DP 10. Cinnamon Roll

3454 Words
Di istana yang mewah dan megah bangunan dari kristal, lengkap dengan menara-menara runcing, berada di balik lapisan awan tertinggi, menjadi tempat tinggal Erion. Bahan bangunan serupa kaca itu membuat langit membentuk bias warna aurora. Keindahan fenomena alam demikian adalah cara Erion menyembunyikan istananya. Ia ingin bersembunyi, tetapi tetap dipuja-puja manusia. Erion, jin udara yang sakti mandraguna, sedang duduk di singgasananya. Raja tampan berambut putih panjang itu bermuka jutek mekipun sedang menikmati minuman menggunakan cangkir sloki. Tidak punya ambisi ataupun musuh yang mampu menyaingi kekuatannya membuat hari-hari Erion sangat membosankan. Hiburannya sekarang adalah melihat Devdas menangisi mendiang istrinya serta Devdas dalam kesulitan. Dengan begitu ia tahu Devdas akan memohon minta bantuannya. Huahahaha ... Jadi, siapa sebenarnya yang lebih sakti, ha? Namun pria itu tidak datang-datang juga, jadi bagaimana caranya ia bisa pamer? Hhhh .... Pucuk dicinta, ulam pun tiba. Avram muncul dan memberinya kabar baik. "Yang Mulia, Tuan Devdas ingin bertemu Yang Mulia!" Muka Erion langsung berseri-seri. Ia berdiri tak sabaran, tetapi kemudian ia memasang tampang serius lalu kembali duduk. "Suruh dia menunggu sebentar. Aku sedang ada kesibukan." "Baik, Yang Mulia." Avram kembali menemui Devdas di ambang tangga istana. "Tunggu di sini dulu, Tuan. Yang Mulia sedang sibuk. Beliau akan menemui Anda secepatnya." Devdas meringis. "Secepatnya kata dia. Di bawah sana bisa jadi sehari telah berlalu. Ia membuatku membuang setiap detik berharga dalam hidupku. Setidaknya selama menunggu izinkan aku melihat istriku." "Tanpa Yang Mulia, Anda tidak boleh memasuki ruangan itu, Tuan," kilah Avram. "Bah, mentang-mentang kalian sesakti itu lalu semena-mena membuat aturan. Katakan pada Erion, temui aku sekarang juga!" Devdas menarik Avram dan hendak meninju wajah ajudan itu, akan tetapi sosok yang dicari muncul dengan gaya melayang penuh wibawa. "Tidak perlu bersikap kasar, Devdas. Kami bukan makhluk barbar," kata Erion. Devdas melepaskan Avram seraya berdecih. "Aku pikir kau sengaja melakukan ini," tuding Devdas. Erion angkat bahu dan mencibir. "Aku seorang raja. Aku sibuk mengurus rakyatku." Rakyat Erion sangat disiplin dan patuh sehingga tidak pernah ada protes atau semacamnya. Erion tidak perlu repot-repot mengurus mereka. "Aku butuh bantuanmu," ucap Devdas dengan muka merengut kebanyakan pikiran. Aha! Wajah Erion berbinar. Ia berbalik lalu berarak ke dalam istana. "Ikuti aku!" Devdas pun tidak dicegat lagi, ia mengekor Erion. Mereka memasuki kamar makam Delisha atau Chandni bagi Erion. Wanita itu dibuat bergerak menggeliat bangun tidur di altar, mendesah seraya merentangkan kedua tangan melemaskan pundak. Melihat ada tamu, dia lekas turun dari tempat tidur lalu berlari kecil menyongsong Devdas. Ia raih lengan pria itu dan berjalan mendempetnya menuju aula hiburan. "Selamat datang, Tuanku. Kau terlihat lelah. Bagaimana kalau hamba memijat Tuanku?" Wajah Devdas seketika bersemu dan suaranya lembut menjawab Delisha yang saat itu berperilaku lebih seperti Chandni. "Ya, sayang. Kau mau melakukannya untukku?" "Tentu, Tuanku." Matanya mengerling Devdas lalu berlari kecil menuju karpet empuk lebih dulu. Delisha tata bantal-bantal agar Devdas bisa berbaring. Melihat Delisha bersiap melayaninya seperti itu membuat kesan Erion ternyata seorang yang me.sum dan berperan sebagai pemilik rumah bordil. Namun, Devdas menikmati hiburan itu. Entah tujuan Erion membuatnya lengah agar bisa membunuhnya atau supaya ia betah dan ingin selalu datang ke istananya? Erion menciptakan suasana meniru kehidupan manusia di bumi. Ia juga menyediakan wanita penghibur untuk memijatnya dengan mereplika Chandni. Dengan sekali jentik, gadis itu muncul dari kepulan asap. Devdas sontak marah. Ia hardik Erion. "Apa yang kau lakukan? Kau membuat gadis kesayanganku menjadi pelayanmu juga? Kurang ajar! Ciptakan gadis lain jika kau benar-benar sakti!" Erion mendengkus lalu mengibaskan tangannya dan gadis replika tadi berubah wajahnya menjadi gadis cantik lain. Devdas tidak protes lagi walaupun mukanya cemberut. Ia curiga Erion kerap menjadikan jasad istrinya boneka hiburan demikian, tetapi juga tidak bisa menolak bahwa ia menyukainya dan berharap memiliki kesaktian seperti itu. Nigrum Mortem tidak melakukannya keajaiban sesempurna animatronika Erion. Lebih seperti mencuci otak saja dan manusia akan bertingkah kaku seperti robot. Jadi, singkatnya, kedua pria itu dipanti pijat, tanpa pakaian, bertelungkup di kasur bersebelahan, dan sama-sama sedang dipijat. Keduanya mendesah-desah. "Hmm, ternyata rasanya enak juga," ujar Erion terdengar begitu polosnya, membuat Devdas berpikir bahwa itu yang pertama kali Erion dipijat. Erion memang tidak perlu perawatan semacam itu. Bagi Erion, sekarang Devdas adalah teman untuk mencoba-coba aktivitas manusia biasa. "Jika kau ingin dipijat lagi, pilih wanita lain, jangan wanitaku," gerutu Devdas karena wajahnya terbekap bantal. Erion memahami kode etik antar pria itu. "Ya, baiklah," sahutnya. "Kau bersumpah?" "Ya, aku bersumpah." Devdas lalu menoleh ke sisi dinding, memandangi pantulan Delisha yang sedang memijat punggungnya seperti menungganginya. Itu pemandangan yang sangat menghibur. Teringat begitu mudahnya Erion membuat replika Delisha, Devdas jadi menoleh pada Erion lagi dan menanyainya. "Apa kau tahu jenis jin yang jika dibunuh mereka malah jadi dua?" "Ya, aku tahu jenis itu. Jenis jin darat yang cukup kuno. Jumlah mereka tidak banyak karena jarang bereproduksi. Mereka hidup dengan memperbanyak diri, tetapi juga mudah diatasi." "Bagaimana caranya?" "Dengan jangan membunuh mereka." Devdas jadi sebal. "Soal itu aku juga tahu," gerutunya. "Maksudku, bagaimana kalau jin itu sangat menganggu dan aku ingin menghentikannya?" "Kau bisa mengikat mereka erat-erat, buat mereka tidak bisa bergerak." Devdas bisa melakukan itu. Ia bertanya lagi. "Bagaimana jika aku ingin makhluk itu mati dan tidak memperbanyak diri?" "Kau bisa membekukan mereka." "Bagaimana caranya? Aku rasa di suhu sedingin kutub pun mereka tidak akan membeku." Erion mengangkat badannya supaya bisa bicara dengan Devdas lebih antusias. "Tentu saja kau tidak bisa membekukan mereka dengan cara seperti manusia biasa." Devdas melakukan hal yang sama agar bisa melihat apa yang ingin Erion lakukan. "Lalu cara seperti apa?" "Dengan jurus ini." Erion memperlihatkan sebelah telapak tangannya yang mengeluarkan energi berbentuk es kristal berbias kebiruan. Erion menembakkan energi itu ke sebuah apel sajian dan apel itu mengkristal seketika, jatuh lalu terbelah-belah menjadi kepingan beling. Devdas tatap kedua telapak tangannya. "Bagaimana melakukannya? Aku tidak punya kekuatan semacam itu." Erion bisa tertawa mencemooh. "Tentu saja tidak semua orang memilikinya, kecuali kaumku. Kami hampir menguasai semua jenis elemen kekuatan, karena itu kami bisa menurunkan hujan es. Jika kami membuatnya berbentuk kristal tajam, bisa kau bayangkan apa yang terjadi di bawah sana? Huahahahah ...." "Beri aku kesaktian itu!" desak Devdas. Erion menertawakan Devdas kemudian mengujari wanita yang sedang memijat bahu Devdas. "Jelaskan padanya, Chandni!" Devdas toleh Delisha dan wanita itu tersenyum padanya seraya berujar lembut. "Tidak semua tubuh mampu mengelola energi yang bermacam-macam, apalagi elemen yang bertentangan, Tuanku. Jin udara memiliki elemen yang lebih fleksibel, mereka bisa berasimilasi dengan energi apa saja, karena itu mereka sangat sakti. Tuanku memiliki energi matahari. Meskipun ini elemen yang sangat kuat, tetapi perlu ratusan tahun latihan untuk bisa menguasai pengendalian suhunya dan harus mensucikan diri dari segala nafsu selama latihan." Melihat Delisha sekarang, Devdas jadi ingin menyanggamainya. Lalu ia harus menghilangkan nafsu sebesar itu? Devdas membuang muka. "Berat, berat, berat!" rutuknya. Ia kembali telungkup dan merengut sendiri. Erion juga kembali bertelungkup santai dan menikmati pijatan gadis pelayannya. Ia menertawakan Devdas lalu berujar berbangga diri. "Itulah kegunaan aku menjaga kesucianku selama 500 tahun lebih. Aku superpower sekarang. Huahahaha." "Huh!" Devdas mendengkus sebal. Delisha tertawa kecil pada tingkahnya lalu membisikinya. "Jangan marah, Tuanku. Jika Tuan tidak bisa melakukannya, pasti ada cara lain untuk melakukan itu." Devdas menoleh Erion dan menghunuskan tatapan tajam. "Beri aku cincin, kalung, atau apa saja agar aku bisa menggunakan kekuatan pembeku itu!" "Sayang sekali, aku tidak punya. Makhluk yang punya kekuatan semacam itu, memiliki jurus pembeku yang paling kuat yang aku ketahui adalah siluman naga es. Mereka biasanya tinggal di air tepat di bawah lapisan gunung es yang berusia ribuan tahun, saking bekunya. Apa kau mau mencoba menangkapnya? Ehehhee ...." Terlalu berisiko, pikir Devdas. Jangankan Gea, ia sendiri mungkin akan mati beku jika berhadapan dengan naga itu. Devdas yakin Erion mengerjainya. Ia tuding lagi Erion. "Kau sudah bersumpah akan menolongku. Ayolah, bantu aku memiliki senjata pembeku!" "Aku sungguh-sungguh tidak memilikinya," sahut Erion sambil menahan tawa. "Kenapa kau tidak panggil aku saja saat menghadapi makhluk itu? Biar aku yang mengatasinya." Lalu Erion akan tahu Delisha kecil masih hidup? Tidak! Devdas menelentangkan badan, sehingga ia bertatapan dengan Delisha yang duduk di sisinya. Ia amati gadis itu tersenyum dan wajah merona seperti hidup. Lesung pipit yang sempurna beserta sorot matanya yang indah. Lekukan tubuhnya yang dibalut kain tipis memperlihatkan remang-remang kuncup-kuncup buah kasihnya serta segitiga muara surga yang terlarang. Devdas menjangkau wajah Delisha. Ia usap pipinya. Pundak Delisha mengedik manja. "Tuanku ....," desahnya. Devdas nyaris lupa diri. Bergegas ia duduk dan mengecup sekilas pipi Delisha, lalu menunduk menghidu lekukan leher dan selangkanya. Napasnya berat mengembus di permukaan kulit Delisha. Ingin sekali ia berada di dalam tubuh wanitanya, tetapi itu tidak mungkin. Erion menghiburnya, tetapi juga secara perlahan menjebaknya dalam ketidakberdayaan. Ia angkat Delisha lalu berdiri membawanya dalam gendongannya. Delisha melingkarkan tangan di tengkuk Devdas dan bertanya tersipu-sipu. "Tuanku, ke mana Tuan membawaku?" "Ke tempat tidurmu, sayang," jawab Devdas dengan suara serak putus asa. Ia rebahkan Delisha di altar. Merapikan gaunnya dan untaian rambutnya seraya berujar menghibur diri. "Tidurlah kembali, sayang. Aku akan menjengukmu lagi nanti." Ia kecup dahi Delisha. Wanita itu memejamkan mata mati lagi. Delisha kembali tersegel dalam petinya. Devdas kembali ke dipannya untuk mengambil pakaian dan mengenakannya lagi. Erion juga berpakaian dibantu gadis pelayannya. "Kau mau pergi?" tanya Erion pada Devdas. "Ya, aku sudah terlalu lama di sini. Kasihan anak-anakku," jawab Devdas. Selesai berpakaian, ia meninggalkan ruangan itu diiringi Erion. Devdas tidak berkata apa pun, tetapi Erion tetap melepas kepergiannya sampai pria itu menghilang di halaman istananya, turun ke daratan. Erion jadi bosan lagi. Avram menghampirinya, bersiaga menerima titah. "Yang Mulia," ucapnya. Erion menegapkan punggung lalu bergerak dengan tangan bertaut di belakang. Ia mulai memberi perintah. "Avram, ikut aku berburu. Kita tangkap naga es. Aku butuh sisiknya untuk membuat cincin kekuatan es." Avram membungkuk hormat. "Baik, Yang Mulia!" *** Ketika berjumpa ketiga anak Mister D lagi di halaman sekolah, Delisha didampingi ayahnya menyapa mereka, termasuk Gea. Richard dan wanita itu membuat kontak mata saling mencurigai. Namun, mereka sudah tahu batasan masing-masing tanpa perlu membahasnya. Gea berpesan pada anak-anak Devdas. "Aku akan mengawasi sekitar sekolah dan mengawal kalian pulang sekolah. Ayah kalian pergi tanpa ketahuan juntrungnya, jadi, selama ia tidak ada, kalian tanggung jawabku sepenuhnya." Padahal tidak ada satu orang pun yang menyuruhnya. Ketiga anak Devdas mencibir, tetapi tidak memprotes wanita itu. "Baik, Miss Gea," ujar mereka bersamaan. Gea masuk ke mobil pengantar lagi, lalu mobil itu meninggalkan sekolah. "Well, aku rasa untuk hari ini masalah teratasi," gumam Richard. Ia kecup puncak kepala Delisha sebelum pamit. "Aku ke kantor dulu, sayang. Semoga harimu menyenangkan!" "Okay, Dad!" sahut Delisha bersemangat. Ayahnya menjauh. Delisha bergegas memeluk Rani dan si kembar sekaligus. "Senangnya kita bisa main seperti biasa lagi," ucap Delisha. "Iya, semoga saja Miss Gea tidak membuat ulah," ujar Rani. Mereka berbincang sambil berjalan menuju kelas. "Kami harap ayah kami segera pulang. Selama ayah kami tidak ada di rumah, Miss Gea ada dua, semakin cerewet dan bahkan mengetes kekuatan kami. Kami dibuat lelah secara fisik dan mental." "Oh ya? Tapi, sepertinya tidak semua aturannya buruk. Mungkin Miss Gea ingin kalian menjadi anak-anak yang terlatih membela diri," pungkas Delisha. "Aku saja ingin mengasah kemampuanku. Mungkin aku bisa melakukan sesuatu pada makhluk-makhluk yang menyerangku, selain melarikan diri dan menghindari mereka mati-matian." Rani ingin mencerca memperingatkan Delisha supaya tidak perlu mencari kekuatan saktinya, tetapi si kembar segera menyela. "Kau jangan khawatir soal itu, Delisha-ji, itu tugas kami. Kami yang akan melindungimu dan memberantas semua makhluk yang mengganggumu." Delisha tersenyum haru. "Aku tidak ingin merepotkan siapa pun. Sungguh." "Siapa yang direpotkan? Kau ngaco!" Rani merutuk Mama kecilnya. "Kau sudah seperti keluarga kami dan keluarga harus saling melindungi." "Ah kalian terlalu berlebihan," kilah Delisha yang merasa sungkan anak-anak itu menghargainya sedemikian rupa. "Tidak berlebihan. Kau ... memiliki darah keturunan India, jadi ... kita sudah berkeluarga dari dulu," alasan Rani. Delisha mangut-mangut. "Benar juga ya," gumamnya. Delisha rangkul mereka. "Ayolah kalau begitu. Kita keluarga. Akan kusampaikan pada ayahku soal ini, aku yakin ia akan senang mendengarnya." Mereka ke kelas masing-masing dan mengikuti pelajaran dengan tenang. Si kembar bisa tinggal di penitipan lagi dan menikmati makan siang dan snack sore bersama Delisha. "Aku membuat cinnamon roll hari ini. Kalian bisa memakannya di sini atau dibawa pulang," kata Delisha, memperlihatkan roti beraroma kayu manis berbentuk rol dan berwarna cokelat keemasan yang sangat cantik. Rani dan si kembar gembira bukan main. "Wuaah, kami makan di sini dan membawanya pulang juga, Delisha-ji. Kami ingin ayah kami mencicipinya. Ia pasti sangat senang makan makanan buatanmu, Delisha-ji." Sontak muka Delisha merah merona. "Oh ya?" selorohnya tak percaya. "Iya. Choco chips cookies yang kau buat waktu itu, ayah kami mencicipinya dan menurutnya itu makanan terbaik yang pernah dimakannya." "Oh ya?" Delisha semakin terkesima. Ia menangkup pipinya yang terasa panas. Aaryan, Chander, dan Rani mengulum senyum penuh arti mereka. Lucu rasanya melihat ibu mereka salah tingkah. Delisha memutar badan, memunggungi anak-anak itu. Ia berlagak sibuk memasukkan beberapa cinnamon roll ke dalam kotak kue untuk mereka bawa pulang. "Ehm, ini ... untuk Mister D ... sekalian ucapan terima kasihku. Ia menghadiahiku Sibe. Aku belum memberikan apa pun untuk itu. Jadi, anggap ini balasannya," ujar Delisha saat menyerahkan kotak kue. "Ya, Delisha-ji, akan kami sampaikan pada ayah kami," sahut anak-anak. Delisha mengantarkan mereka sampai ke mobil jemputan. Tuan Vijay membukakan pintu mobil, sementara Miss Gea berdiri mengawasi anak-anak itu masuk ke dalam mobil. Ia menyelidik kotak kue yang dibawa Rani. "Apa itu?" "Hanya bingkisan kue untuk ayah kami," jawab Rani. Mata Gea terpicing. "Bingkisan? Sejak kapan kalian mulai saling berkirim bingkisan? Seperti berbesanan saja," sindir Gea. Delisha jadi tidak enak hati mendengarnya. Terpikir, apakah Miss Gea tidak suka karena cemburu? Ehm, soalnya Delisha sering mengintip dari n****+-n****+ dewasa banyak bercerita affair antara bos dan asisten pribadi. Ah, konyol sekali pikiranmu, Delisha! Hentikan itu! Rani sebal sekali. Ia memelototi Gea. "Kami memang kerabat, Miss Gea. Kami sama-sama memiliki darah India," tukas Rani. "Oo ...," ucap Gea berlagak baru tahu. Ia terakhir masuk ke dalam mobil, lalu kendaraan tersebut berangkat dari halaman sekolah. Sekilas mata Gea mendelik Delisha yang melepas kepergian mereka. Gea menyeringai yang tidak disembuyikannya dari anak-anak Devdas, sehingga ketiga anak itu menghunjamkan tatapan tajam padanya. Akan tetapi, masa bodo bagi Gea. Anak-anak itu boleh membunuhnya jika mereka mau. "Pfhhuahahaha...." Gea tertawa jahat yang membuat anak-anak itu memalingkan muka. Rasanya semakin tak sabar ingin ayah mereka segera pulang. Senangnya hati anak-anak ayah mereka ada di rumah ketika mereka tiba. "Papa ...!" pekik girang mereka seraya berlari agar lekas memeluk Devdas yang menunggu mereka di pintu depan. "Anak-anakku ...," sambut Devdas, memeluk mereka penuh kerinduan. "Tuan ...," sapa Vijay terharu dan senang melihat Devdas tampak lebih segar dan tenang. Gea langsung mengancamnya. "Halo, Tuan Devdas. Anda telah pergi tanpa izin. Perbuatan Anda bisa saya laporkan sebagai pelanggaran. Jika terjadi kecerobohan lagi, akibatnya fatal dan tentu Anda tahu siapa yang akan menyandangnya." "Aku butuh penyegaran, Gea, jika kau tidak sadar, kehadiranmu sebenarnya sangat mengganggu seperti jamur parasit," ketus Devdas. "Kau ...!" Gea ingin menghantam, tetapi Devdas lekas berbalik menggendong si kembar ke dalam rumah. Rani cekikikan berlari kecil di belakang ayahnya. Gea pun naik ke kamarnya sembari melangkah mengentak-entak. Devdas dan anak-anaknya dalam suasana bergembira. "Papa Dev, Papa Raj, kami punya kejutan untuk kalian," ungkap Aaryan dan Chander. "Oh ya? Apa kejutannya?" "Kami membawa kue. Buatan Delisha-ji!" Devdas terpana. Ia turunkan kedua bocah itu dan menyambut kotak kue yang disodorkan Rani. Ia buka kotak itu dan mata berbinar bak melihat harta karun. Aaryan dan Chander menuntun Devdas duduk di sofa dekat perapian. Rani segera berlari ke dapur untuk membuat teh masala sebagai pendamping makan kue. Aaryan dan Chander duduk mengapit ayah mereka. "Rasanya sangat enak, Pa. Mama memang punya tangan yang diberkati," kata mereka. Devdas tidak menyahut karena hatinya sibuk bicara. Delisha, kau membuktikan ucapanmu ketika itu, bagaimana makanan rumahan begitu lezat karena dibuat dengan tangan penuh kasih sayang seorang ibu. Rasa sebuah rindu yang tak tergantikan. Kau tidak dibesarkan oleh ibumu, tetapi kau telah menjadi ibu yang mengasihi anak-anakmu bahkan dalam masa yang terpaut sangat jauh berbeda. Delisha-ku, cintaku, hidupku ... cepatlah kembali bersamaku. Soalnya sudah sangat, sangat berat ... rindu ini, rasa ini ... Penuh ingin ... Ah, mau meledak rasanya. Kedua bocah cilik melirik keheranan ayah mereka yang bergeming lama. "Pa, kau tidak berencana memandangi kue ini terus menerus 'kan?" Devdas tersentak. Bersamaan Rani datang membawa nampan berisi set teko teh beraroma rempah-rempah dan krimer. "Tentu tidak. Papa akan memakannya. Kebetulan Papa ... kelaparan." Rani senang hati menuangkan teh masala untuk sang ayah dan adik-adiknya. Mereka menyantap cinnamon roll bersama-sama dalam ruangan hangat oleh perapian, tetapi hati mereka lebih hangat oleh rasa cinta. *** Beberapa hari kemudian, saat hari minggu dan sekolah libur, pagi menjelang siang, Vijay datang ke kediaman Richard Lee membawa tanaman dalam pot cantik yang dihias pita warna pink. Richard bermuka datar saat Vijay menyodorkan pot itu padanya. "Apa-apaan lagi ini?" gerutu Richard. "Ini hadiah Mister D untuk Nona Delisha, Tuan," jawab Vijay. Dalam pot itu tumbuh jenis tanaman berdaun menjuntai dan memiliki bunga kecil-kecil yang berkumpul berbentuk bulat. Bunganya berwarna putih dengan bagian tengah berwarna merah muda. "Ini tanaman hoya. Kata Tuan saya, Nona Delisha pasti menyukainya." Hoya merupakan tumbuhan tropis yang termasuk dalam keluarga dogbane, apocynaceae. Jika sudah tumbuh subur, daunya akan menjuntai indah, dan memiliki bunga yang berwarna-warni, karena itu cocok ditaruh dalam pot gantung. Tanaman hoya memiliki sekitar 200-300 spesies karena keberagaman jenis bunganya. Richard menarik napas dalam-dalam. Ia ingin menolak hadiah itu, tetapi Siberian berlari ke pintu depan menyalak ramah pada Vijay karena mengenali pria itu. Ada Siberian, otomatis Delisha juga ada. Putrinya menyapa dengan sangat sopan. "Tuan Vijay, bagaimana kabar Anda? Dalam rangka apa Anda kemari? Apa ada yang bisa kami bantu?" Mata Delisha tertuju pada tanaman dalam pot berhias pita dan terkesima pada keindahan bunganya. "Wuaah, cantik sekali! Tanaman apa ini namanya?" Di pita ada kartu ucapan tersemat dan Delisha membacanya. Forever Miss D, from Mister D. Delisha merasa gugup sekaligus tersanjung. Jantungnya berdebar-debar tidak karuan. Pipinya merah merona. "Untukku? Tanaman ini untukku?" Delisha bertanya-tanya rasa tak percaya. "Benar, Nyo ... Nona. Ini hadiah dari Mister D sebagai rasa terima kasih atas kue buatan Nona. Nama tanamannya adalah hoya. Tanaman ini diperoleh dari negara tropis Indonesia, tetapi Nona bisa belajar merawatnya." "Oh .... Aku akan berusaha semampuku," sahut Delisha seraya kikuk menerima tanaman itu. Ia keheranan mendapat hadiah seunik itu. Sangat tidak pernah terpikirkan oleh seorang gadis belia. Semestinya gadis-gadis berharap mendapat hadiah barang mewah, aksesories branded, cokelat dan bunga, tapi ini ... tanaman hias dari negara kepulauan? Sebelumnya anjing piaraan. Seolah Mister D menganggap aku emak-emak yang sibuk sepanjang hari di rumah?? What a ...? Siberian menyalak-nyalak penuh semangat seakan menyambut kehadiran teman barunya. Selesai menjalankan misinya, Vijay pergi dari kediaman itu. Pintu rumah Richard tertutup rapat, tetapi di baliknya, ayah dan anak itu berbicara sangat serius. "Delly, jika kau tidak yakin bisa mengurus tanaman ini, lebih baik kita kembalikan sekarang juga atau aku akan memberikannya pada salah satu karyawan sekolah. Aku yakin ada di antara mereka yang mengoleksi tanaman eksotis." Delisha tidak yakin, tetapi ia sangat penasaran ingin belajar mengelola tanaman hias. Bunganya sangat indah. "Tapi aku ingin mencobanya, Dad ...," Delisha memelas yang membuat Richard mengalihkan padangan. "Please, Dad ... Please ...." Rahang Richard mengeras. "Terserah kau sajalah, tapi jangan sedih jika nanti tanaman itu mati," jawabnya menggerundel. "Tidak akan, Dad. Aku akan berusaha sebaik-baiknya merawat tanaman ini agar hidup terus menerus," kata anak gadisnya penuh keyakinan. "Ya, ya, silakan lakukan apa maumu." "Thanks, Dad!" Delisha melonjak riang, diikuti anjingnya. Ia berlari menuju kamarnya di lantai atas sambil berceloteh, "Yeaay! Aku akan menelepon Rani dan berterima kasih kepada ayahnya." "Eit, tunggu, tunggu dulu!" sergah Richard. Lari Delisha terhenti karena menolehnya. Richard salah tingkah mengeles. "Kau tidak usah bicara dengan Mister D. Aku saja yang berterima kasih pada Mister D sekalian ada urusan bisnis yang harus kudiskusikan dengannya." Delisha tidak keberatan soal itu. "Okay, Dad," jawabnya lalu lanjut ke lantai atas diiringi Siberian. Devdas melihat dan mendengar percakapan itu melalui indera Siberian. Ia menyendiri di kamarnya, senyum-senyum menonton Delisha sibuk memfoto-foto tanaman barunya, lalu mengutak atik ponsel mencari informasi cara merawat tanaman tropis di iklim USA. Sambil rebahan dan sesekali voice chat dengan Rani. Sambil menyaksikan hal tersebut, Devdas tidak keberatan menerima telepon omelan dari Richard Lee. "Berhenti mengirim hadiah pada putriku, Devdas! Kau mulai aneh!" Devdas menjawab dengan santai karena suasana hatinya sedang bagus. "Oh, Ayah, aku hanya ingin menyenangkan Delisha. Haruskah aku mengirim diriku ke sana? Aku bisa datang secepat kilat dan tidak terlihat siapa pun, Ayah, bahkan oleh Delisha. Jadi, mana yang menurutmu lebih baik? Keputusan ada di tanganmu." Richard tidak bisa menjawabnya. Ia memaki saja. "Sialan!" Ia memutuskan panggilan telepon itu. Devdas tertawa singkat lalu melanjutkan menikmati tontonan keseharian kekasihnya. Ia tidak bisa berada di sisi Delisha, tetapi setidaknya ia bisa menatapnya setiap saat. Ia puja-puji bayangan gadis itu. Ia pejamkan mata seperti ketika ia mencumbu persona dewasanya. Bisikannya lirih serak menggelenyar di udara. "Delisha-ji, aku rindu kamu, sayang ...." Ehmm, sedang ngapain ya Devdas? *** Bersambung... Follow my insta.gram Sisilianovel
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD