Sebagai kota yang mengunggulkan sektor pariwisata, pelayanan yang terbaik merupakan motto kota Caviya. Hanya nuansa profesional dan senyuman yang memenuhi standar etika bisnis yang Siti rasakan begitu dia menginjakkan kakinya di Caviya airport. Setelah melewati bagian imigrasi dan custom declaration, Ahmed dan Siti segera menuju sebuah cafe untuk melepas lelah sejenak.
"Apa kamu ingin jalan-jalan sebentar di mall bandara?" Ahmed menawarkan hal yang pasti akan langsung dijawab 'ya' oleh wanita pada umumnya.
"Tidak, saya capek, Tu—ehm—Ahmed," tolak Siti tanpa terlihat ragu-ragu, menjadikan capek sebagai alasan. Terlihat begitu malas berbelanja. Tampak tak tertarik.
Padahal sebenarnya, di dalam hati, Siti sangat tertarik. Namun, dia menyadari bahwa dirinya tidak memiliki sepeser pun uang. Mengatakan 'ya' pada tawaran Ahmed, akan sama saja dengan mengatakan 'tolong kamu belikan aku aksesoris dan produk-produk fashion ini'. Padahal Siti bisa menaksir berapa kira-kira harga barang di toko-toko brand ternama dunia di sekitarnya.
Siti hanya bisa mentolerir traktiran makan dan minum serta kebutuhan pokok saja. Selebihnya, tidak akan Siti meminta atau menerima. Begitulah tekad Siti setelah mengikrarkan akan mengabdikan diri pada Tuan Khalid. Ahmed memang bukan Tuan Khalid. Namun, rasanya tetap saja sama menerima barang dari Ahmed maupun dari Tuan Khalid.
Sebagai gantinya, Siti mencuri-curi pemandangan di sekitarnya saat Ahmed terlihat khusyuk dengan kopi dan croissant di hadapannya. Merasa tidak puas, Siti memikirkan cara lain untuk tetap bisa melihat-lihat suasana Dubai airport tanpa harus terlihat antusias oleh Ahmed.
"Eh, saya hendak ke toilet dulu," pamit Siti kepada Ahmed. Dalam hati, dia bersorak dan merasa sangat cerdas dengan ide briliannya.
"Aku antar," cegah Ahmed saat Siti sudah berdiri dari kursinya.
"Tidak perlu. Saya bisa sendiri," tolak Siti. "Lagipula, ini toilet wanita, 'kan?"
Merasa malu dengan penolakan Siti, Ahmed akhirnya melepaskan Siti begitu saja. Tadinya dia hanya takut Siti tersesat, namun dia jadi lega setelah melihat lokasi toilet wanita yang tidak terlalu jauh dari tempatnya duduk-duduk. Masih bisa dilihat dengan mata. Pastilah aman.
Siti pun melangkahkan kaki dengan perasaan suka cita yang ditutupi rapat-rapat. Namun, setelah mulai agak jauh dari Ahmed, Siti mulai melihat-lihat sekelilingnya. Outlet fashion Hugo Boss, Gucci, Hermes, dan Louis Vuitton cukup menggoda mata para pengunjung, termasuk Siti, membuat Siti menerka-nerka brand apalagi yang ada di sini. Pengunjung terbilang tidak sepi, karena banyak turis asing maupun warga asli yang terlihat lalu lalang.
Tiga wanita yang memakai abaya, setelan panjang berwarna hitam dan penutup kepala, terlihat sedang berkerumun memilih-milih tas tangan di gerai Louis Vuitton yang baru saja Siti lalui. Seorang wanita bercadar dan seorang lelaki muda yang mungkin suaminya terlihat sedang memilih-milih aksesoris di gerai Hermes di seberang kanan agak jauh.
Agak jauh darinya, empat orang wanita berkulit putih, yang Siti tidak bisa menentukan dari negara mana mereka berasal, sedang memasuki sebuah restoran India. Saat mendekat, barulah Siti tahu bahwa mereka berasal dari Perancis. Bukan berarti Siti bisa berbahasa Perancis. Dia hanya mengerti beberapa kata dan karakteristik bahasanya.
Buuugghh!
Karena kurang fokus, Siti tak sengaja menabrak seseorang lelaki hingga barang-barang yang dipegangnya berjatuhan. Beberapa dokumen, foto-foto, dan kepingan CD berjatuhan di lantai. Siti meminta maaf berkali-kali dalam Bahasa Arab yang dia bisa. Namun, setelah dia melihat wajah orang yang ditabraknya, Siti tahu bahwa itu tak perlu.
"It's fine. I am okay," jawab pria tersebut sambil memunguti barang-barangnya, dibantu oleh Siti. Pria itu melakukan dengan sangat cepat seolah tak ingin dibantu oleh Siti.
Siti meminta maaf sekali lagi, kali ini dalam Bahasa Inggris, kemudian mohon diri setelah barang-barang pria itu beres. Pria tersebut tampak terburu-buru juga, jadi dia tidak sempat membalas ucapan perpisahan Siti dengan balasan yang layak. Siti hanya memandangi saja pria itu berlalu tanpa berkomentar apa pun selain 'kasar'.
Sudah dekat dengan toilet, Siti segera masuk ke dalam toilet untuk segera 'berpura-pura' menyelesaikan urusannya. Sesuai harapan Siti, toiletnya benar-benar bersih dan canggih. Toilet duduk yang dilengkapi tombol hands free bidet yang mudah dioperasikan karena petunjuknya memakai Bahasa Inggris.
Keluar dari toilet, Siti mendapati Ahmed sudah menunggu di depan outlet Gucci, dengan tiga buah tas kertas yang ditentengnya.
"Aku tidak menguntit. Hanya membelikan oleh-oleh untuk ibu dan adikku," ujar Ahmed menanggapi tatapan datar Siti yang seolah-olah menuduhnya mengikuti Siti ke toilet. Padahal Siti tidak bermaksud apa-apa selain kecewa karena acara jalan-jalan rahasianya harus segera selesai karena Ahmed menunggu di gerai Gucci yang memang paling dekat dengan toilet.
Ahmed lalu menyodorkan salah satu tas kertas itu kepada Siti, "Oh ya, ini untukmu. Tadi aku sek—"
"Saya tidak meminta," potong Siti kaku. Menolak pemberian Ahmed.
"Kamu memang tidak memintanya, ini hadiah untukmu." Ahmed bersikeras ingin memberikan tas itu ke Siti.
"Saya tidak melakukan hal apa pun hingga pantas untuk mendapatkan hadiah," tolak Siti lagi.
Siti pun berjalan dengan cepat untuk kembali ke kafe tempat mereka tadi beristirahat. Meninggalkan Ahmed di belakangnya, tercenung tak percaya.
"Hei, kalau kamu tidak mau, aku akan membuangnya!" ancam Ahmed, bermaksud membuat Siti berubah pikiran. "Hei aku akan benar-benar membuangnya!"
Siti tidak peduli dengan apa pun yang dikatakan Ahmed. Dia tetap berlalu dengan tenang. Ahmed yang bingung pun akhirnya berteriak lagi dan kali ini benar-benar membuang tasnya agar Siti kembali dan mengambil tas tersebut, sebagaimana trik yang dipakai tokoh pria dalam opera sabun yang sering ditonton ibunya. Namun, Siti bertekad untuk tidak akan mengambilnya, karena bila kali ini dia lakukan, pasti Ahmed akan mengulanginya kembali di masa depan.
Ahmed yang merasa harga dirinya diuji, bingung apakah dia akan mengambil kembali tasnya atau tidak. Sayang sekali, dia memilih untuk tidak mengambil tas itu. Padahal, harganya sangat mahal. Dia dengan terpaksa meninggalkan tas tersebut di tempat sampah.
Uang bisa dicari lagi, tidak dengan harga diri di mata seorang wanita.
Begitulah pikiran Ahmed saat itu, yang disambut dengan suka cita seorang turis wanita berkulit sawo matang di belakang Ahmed yang tidak peduli dengan apa yang dipikirkan oleh dua orang yang tadi dilihatnya sedang beradu argumen.
"Rejeki anak soleh!" pekik turis tersebut cekikikan dalam bahasa ibunya. "Lagian jadi cewek belagu amat! Jual mahal!"
Mata turis itu berbinar-binar mengagumi isi tas kertas yang dipungutnya dari tempat sampah. Tas bahu kecil berbahan blue and ivory GG denim dengan tepian kulit berwarna coklat senada dengan warna kulit wanita itu. Dielusnya rantai perak panjang yang berkilauan. Kemudian diciuminya tas tersebut seperti seorang ibu yang menciumi bayinya yang baru lahir. Penuh kasih sayang, dipeluknya tas itu erat-erat seraya mengatakan, "Sering-seringlah begini. 5000 dirham Almaas ... 35 juta-an!!"