasa. Rhys hendak mengambilnya namun sebelum tangannya menyentuhnya, benda itu langsung menghilang menjadi butiran-butiran yang berukuran lebih kecil sebelum akhirnya benar-benar menghilang dari sana.
"Kenapa benda itu bisa berada di sini?" gumam Rhys. Salah satu benda yang dikhususkan untuk menjaga sesuatu yang teramat berharga. Sebuah penghalang yang dipasang akan bereaksi saat ada sesuatu yang menyentuhnya dan mencoba menerobos.
Rhys lalu menolehkannya pada Isla yang masih terbaring di atas ranjang.
Seseorang dengan sengaja memasang sebuah penghalang di dalam tubuh milik Isla agar tak seorang pun bisa masuk dan menelusuri ke dalam diri gadis itu, lengkap bersama dengan panah suci yang memang sudah diatur untuk menyerang dan bahkan melenyapkan siapa saja yang sudah terlanjur menyentuh penghalang itu. Panah itu akan secara otomatis menyerang, tanpa pandang bulu.
Penghalang yang hanya bisa diciptakan oleh orang-orang penghuni di Betelgeuse itu, Isla memilikinya dan itu membuat Rhys semakin merasa ada yang aneh. Ia yang merupakan seorang dengan kemampuan pengendali pikiran dengan tingkat cukup tinggi pun tak bisa sepenuhnya masuk ke dalam pikiran Isla dan benar-benar gagal masuk ke dalam hati milik gadis itu, yang berarti ada sesuatu yang benar-benar disembunyikan di dalam sana.
"Apa mungkin Isla pernah ditangkap oleh Kai selama aku tak sadarkan diri?" lirih Rhys. "Isla, sebenarnya siapa yang sudah melakukan ini padamu?"
***
"Aku berangkat." Isla menggendong tasnya.
"Kau yakin tak ingin Ibu antar?" ujar Maria.
"Ah, tidak perlu. Cuacanya cerah hari ini, Ibu lihat sendiri, kan? Semuanya akan baik-baik saja. Lagi pula aku sudah lama tidak berangkat ke sekolah. Ya sudah, aku berangkat dulu." Dengan setengah berlari, Isla keluar dari rumahnya.
Begitu melewati pagar rumahnya, Isla lalu berbalik dan menatap ke salah satu jendela kamar yang ada di rumahnya. Gadis itu tersenyum lebar dan melambaikan tangannya ke arah seseorang yang berdiri di sana.
Isla kembali berlari menuju halte dan langsung memasuki bus yang sudah sampai di sana. Gadis itu melihat ada kursi kosong dan langsung mendudukkan tubuhnya di sana, tepat di sebelah jendela.
"Hampir saja." Isla membuang napasnya pelan seraya menyandarkan punggungnya dan menatap pemandangan yang ia lewati di luar sana.
"Lukamu sudah membaik?" Tiba-tiba seseorang berujar.
Tunggu, suara ini—
Isla dengan segera menolehkan kepalanya ke sebelah dan ia menemukan Tao yang entah kapan sudah duduk di sebelahnya.
"Kau—" Kedua mata gadis itu membulat.
"Hmm ... masih ada bekasnya, ya." Tao mengamati wajah Isla yang masih dihiasi oleh beberapa luka yang sudah mengering. "Pemulihanmu cepat juga, ya."
Isla dengan segera membuang pandangannya kembali ke luar jendela, "Aku tak mengatakan apa-apa pada Rhys, sesuai yang kau perintahkan waktu itu," ujarnya.
"Ya, aku tahu. Aku bisa tahu soal itu bahkan meskipun kau tidak mengatakannya padaku sama sekali," ujar Tao.
"Kurasa Rhys tak mengatakan soal apa-apa tentang semalam yang dia berusaha menelusuri pikiran dan hatinya," batin Tao. "Rhys pasti sudah mencurigainya."
"Terima kasih." Tiba-tiba Isla berujar.
Tao melirik gadis di sebelahnya, "Untuk?"
"Kau sudah menolongku dan Rhys," ujar Isla tanpa mengalihkan pandangannya dari pemandangan yang ada di luar. "Kau, juga melepaskanku sewaktu berhasil menangkapku. Kau bahkan juga tak memberitahu Kai dan yang lainnya, padahal itu adalah kesempatan yang bagus."
"Membunuhmu itu hal yang mudah. Tanpa bantuan dari Kai dan juga yang lainnya, aku bisa membunuhmu kapan saja dan di mana saja, bahkan tanpa harus menyentuhmu."
Kedua alis milik Isla lalu bertaut. Gadis itu lalu menoleh ke sebelahnya dan Tao sudah tak ada di sana. Pria itu sudah berteleportasi ke tempat lain.
Isla seketika dibuat bingung. Kenapa Tao bisa dengan mudah muncul di hadapannya tapi hal itu justru tidak berlaku untuk Kai yang notabene-nya adalah pengguna teleportasi? Pria itu dan juga teman-temannya yang lain sudah beberapa hari terakhir tak menampakkan batang hidungnya di hadapannya maupun di hadapan Rhys, sementara Tao bisa dengan mudah menemuinya.
Bersamaan dengan itu, bus yang Isla tumpangi pun sampai di sekolah. Gadis itu segera turun dan ia mencoba tak memikirkan kalimat Tao yang dikatakan padanya beberapa saat lalu.
Isla mempercepat langkahnya dan tak sabar menemui teman-temannya, terutama Teresa, walaupun ia yakin kalau Teresa akan bereaksi heboh saat melihat bekas-bekas luka yang menggores permukaan wajahnya walau pun sudah mengering.
—TBC