"Apakah tadi Baba memarahimu, Siti?" tanya Nona Sophia tanpa Siti duga.
Dalam hati, Nona Sophia merasa bersalah atas kejadian tadi siang, hingga Siti dipanggil oleh ayahnya dan dipanggil ke ruang kerja, biasanya untuk dimarahi. Hal ini membuat Nona Sophia sangat takut Siti tidak akan mau bermain lagi dengannya.
Oleh karena itu, sang Nona kecil mengejar Siti ke taman untuk mengakrabkan dirinya kembali dengan Siti. Berharap Siti tetap akan menjadi temannya bila dia konsisten mendekat. Betapa polosnya pikiran seorang anak ....
Namun, kepolosan anak-anak kadang menjadi pisau bermata dua. Nona Sophia yang lugu tentu tidak mengerti apa yang saat ini sedang dia ucapkan. Tak mengerti betapa bahayanya pertanyaan yang dilontarkan.
Siti pun tahu bahwa Nona Sophia tidak bermaksud berbuat jahat kepadanya. Tampak dari wajahnya yang tak merasa bersalah dan dengan tulus menunggu jawaban dari Siti. Tentunya, tetap dengan penuh kekhawatiran dan rasa ingin tahu, apakah ayahnya tadi membuat Siti ketakutan atau tidak.
'Gawat'.
Siti memekik panik dalam hati.
Mengerikan sekali bila Madam Aisha mengetahui atau menebak apa yang tadi terjadi antara dia dengan tuannya. Bisa-bisa akan terjadi kecurigaan dan salah paham yang tidak perlu.
Siti harus berpikir cepat untuk mencegah hal yang lebih buruk lagi. Namun, apa yang harus dia lakukan? Bagaimana dia akan mencegah Nona Sophia mengatakan sesuatu yang tak perlu mengenai dirinya yang tadi tertangkap basah oleh Tuan Khalid sedang menari di kamar Nona Sophia?
Siti berusaha tetap tenang, agar tidak tampak mencurigakan di depan Madam Aisha. Kemudian, dia pun akhirnya menjawab pertanyaan Nona Sophia, "Tentu saja tidak, ta—"
"Aaarrrgghhh!!!" ("Aaaahhh!!!") pekik Siti dan Nona Sophia bersamaan melihat pemandangan buruk yang tiba-tiba terjadi di hadapan mereka.
Madam Aisha pucat dan nyaris tumbang dari kursi yang didudukinya. Untunglah Siti dengan sigap berdiri untuk menangkap dan menopang tubuh Madam Aisha agar bisa kembali duduk di kursi.
"Madam ... Madam Aisha ... apakah Anda bisa bertahan?" Siti yang panik, mencoba menopang tubuh Madam Aisha yang lebih besar darinya. Namun sungguh berat. "Madam ...."
Nona Sophia yang masih terlihat sangat terkejut, berusaha menutup muka dengan tangan kecilnya. Matanya terbelalak ngeri menyaksikan langsung apa yang terjadi pada Madam Aisha.
Siti tak tahu lagi apa yang harus dilakukan untuk membantu sang Madam. Akhirnya, dia menurunkan tubuh majikannya yang setengah sadar ke lantai dan membaringkannya. Jauh lebih baik daripada harus membiarkannya di kursi dengan resiko terjatuh karena Siti tak kuat berlama-lama menopang tubuhnya.
"Tolong! Tolong!" teriak Siti sekeras mungkin agar ada yang mendengarnya. Namun, tak ada seorang pun yang terlihat mendatangi mereka.
Siti meraba-raba sakunya, namun tidak menemukan apa yang dia cari.
Ponsel!
Betapa sangat menyesal Siti karena meninggalkan benda penting itu di dapur saat membantu Alya tadi. Pandangan Siti terarah pada satu-satunya manusia lain yang berada di dekatnya.
"Nona, bisakah anda memanggil Baba kemari? Atau siapa pun yang Nona temui. Tolonglah!" pinta Siti kepada Nona Sophia. Namun, Nona kecil itu tetap tak bergeming. Terpaku diam tak bergerak. "Nona, saya mohon ...."
Permintaan Siti sia-sia. Sang nona kecil tidak bergerak sama sekali. Hanya terdiam dan menatap ngeri. Mungkin, pemandangan ini terlalu berlebihan untuk anak seusianya.
"Siti ...," bisik Madam Aisha pelan dan lemah. Bibir dan mukanya putih seperti kertas. Matanya sedikit membuka, tangannya yang dingin, meremas pelan tangan Siti.
Siti terus menerus minta tolong, tanpa melepaskan genggamannya dari tangan Madam Aisha. Namun, tak ada yang mendengarnya. Entah karena suaranya yang tergetar hebat, kelunya lidah, tenggorokannya yang tercekat, ataukah memang karena tidak ada orang di dekat mereka?
"Madam, bertahanlah. Saya akan memanggil bantuan!" kata Siti kepada Madam Aisha, berusaha untuk tidak panik dan berpikir jernih. Sebisanya.
Siti kemudian berlari ke dalam rumah, menuju ruang kerja Tuan Khalid. Dalam perjalanan, dia berpapasan dengan Ms. Aziza. Siti agak memperlambat larinya dan berseru kepada Ms. Aziza yang sudah mendelik hendak memarahi Siti yang berlari kencang di dalam rumah.
"Ms. Aziza, tolong telepon rumah sakit!" seru Siti sambil tetap berlari. Dia sudah melupakan adab di rumah ini karena keadaan darurat. "Madam Aisha pingsan di taman."
Ms. Aziza yang lebih profesional dan matang menghadapi situasi seperti ini, hanya panik sebentar saja, kemudian segera melakukan apa yang diminta Siti.
Siti terus berlari menyusuri lorong menuju kamar kerja Tuan Khalid. Dia mengetuk pintu sekeras-kerasnya hanya untuk memberitahu bahwa dia akan masuk ruangan walau tanpa izin dari tuannya.
Tuan Khalid yang tadinya duduk menyilangkan kaki di meja, terperanjat dan hampir marah karena ada yang menerobos masuk ruangannya tanpa izin. Namun, beliau hanya sempat membuka mulutnya saja. Tidak jadi memarahi Siti. Karena hanya dengan melihat kepanikan Siti yang berlebihan, sang Tuan sudah tahu bahwa sesuatu yang gawat sedang terjadi.
"Sir, Madam Aisha pingsan di taman!" seru Siti dalam keadaan yang sangat panik.
"Apa!?" tanya Tuan Khalid terperanjat. Air mukanya berubah, tanda beliau terkejut dengan apa yang telah didengarnya. Terpaku sejenak, mencerna apa yang diinformasikan oleh Siti.
Beliau tidak pernah mendengar laporan apa pun dari dokter mengenai kandungan Madam Aisha. Apalagi kandungan istri pertamanya dulu baik-baik saja. Tuan Khalid merasa tidak siap dengan hal seperti ini.
"Sir! Istri Anda yang sedang mengandung!" jelas Siti sekali lagi. "Pingsan!" bentak Siti hampir seperti marah karena tuannya tidak segera paham apa yang dia katakan.
Begitu menyadari sepenuhnya yang telah terjadi, Tuan Khalid segera melemparkan berkas-berkas di tangannya ke atas meja. Tak lama kemudian, mereka segera berlari menuju taman belakang, di mana semua pembantu telah berkerumun di sekeliling sang Madam.
"Kita tak mungkin menunggu ambulans. Takut terlambat," kata Siti berusaha menjelaskan kepada Tuan Khalid. "Gejala pertama yang saya tahu sudah muncul lebih dari tiga puluh menit yang lalu. Saya tidak tahu apakah sebelumnya sudah terjadi gejala seperti ini."
Tanpa menunggu lama, Tuan Khalid kemudian menggendong Madam Aisha ke mobil, menuju rumah sakit.
Seharusnya, ketika seorang suami yang menggendong istrinya dengan gaya pengantin baru, akan terlihat sebagai pemandangan yang romantis. Namun, tak seorang pun yang ada di sana yang merasakan demikian. Yang ada di benak mereka hanyalah kepanikan yang mencekam, mengkhawatirkan kondisi nyonya rumah yang sedang kritis.
Menit-menit berikutnya, yang terdengar hanyalah isak tangis dan doa.
***
****
*****
Satu jam setelah insiden.
Matahari sudah hampir terbenam. Para pelayan di rumah Tuhan Khalid sekarang sudah kembali ke pos masing-masing. Para madam sudah kembali ke kamar masing-masing. Hanya terlihat Nona Sophia dan Mi yang masih terpaku di taman belakang. Nona kecil itu itu masih terdiam di tempatnya berdiri sejak tadi sore. Tak bergeser sedikit pun, seolah tersihir menjadi batu.
Mi yang dari tadi berusaha untuk membujuk Nona Sophia, kini sudah hampir putus asa. Semua perkataan Mi seolah tak terdengar oleh Nona Sophia. Namun, Mi tidak punya pilihan. Dia tetap harus membujuk Nona Sophia karena itu sudah menjadi tugasnya. Kasihan sekali dia. Menjadi seorang pengasuh, memang melelahkan.
Sementara itu, Siti keluar dari dapur diikuti oleh Ms. Aziza. Wajah Siti sembap dan merah. Sesekali, air mata masih mengalir dari pelupuk mata walaupun berkali-kali juga Siti berusaha mengusap. Tangisan tanpa isakan dari seorang gadis muda yang berusaha tegar. Melihat air muka Siti yang seperti itu, semua pelayan di rumah ini tahu bahwa penyebabnya adalah Miss Aziza.
Tebakan yang benar!
Miss Aziza memarahi Siti karena keteledorannya. Meninggalkan ponsel di dapur serta tidak langsung mengambil tindakan saat pertama kali melihat gejala.
Memang, insiden ini tidak sepenuhnya terjadi karena kesalahan Siti. Namun, Siti tetap saja bersalah dan posisi dia sebagai pelayan, memang mengharuskan untuk dimarahi. Buruknya, kesalahannya pertamanya ini, berkaitan dengan nyawa seseorang yang tak lain adalah majikannya sendiri. Perasaan bersalah inilah yang membuat Siti menangis terus menerus, walaupun Miss Aziza sudah berhenti memarahinya.
Siti hendak menuju kamarnya tatkala melihat Nona Sophia yang masih berada di taman bersama Mi. Siti pun mengurungkan niatnya yang semula, memilih untuk menghampiri mereka berdua.
Siti dan Nona Sophia hanya berpandangan tanpa berbicara sepatah kata pun. Siti mengerti betapa beratnya peristiwa tadi disaksikan oleh seorang anak berusia 4 tahun. Bagaimana tidak, untuk dirinya sendiri saja, hal itu sangat menegangkan. Apalagi untuk Nona Sophia?
Siti lalu membawa Nona Sophia ke dalam pelukannya, erat dan penuh kasih. Sang Nona kecil hanya menurut saja, tanpa perlawanan apa pun. Pelan, Siti mengelus kepala dan punggung majikan kecilnya itu dengan penuh kasih sayang. Tak lama setelahnya, Nona Sophia menangis di pelukan Siti.
Pemandangan yang pilu. Baik yang dewasa maupun yang anak-anak, sama-sama menangis. Keduanya sama-sama tidak saling memahami mengapa mereka menangis hingga sedemikian. Semuanya hanya terasa berat.
"Ini semua salahku ... ini semua salahku ...," ratap Nona Sophia berulang-ulang. "Ini semua salahku ...."
"Tidak, Nona ...," bisik Siti pelan. "Bagaimana mungkin ini salah Nona ... ini adalah musibah."
Nona Sophia terus menangis sambil mengatakan ini semua salahku berulang-ulang, sampai mungkin puluhan atau ratusan kali. Mi yang hanya bisa menyaksikan pertunjukan drama anak dan ibu yang diperankan oleh Siti dan Nona Sophia, menunggu dengan setia. Bosan dan bahkan mengantuk.
Siti yang tak tega melihat Mi yang kelelahan, mempersilakan Mi untuk pergi dan beristirahat. Dia akan menggantikan tugas Mi untuk menenangkan Nona Sophia.
"Kamu bisa istirahat di kamarku. Aku yang akan menemani Nona Sophia sampai malam." Siti berkata lembut pada Mi. Berhati-hati agar tidak terdengar oleh Miss Aziza yang suasana hatinya sedang buruk.
Tentu saja Mi menuruti perintah Siti dengan senang hati. Dalam hati, Mi merasa aneh. Bisa-bisanya dia menurut kepada Siti yang baru saja tinggal di rumah ini selama tidak lebih dari 2 hari.
Mengerikan. Aura kepemimpinan sebesar itu dari seorang gadis yang masih sangat belia. Mungkin, Siti sebenarnya adalah sedikit dari sosok-sosok berbakat yang terlahir untuk menjadi seorang pemimpin. Kaum minoritas yang hanya akan lahir beberapa tahun sekali.
Mi menggelengkan kepalanya yang melantur karena mungkin sangat mengantuk. Mana mungkin anak berbakat muncul dari kalangan pelayan? Dia pun segera pergi ke kamar Siti karena tidak tahan untuk segera merebahkan badan.
Sementara itu, Nona Sophia masih belum berhenti menangis.
"Apakah Mama Aisha akan baik-baik saja?" tanya Nona Sophia lagi sambil tersedu-sedu. "Apakah ad—adik—ku akan selamat?"
Tenggorokan Siti tercekat. Tak tahu harus menjawab apa atas pertanyaan Nona Sophia. Padahal, ini pertama kali Nona Sophia mengakui eksistensi adiknya dengan sepenuh hati.
Seharusnya saat ini adalah saat yang membahagiakan bagi Siti karena keinginannya untuk membuat Nona Sophia menyayangi adiknya telah tercapai. Namun, harga yang harus dibayar untuk semua ini sungguhlah berat. Hampir tidak sepadan dengan hasil yang diterima. Dalam hati, mereka berdua berdoa agar bayi Madam Aisha beserta ibunya akan kembali ke rumah dalam keadaan selamat.
Tak hanya Siti dan Nona Sophia, semua penghuni rumah saat ini berdoa dengan khusyuk dan penuh harap. Telinga mereka tajam terpasang. Menanti bunyi telepon pemberi kabar atau deru mesin mobil yang kembali dari rumah sakit ....