DP 02. Devdas Tanpa Delisha

2363 Words
Pagi hari tanpa kehadiran Delisha adalah momen terkacau dalam hidup Devdas dan anak-anaknya. Seolah Devdas ingin meledakkan kepalanya akibat pengang mendengar keributan anak-anak yang kelabakan hendak pergi sekolah. Sampai akhirnya ia bersuara keras pada anak-anak. "Tidak ada seorang pun yang pergi sekolah, oke? Kita sedang berkabung dan sudah sewajarnya kita di rumah saja ... atau melakukan sesuatu untuk healing." Aaryan, Chander, dan Rani terdiam saling pandang. Mereka paham dan setuju dengan keinginan ayah mereka, hanya saja, berada di rumah hanya menambah rasa sedih dan kesepian mereka. Rani lalu berusaha bersikap bijak. "Tidak, Pa. Kami akan berusaha menjalani hari-hari seperti biasa. Lagi pula, Mama pasti tidak ingin kami mengabaikan sekolah. Papa tahu, mungkin saja tiba-tiba Mama kembali dan menyambut kami saat pulang sekolah seperti biasa." Oh! Devdas ingin sekali menangis lagi dan mengatakan, Ibu kalian tidak akan pernah kembali lagi. Namun, sebenarnya dengan cara seperti itu, anak-anak mengatasi kehilangan Delisha jauh lebih baik dari dirinya. Devdas menggerutu, "Tapi kalian tidak sarapan dan pakaian kalian belum siap." "Kami akan makan roti saja dulu pagi ini. Makan siang kami bisa di kantin sekolah. Soal pakaian, kami akan berusaha menyiapkan keperluan kami sendiri mulai hari ini." Devdas tatap putri pertamanya itu dan mulai menyadari Rani beranjak dewasa. Situasi yang ada mendewasakan mereka semua. Aaryan dan Chander juga menjadi lebih patuh pada kakak mereka. "Kakak benar. Kami akan ke kamar dan menata baju sekolah kami dulu." "Ya, lakukanlah itu, Aaryan, Chander. Aku akan membuat roti bakar lapis selai dan s**u," ujar Rani. Kedua adiknya bergegas ke kamar mereka, sementara Rani ke dapur. Devdas mematung di tengah-tengah selasar rumah. Rani menanyainya sambil berjalan ke pantri. "Papa mau kubuatkan kopi? Aku akan mencoba membuatnya seperti buatan Mama." Devdas terkesiap. "Oh? Eh, boleh juga, jaan." Ia lalu mendatangi Rani untuk membantunya membuat roti bakar. Meskipun sangat berat berada di dapur dan ruang makan, karena di tempat itu ia paling banyak berinteraksi dengan Delisha, selain di kamar tidur. Namun, dilihatnya Rani juga menata roti dengan mata berkaca-kaca, anak itu berusaha sebisa mungkin untuk tabah. Devdas jadi sungkan sendiri. Kenapa ia, pria dewasa, paling sakti, juga paling tua, abadi, malah paling tidak bisa menerima kenyataan? Ia tahu Delisha ada di belahan dunia yang lain. Ia tahu tempatnya, ia bisa pergi ke sana dalam hitungan detik, akan tetapi itu menjadi tidak ada gunanya karena mereka tidak boleh berjumpa. Ingin bicara saja pun, Devdas jadi sungkan karena Delisha tidak mengenalnya. Bayangkan jika ia menelepon Richard Lee hanya untuk mendengar suara anak gadisnya, gadis itu akan ketakutan dan berpikir ia seorang yang sakit jiwa. Oh iya. Ia memang sakit jiwa dan Delisha adalah obatnya. Devdas jadi berpikir mungkin apa yang Veer katakan benar. Delisha memang ingin putus hubungan dengannya. Devdas jadi pungguk merindukan bulan lagi. Menyedihkan, jatuh cinta dan merindukan sosok yang bahkan tidak tahu ia ada. "Papa, ini kopinya. Cobalah," ujar Rani berbinar-binar menyodorkan secangkir kopi hitam pada Devdas. Devdas menerima kopi itu dan menyeruputnya. Sama sekali tidak enak, tetapi ia tersenyum tulus pada Rani. "Bagaimana, Pa? Enak?" tanya gadis itu. "Lumayan," jawab Devdas. Rani jadi semringah. Ia berseru riang memanggil adik-adiknya. "Aaryan, Chander, ini roti dan s**u kalian sudah siap!" "Iya, Kak!" sahut kedua bocah itu dan gemerusuk mereka berlarian ke ruang makan. Devdas memandangi ketiga anak itu makan berbarengan di meja makan. Dalam hati merenung, Delisha, tega sekali kau membiarkan anak-anak ini tumbuh tanpa sosok ibu. Setelah sarapan, anak-anak pergi sekolah meskipun mereka keteteran. Vijay yang mengantar mereka, sementara Devdas masih merasa berat keluar rumah. Meninggalkan rumah seperti meninggalkan sosok Delisha. Ia ke sana kemari saja dalam rumah, kebingungan melihat rumah berantakan, cucian menumpuk, isi lemari teracak-acak, baik lemarinya maupun lemari anak-anak. "Bagaimana Delisha mengelola semua ini?" gumamnya memandangi lemari pakaiannya. Qoy'an dan Qoysan muncul di belakang Devdas setelah lama memperhatikan. "Nyonya akan menyuruh kami dan Akshay mengerjakan urusan rumah, Tuan." "Oh." Devdas berbalik menghadap mereka. "Kalau begitu, tolong bereskan semua ini seperti biasanya Delisha menyuruh kalian." "Lebih spesifik, Tuan. Apa yang pertama -tama harus kami lakukan?" "Oh." Devdas tergamam. Sepertinya ia harus bicara pada Vijay dan menugaskannya untuk mengelola urusan rumah. "Rapikan kamarku dan kamar anak-anak saja dulu." "Baik, Tuan!" Kedua jin itu menghilang. Devdas keluar kamar hendak menuju ruang kerja, di tengah jalan, Qoy'an dan Qoysan muncul lagi. "Sudah selesai, Tuan," kata mereka, rupanya bersedia menerima tugas selanjutnya. "Cuci pakaian." Qoy'an dan Qoysan berlutut. "Mohon ampun, Tuan. Kami tidak bisa menggunakan mesin cuci. Terlalu rumit." "Oh, ya ampun!" Devdas mendesah sendiri. Devdas tiba-tiba teringat tanaman peliharaan Delisha yang tidak terurus. Ia lalu memerintahkan kedua jin itu mengurus tanaman-tanaman hias koleksi istrinya. "Sirami, tata daunnya, dan bersihkan dari tumbuhan liar. Juga rapikan tanaman di halaman. Selesai pekerjaan itu, awasi rumah saja. Jangan muncul kecuali aku panggil." "Baik, Tuan!" Qoy'an dan Qoysan meninggalkan Devdas sendirian. Devdas lanjut ke ruang kerjanya, membaca-baca jurnal Delisha sambil memainkan koin perunggu di buku-buku jarinya. Catatan mengenai Thoriq Ali Hussain sangat rapi dan detail sehingga Devdas jadi punya keyakinan bahwa Delisha tidak akan mengabaikan anak-anaknya begitu saja. Toh semenjak zaman dulu, Chandni melakukan segalanya demi keselamatan anak-anaknya. Devdas menggenggam koinnya, lalu jemari bertaut menumpu dahinya. Ia mendesah lelah. "Delisha-ji, apa yang harus kulakukan?" Ia rindu suara wanita itu memerintahnya atau menyuruh-nyuruhnya melakukan ini itu. Padahal dulu terdengar menyebalkan dan cerewet, tetapi sekarang ia butuh kata-kata itu. Petunjuk-petunjuk dan tukar pikiran atau sekadar kata-kata penghiburan sederhana seperti, "Tidak apa-apa, Dev, kita pasti bisa melalui ini." Penjaga gerbang rumah datang melapor padanya. "Tuan, Tuan Xelios Xin datang berkunjung." Devdas mengangkat wajahnya lalu menegapkan tubuh. "Suruh masuk. Aku temui beliau di sini." "Baik, Tuan!" Penjaga itu pergi, dan tak lama kemudian, Xelios Xin masuk ke ruang kerjanya. Xelios bisa mengerti Devdas tengah bersikap arogan padanya karena sebagian menyalahkannya atas apa yang terjadi. Xelios tidak akan mempermasalahkan hal itu. Ia sapa Devdas sesantai mungkin. "Aku turut berduka atas apa yang terjadi, Dev, Raj." "Kau tahu suatu saat ini akan terjadi, bukan?" tuding Devdas, tanpa mempersilakan Xelios duduk dulu. Xelios tetap duduk juga di hadapan meja kerja tanpa menggubris Devdas. "Yang aku tahu setiap yang bernyawa akan mati pada akhirnya. Lagi pula Delisha sudah mendapatkan bonus yang banyak dalam karier hidupnya." "Oh? Karier? Hebat sekali kalian memanajemen kehidupan orang-orang kalian. Dasar korporasi laknat," sindir Devdas. Xelios tertawa, kemudian membalas, "Jika Delisha tidak masuk ke perusahaanmu, kau akan jadi sama seperti kami, Dev. Bahkan lebih buruk. Kau seharusnya merasa beruntung kau tidak menjadi penjahat sepanjang zaman. Pertimbangkan kembali, hidup mana yang lebih baik menurutmu? Kau tanpa Delisha atau setelah kau bertemu Delisha?" Devdas meringis dibuat kelu oleh pria paruh baya yang masih terlihat rupawan itu. Xelios berwajah tirus arogan dan sangat kuat aura badboynya. Meskipun pada kenyataannya pria itu hidup dalam kesepian. Xelios melanjutkan bicara dengan gaya mengintimidasi. "Tidak bisa dipungkiri, Delisha lahir dari orang-orang Xin. Dia secara harfiah properti Xin Corp. Richard Lee sudah diperingatkan soal ini, jadi ia siap kehilangan putrinya, tetapi tidak untuk yang kedua kali. Ia telah berkata padaku bahwa putrinya yang sekarang jangan dilibatkan lagi denganmu. Ia tidak bicara langsung padamu karena tidak ingin ada kontak pribadi denganmu. Richard anggap kau dan dia tidak pernah ada hubungan apa pun." Devdas menghela napas getir hingga tarikan paru-parunya gemetaran. Setegas itu pernyataan sikap ayah mertuanya, bahkan mengirim Xelios Xin yang menanganinya, membuktikan bahwa posisi Richard Lee sangat berpengaruh dalam keluarga Xin. Devdas dibuat tak berkutik. "Aku yakin kau akan melakukan hal yang sama jika ini dialami putrimu sendiri," lanjut Xelios. "Jadi, bersikaplah bijak. Jika kau membutuhkan asisten pribadi baru yang bisa menyesuaikan dengan kondisimu, aku akan menugaskan seseorang. Kau tinggal pilih saja mau laki-laki atau perempuan. Aku merekomendasikan Gyo dan saudara perempuannya, Gea. Mereka punya kemampuan menduplikasi diri yang banyak. Kau tidak akan merasa jika kehilangan satu." Devdas mendengkus saja karena menahan marah. Bukan hanya memutuskan hubungannya dengan Delisha, mereka juga ingin menggantikan posisi Delisha begitu saja. "Temuilah Gea dulu. Mungkin dia sesuai dengan seleramu," saran Xelios. "Jika tidak, kau bisa lihat yang lainnya." "Apa itu saja yang ingin kau sampaikan, Xelios? Apa kau selesai?" kecam Devdas. "Masih ada lagi," ujar Xelios tanpa menimbang rasa. "Aku harap kau berhenti berduka secepatnya karena ada banyak tugas yang harus kau tangani. Kau tahu, setiap menitnya sangat berharga karena banyak nyawa bisa diselamatkan." Devdas hendak menggebrak meja, tetapi didahului Xelios berdiri dan menumpu tangan ke meja untuk mencondong bicara pada Devdas. "Waktu mungkin terhenti untukmu, tetapi tidak bagi orang-orang di sekitarmu. Jadi, berhenti cengeng dan kerjakan tugasmu." Devdas terhenyak di kursinya. Xelios berbalik keluar dari ruangannya sambil berseru tegas. "Hubungi aku kalau kau sudah siap. Sampai jumpa lagi, Tuan Dev, Tuan Raj!" Begitu pintu tertutup, Devdas melempar barang -barang di atas meja ke arah pintu. "Berengsek!" makinya pada udara. Kemudian Devdas mengempas duduk kembali seraya mencengkeram kepalanya dan bertumpu siku ke meja. Air matanya menetes jatuh membasahi halaman jurnal Delisha. "Kenapa mereka tidak membiarkanku punya secercah harapan?" Devdas terbaca halaman di jurnal Delisha. Di mana air matanya membasahi tulisan lokasi pemakaman tempat Thoriq Ali Hussain disemayamkan. Devdas semakin terpuruk dalam kesedihan. Lucu. Orang-orang yang dikenalnya akan meninggalkannya satu per satu. Pada akhirnya ia akan tertinggal sendiri. Seharusnya ia membiasakan diri dengan keadaan itu. Devdas jadi ingin mengunjungi jasad Delisha di istana Erion, tetapi memerlukan waktu cukup lama mencapai tempat itu, belum lagi perputaran waktunya. Anak-anak tidak akan mendapatinya saat pulang sekolah nanti. Devdas mengisi waktu dengan menangisi foto Delisha sampai Aaryan dan Chander datang. Kedua anak itu mengetahui ayah mereka berada di ruang kerja sehingga mendatangi ke sana. Devdas buru-buru menyapu wajah menderitanya ketika dua anak itu masuk. "Kalian sudah pulang rupanya. Bagaimana di sekolah tadi?" tanya Devdas sambil menutup jurnal Delisha dan berjalan menuju lemari besi arsip. "Baik, seperti biasa, Pa. Tidak ada yang spesial," jawab Chander. Aaryan menajamkan matanya pada apa yang dipegang Devdas. "Buku apa itu, Pa? Aaryan rasa pernah melihat Mama menulis di buku itu. Mama bercerita soal anak-anak yang hidup di zaman Kerajaan Rajpur. Betapa Mama mengagumi mereka karena banyak berjasa pada negara India dan Inggris." Devdas urung menyimpan buku itu. Ia menuju sofa dan mengajak anak-anak duduk bersamanya. "Iya, ini mengenai putra-putraku di zaman 2,5 abad yang lalu. Mereka persis seperti kalian. Anak yang sangat kuat, pintar, dan berjiwa ksatria." Devdas menjelaskan salah satunya dimakamkan di India. "Bagaimana kalau kita ziarah ke makam itu, Pa? Mungkin Thoriq Ali telah berjumpa Mama. Kita bisa bertanya padanya," celetuk Chander. Devdas tahu itu tidak mungkin karena jiwa Delisha tidak berkumpul atau gentayangan seperti manusia biasa. Namun, tidak ada salahnya menghibur diri dengan menziarahi leluhur keturunannya. Devdas menyetujui usulan anaknya. "Kalau begitu, ayo kita pergi ke sana!" Anak-anak meninggalkan tas sekolah mereka, lalu pergi melesat ke angkasa bersama ayah mereka. Mereka pergi ke Guwahati. Guwahati War Cemetery berjarak 2,5 km dari Stasiun Kereta Api Guwahati. Pemakaman Perang Guwahati adalah pemakaman yang terletak di daerah Silpukhuri di Guwahati, Assam. Terletak di Jalan Navagraha, ini adalah salah satu tempat yang harus dikunjungi di Guwahati dan di antara tempat-tempat bersejarah untuk dikunjungi di Assam. Pemakaman dimulai selama Perang Dunia Kedua untuk penguburan dari beberapa rumah sakit militer yang berada di daerah tersebut. Kemudian, kuburan lain dibawa oleh Army Graves Service. Sekarang ada 486 prajurit Persemakmuran dari Perang Dunia Kedua yang dimakamkan atau diperingati di pemakaman ini. Dari jumlah tersebut, 25 pemakaman tidak teridentifikasi. Pemakaman itu juga berisi 24 kuburan perang Tiongkok, dan dua kuburan non-perang. Pemakaman ini dikelola oleh Commonwealth War Graves Commission dengan kantor pusatnya di Inggris. Hari menjelang sore di taman makam yang tertata apik tersebut. Nisan-nisan batu berderet di hamparan rumput nan hijau menyejukkan mata. Pepohonan rindang menyejukkan udara di kawasan hening itu. Biasanya Devdas akan bertemu sosok jin atau hantu menyeramkan yang suka mengganggu manusia di tempat seperti itu, akan tetapi di makam tersebut, mereka bertemu banyak jiwa atau energi-energi astral yang menyenangkan. Para tentara yang terlihat bersantai bersenda gurau, menyapa Aaryan dan Chander, serta wujud anak-anak dari orang-orang yang dimakamkan di sana. Rupanya, bagaimana energi astral itu memperlihatkan diri, menyesuaikan dengan siapa dan bagaimana yang melihat mereka. Thoriq Ali Hussain bahkan muncul dalam wujud anak-anak berpakaian sherwani pangeran lengkap dengan turban dan pedang kecilnya. Ia bermain kelereng bersama Aaryan dan Chander. Kelereng yang dahulu Devdas buatkan untuknya. "Baba, Paman Dev, kalian kehilangan Amma lagi, ya?" tanya Thoriq dengan muka senyum-senyum meledek Devdas yang bertampang durjana. "Kau tahu ceritanya," jawab Devdas lesu. "Apakah kau bisa membantu Baba, Toru? Apa yang harus Baba lakukan? Baba tidak mau melupakan Amma. Baba tidak ingin pisah dari Amma. Tapi, Baba juga tidak ingin Amma menderita." Thoriq mengangkat bahu tidak bisa memikirkan urusan orang dewasa, karena ia juga sedang asyik bermain. "Giliranku!" Thoriq melempar kelerengnya ke dalam lingkaran yang terdapat kelereng lain sehingga kelereng itu terpencar ke mana-mana. Kemudian giliran Aaryan dan Chander melempar. Devdas duduk memandangi seraya mengembuskan napas panjang. Thoriq menoleh dan tertawa kecil. "Jika kebingungan, Amma biasanya pergi ke pohon beringin dan berbincang-bincang di sana. Apakah Baba ingat?" Sontak Devdas berdiri tegap dengan mata terbuka lebar. Ia ingat itu. Tuan Takur! Chandni akan bicara pada Tuan Takur jika butuh petunjuk. Jin itu punya kesaktian unik padahal meskipun ia terikat di pohon beringin. Semuanya menjadi masuk akal bagi Devdas kenapa Zourdan mengunci jin itu di sana. Secara tidak langsung, entah Zourdan sadar atau tidak, Zourdan meninggalkan bantuan untuk Chandni-nya dan sekarang ia bisa memanfaatkannya. Devdas rasanya kebelet ingin pergi, tetapi tidak tega mengganggu keasyikan anak-anak itu. Ia bertanya pada si kembar. "Kalian ... tidak apa-apakah kalau Papa pergi sebentar? Ada urusan." "Papa mau ke mana?" tanya kedua anak itu. "Ke situ!" Devdas menunjuk ke arah mata angin di mana bekas istana Rajpur berada. Hanya beberapa puluh kilometer dari Guwahati Cemetary War. Dan seketika Devdas terkesima ketika dari arah tersebut berkemilau cahaya yang menyilaukan matanya seperti pantulan cahaya di cermin. Delisha ..., batin Devdas. Inikah petunjukmu, sayang? Kau tidak pernah benar-benar meninggalkan aku dan anak-anak rupanya. Devdas tersenyum dengan debar-debar cepat dalam dadanya. Tak sabaran ingin melesat. Aaryan dan Chander saling pandang. Ke Kutub Selatan yang lebih jauh dari itu pun sudah mereka datangi, apa hal cuma sejengkal dari tempat mereka berada. "Pergilah, Pa. Kami main di sini saja sampai Papa kembali." Devdas merasa bangga pada anak-anaknya. "Oke. Papa akan kembali secepatnya." Kemudian ia melesat secepat kilat. Bagaimana perjumpaan Devdas dengan Tuan Takur? Apakah ada solusi untuknya atau sama saja seperti yang Xelios sarankan? Kita lihat jawabannya di next episode! *** Bersambung...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD