Pangeran Yusuf dan Tuan Ali menoleh secara bersamaan ke arah Siti. Komentar apa yang mereka harapkan dari seorang pelayan seperti Siti?Setidaknya mereka berharap dia diam dan menunduk. Namun, yang mereka dapati adalah perlawanan.
"Seperti yang saya bilang sebelumnya, saya tidak akan meninggalkan Tuan Khalid sampai beliau sendiri yang meminta saya pergi," timpal Siti dengan penuh percaya diri.
Jawaban Siti membuat Pangeran Yusuf marah. Terpancar dari wajah beliau yang tanpa ekspresi. Terlihat sekali di mata Tuan Ali bahwa sahabatnya sedang menahan rasa kesalnya.
"Mengapa kamu begitu yakin dia tidak akan bangkrut?" desak Pangeran Yusuf menanyakan tanpa tersenyum sedikit pun. Ekspresinya tampak sangat dingin.
"Beliau pasti akan memikirkan cara lain untuk mengatasi masalah tersebut," jawab Siti ringkas.
"Kau baru mengenalnya sebulan. Aku sudah dua puluh tahun lebih," sanggah Pangeran Yusuf. "Kurasa Khalid bukan tipe pejuang yang akan memperjuangkan bisnis yang kira-kira akan bangkrut. Dia hanya tahu bagaimana mengamankan hartanya agar tidak hidup di kolong jembatan."
Di mata Tuan Ali, Pangeran Yusuf tidak sedang mengatai Tuan Khalid. Beliau hanya terprovokasi oleh pendirian Siti yang terdengar seperti telah menyerahkan hidupnya untuk Tuan Khalid.
Walaupun Pangeran Yusuf adalah orang yang berkuasa, beliau tidak pernah memiliki sosok yang mengabdikan diri padanya sebagaimana Siti mengabdikan diri pada Tuan Khalid. Kalaupun ada yang bersumpah setia, pastilah bukan sosok gadis cantik seperti Siti.
Rasa iri itulah yang mendorong Pangeran Yusuf mengutarakan sesuatu yang terdengar seperti merendahkan martabat Tuan Khalid. Padahal, sebenarnya beliau tidak bermaksud begitu. Sang Pangeran hanya penasaran bagaimana Siti akan bertahan pada idealismenya. Sayang sekali, hanya Tuan Ali yang mengetahui hal ini.
Sedangkan di mata Siti atau siapa pun yang tidak memahami solidnya persahabatan Pangeran Yusuf dengan Tuan Khalid, sang Putra Mahkota terlihat seperti seorang musuh dalam selimut bagi Tuan Khalid. Bagaimana mungkin seorang sahabat akan mengatakan hal seburuk itu tentang sahabatnya sendiri? Seolah tidak peduli sahabatnya akan celaka.
Siti yang semakin tersulut emosinya, meletakkan peralatan makan. Dia meminum air lemon untuk membersihkan tenggorokan dari hidangan yang berminyak, kemudian berkata, "Bila perdagangan berlian mengalami kemunduran bukankah itu akan berpengaruh terhadap perekonomian negara juga?"
"...."
"Apakah menurut Yang Mulia, saya harus mencari negara lain untuk mencari pekerjaan baru? Tidak ada gunanya bertahan di negara yang bangkrut, 'kan?"
Siti dalam hati bersorak girang karena kalimat terakhirnya telah berhasil membungkam sang Pangeran. Seenaknya saja mengatakan seolah-olah itu hanya akan berimbas kepada Tuan Khalid saja.
Bukankah itu merupakan persoalan negara yang harus dipikirkan bersama? Siti tak habis pikir, mengapa Almaas harus memiliki calon pemimpin berkarakter kekanak-kanakan seperti Pangeran yang ada di hadapannya?
Namun, kesadaran lain menghantam Siti. Dia baru sadar bahwa dirinya melakukan tindakan berlebihan. Bagaimana bila Pangeran Yusuf marah dan menghukum dirinya? Siti pernah mendengar ada orang yang dihukum sepuluh tahun penjara karena menghina keluarga kerajaan.
"Maafkan saya karena telah mengatakan hal yang kurang sopan. Sekiranya saya bersalah, mohon Yang Mulia menghukum saya seorang diri."
Ucapan Siti terdengar penuh rasa penyesalan sekaligus kental dengan rasa tanggung jawab agar sang Putra Mahkota tidak melibatkan siapa pun selain dirinya. Kentara sekali dia sedang berusaha melindungi keluarga Al-Mohsen dari imbas perbuatannya.
Melihat reaksi Siti, putra semata wayang Raja Yazid yang tadinya ingin marah karena merasa dipojokkan, kini tersenyum dan menyadari betapa konyol perbuatannya tadi. Beliau sekarang merasa tergelitik untuk mencari tahu sejauh mana Siti akan mengutarakan pendapat tentang masalah yang terjadi di sekitarnya.
Tuan Ali yang tadinya takut bahwa sahabatnya yang dikenal sering terlalu berlebihan dalam menyikapi orang yang memberi kritikan padanya, sekarang menghembuskan napas lega. Air muka sang Putra Mahkota terlihat mengendur dan melunak. Memang, kritikan itu tergantung siapa yang menyampaikan. Tak akan sama hasilnya antara lelaki paruh baya dan wanita muda nan jelita.
"Memangnya apa kira-kira yang bisa dilakukan oleh Khalid agar isu penghentian ekspor berlian dari India tidak berdampak buruk terhadap perekonomian negara?" tanya Pangeran Yusuf kepada Siti dengan penuh rasa ingin tahu.
"...."
Siti menelan ludah, berpikir keras apa yang sebaiknya dia utarakan sebagai jawaban. Dia bukan pakar ekonomi apalagi praktisi bisnis berlian. Bagaimana mungkin dia tahu celah-celah yang bisa dipakai untuk mencari solusi permasalahan ini?
"Kamu tadi bicara seolah bisa menebak apa yang akan dilakukan tuanmu, 'kan? Katakan saja! Aku tidak akan menghukummu bila kamu salah menjawab." Nada bicara Pangeran Yusuf tak terdengar dingin seperti sebelumnya. Memberi sinyal positi bahwa Siti bisa menyampaikan opini apa pun secara bebas karena sang Pangeran akan menerima pendapatnya dengan sikap bersahabat.
"Mungkin saja hal pertama yang harus dilakukan adalah mencari suplier lain yang mempunyai kualitas dan harga yang bersaing selain India. Berlian Afrika Selatan mungkin bisa dijadikan sebagai alternatif. Karena jaraknya tidak terlalu jauh dari Almaas pasti akan dapat menekan cukup banyak pada biaya transportasi." Penuturan Siti terlihat tidak profesional, namun siapa pun yang mendengarnya akan menyimpulkan bahwa dia tidak awam.
"Lanjutkanlah ...," perintah Tuan Ali setelah mendapatkan persetujuan dari sahabatnya.
"Bila tidak, kita bisa juga memulai penawaran baru kepada India. Saya tahu hal ini berat karena saingan kita adalah Dubai. Mereka menawar harga berlian India dengan lebih tinggi. Membuat India meminta Almaas untuk melakukan hal serupa." Siti melanjutkan sambil berpikir keras agar jawabannya tidak terdengar terlalu konyol.
Walaupun demikian, melihat Pangeran Yusuf dan Tuan Ali yang terlihat mendengarkan dengan seksama membuat gadis itu merasa lebih tenang. Lagipula, tidak mungkin mereka akan mengambil keputusan besar berdasarkan obrolan dengan orang awam.
"Beberapa hari yang lalu pihak Al-Mohsen Group sudah membuat keputusan tentang hal ini. Mereka meminta India menjual dengan harga yang tetap seperti sebelumnya karena hal ini bisa berpengaruh terhadap harga jual produk berlian di negara kita. Kau tahu, kita tidak mungkin menaikkan harga jual berlian untuk saat ini karena Dubai berani menjual dengan harga yang lebih murah."
"Kalau begitu kita bisa mengevaluasi grafik perdagangan dan pasokan berlian di dalam negeri Almaas. Bila memang dimungkinkan untuk melakukan penawaran lain, saya rasa tidak buruk. Misalkan dengan menawarkan harga pembelian yang sama kepada India, tetapi meningkatkan jumlah pembelian. Sepertinya mereka akan berpikir ulang untuk menghentikan ekspor ke Almaas. Bisa juga dengan melakukan perjanjian kerjasama dalam kurun waktu yang lebih lama dari yang ditawarkan oleh Dubai. Mungkin akan membawa reaksi positif dari pihak India." Keringat dingin membasahi tangan Siti. Tidak percaya dia bisa berpendapat seberani itu. "Bila tidak bisa juga, tentu kita harus segera melakukan pendekatan ke Afrika Selatan."
"Namun, bisa jadi Dubai telah menawarkan hal serupa ke pihak Afrika Selatan, 'kan?"