Bab 4

2034 Words
Keadaan kantin tidak seramai hari biasanya membuat Lucas mengernyitkan alis. Hanya ada beberapa orang di kantin siang ini, termasuk dirinya dan Peter yang terus mengoceh. Peter seolah tidak peduli dengan kekosongan kursi-kursi di kantin yang biasanya selalu terisi. "Kau beruntung Soraya tidak memutuskanku karena perbuatanmu kemarin, kalau tidak aku akan meminta kau untuk bertanggung jawab!" Lucas memutar bola mata. "Kenapa aku harus bertanggung jawab padamu?" tanyanya. "Aku tidak melakukan sesuatu yang salah padamu." Peter berdecak kesal. "Kau sudah mengganggu kegiatan kami kemarin." "Kegiatan panas kalian?" tanya Lucas sambil tersenyum, senyum yang mengejek. "Bukan salahku. Mana aku tahu kalau kalian sedang ...." Lucas tidak melanjutkan perkataannya. Ia.hanya mengangkat bahu acuh. "Biasanya juga seperti itu." Mata Lucas melebar. "Apa maksudmu?" tanyanya dengan suara meninggi. Ia tidak percaya dengan apa yang dikatakan Peter. "Apa?" Peter balas bertanya, memasang wajah polos tak berdosa. Ia.sudah keceplosan bicara. Tidak seharusnya ia mengatakan hal itu kepada Lucas. Apa yang dilakukannya bersama Soraya adalah rahasia. Beruntung suasana kantin tidak seramai hari biasanya. Masih banyak meja kosong di sebelah mereka. Peter mengembuskan napas lega. "Kau berc*inta di saat jam kerja!" belalak Lucas. Peter berdehem. "Lalu?" tanyanya. "Aku tidak melakukan kesalahan, Luke. Tidak ada yang melarang selama tidak mengganggu pekerjaan." Lucas menatap Peter dengan menaikkan sebelah alisnya. "Benarkah?" tanyanya. "Apakah pekerjaanmu memang sudah selesai?" Sekali lagi Peter berdecak. Lucas terlalu tahu tentang dirinya. Persahabatan mereka yang terjalin sejak mereka.masih mengenyam pendidikan di bangku universitas membuat Lucas sangat mengenalnya dibandingkan dirinya sendiri. "Sebaiknya selesaikan dahulu pekerjaan sebelum bersenang-senang." Peter mengembuskan napas kuat melalui mulut. Menyesali dirinya yang keceplosan bicara. "Tidak seharusnya kau seharusnya kau bersikap seperti itu, Pete. Profesional lah!" pinta Lucas serius. "Aku selalu profesional kalau masalah pekerjaan, Luke. Jangan khawatir." Peter tersenyum lebar. "Aku selalu melakukan keduanya dengan profesional.dan berimbang." Lucas memicingkan mata. "Terserah kau saja, asal tidak ada masalah dengan pekerjaanmu." Peter terkekeh pelan. "Itu juga pekerjaan, Luke," ucapnya. Lucas tidak menjawab, ia hanya kembali memutar bola mata. "Kegiatan itu bisa menghilangkan stress-mu, Luke. Kau harus mencobanya." Peter menepuk bahu Lucas. Tawa kecil kembali keluar dari mulutnya. Lucas membuang muka. Ia yakin Peter pasti akan mengatakan sesuatu yang tidak berguna. "Sekali mencoba, kau pasti akan ketagihan." Lucas mendengkus kesal. Peter memperlakukannya seperti seseorang yang tidak pernah melakukan hubungan intim saja. Ia juga pernah melakukannya, tapi tidak harus diberitahu kepada siapa pun, bukan? "Kau akan merasakan surga dunia." Peter tertawa pelan. Sekian lama bergaul dengan Lucas, tidak pernah dilihatnya pria itu pergi berkencan dengan wanita mana pun. Lucas lebih sering terlihat di dalam rumah atau di laboratorium, tidak pernah bersenang-senang atau pergi ke mana pun. Lucas terlalu serius, kaku, dan gila kerja. Padahal ia pria yang tampan, salah satu idola di kampus mereka dulu maupun di tempat kerja sekarang. Hanya saja Lucas tidak menyadarinya, ia terlalu sibuk berkencan dengan berbagai macam cairan beraneka warna. "Seolah aku peduli dengan itu," sahut Lucas acuh. "Iya, aku yakin akan hal itu." Peter memutar bola mata jengah. "Aku berani bertaruh kau lebih senang memikirkan kenapa kantin hari ini sepi daripada masalah itu, bukan?" tebaknya. Lucas mengedarkan mata mengawasi seisi kantin kemudian mengangguk. "Kau benar!" jawabnya. "Semua ini tampak aneh bagiku, di jam makan siang seperti ini bukankah kantin biasanya ramai?" Peter mengangguk. Sebenarnya ia juga merasakannya, sedikit aneh melihat kantin sepi. Padahal biasanya sangat ramai, tak jarang beberapa orang berdiri karena tidak mendapatkan tempat duduk. Sekarang, hari ini, tempat ini sepi. Hanya ada dirinya dan Lucas, juga sebuah meja di sebelah sana yang terisi oleh dua orang. Kantin kehilangan lebih dari separuh pengunjungnya. "Mungkin mereka lebih memilih makan siang di luar?" Lucas mengangkat bahu. Bukannya tidak peduli tetapi ia tidak tahu. Bukan hanya di kantin, di lorong-lorong laboratorium pun tadi juga kosong. Tidak ada seorang pun pekerja yang terlihat. Seolah hari ini semua orang libur bekerja, mereka yang berada di sini sedang lembur. "Atau mereka tidak bekerja?" "Tidak mungkin!" bantah Peter. "Kau pasti juga melihatnya, tempat parkir penuh seperti biasa." Lucas menyandarkan punggung ke belakang, kedua tangannya bersedekap. Lucas mengangguk setelah ingat keadaan tempat parkir yang penuh. "Aku tidak tahu apa yang sedang terjadi di sini karena seluruh tetangga di daerah tempat tinggalku juga berkelakuan saling acuh. Mereka jiga terlihat sangat tidak bersemangat, membuatku bingung saja." Lucas menggeleng sekali. "Tidak seharusnya aku berkata seperti ini, hanya saja aku bingung melihat mereka." "Tidak perlu kau pikirkan." Peter menghiburnya. Ia tahu kalau Lucas termasuk orang yang dekat dengan para tetangganya. Ada keanehan sedikit saja Lucas langsung khawatir. "Mereka baik-baik saja. Mungkin mereka memiliki masalah yang sedikit lebih berat dari biasanya sehingga membuat mereka seperti itu." Lucas mengangguk, mengiakan perkataan sahabatnya. "Iya, maafkan aku," ucap Lucas mengusap wajah. "Seharusnya aku tidak berpikir seperti itu. Kau benar mungkin saja mereka memiliki masalah." Peter mengangguk. Sesekali memeriksa ponselnya yang tidak bersuara ataupun bergetar sejak semalam. Sedikit aneh karena biasanya ponselnya tidak pernah berhenti bersuara alias selalu berisik. "Luke, apa ada seseorang yang menghubungimu?" Lucas tidak menjawab, ia hanya menatap David dengan sepasang alisnya yang berkerut juga tatapan mata bertanya. "Maksudku ..." Peter menjeda perkataannya. Ia mengeluarkan ponselnya dari saku jas lab dan menunjukkan pada Lucas. "Kenapa dengan ponselmu?" tanya Lucas bingung. Ia tidak melihat keanehan pada benda pipih persegi panjang itu. Biasa saja menurutnya. "Maksudku, apakah kau sama sepertiku?" Peter balas bertanya. "Sejak kemarin tidak ada yang menghubungiku, seorang pun. Biasanya ponselku selalu berisik, kau tahu, 'kan?" Lucas tidak menjawab, tidak juga terlihat gerakan kepalanya sebagai respons. Ia hanya membenarkan dalam hati, telepon selular milik Peter tak pernah berhenti berdering dan bergetar. Berbicara mengenai ponsel, Lucas baru ingat kalau sejak semalam ia tidak bersentuhan dengan ponsel miliknya. Ponselnya tertinggal di dalam ruangannya dan ia kembali melupakannya karena sibuk dengan berbagai macam formula tadi. Lucas memencet pangkal hidung, menyesali dirinya yang terlalu pelupa. "Ada apa?" tanya Peter sedikit khawatir. Mungkin saja terjadi sesuatu Lucas, atau sahabat berambut pirangnya ini memiliki masalah. "Tidak ada apa-apa," jawab Lucas sambil menggelengkan kepala.."Aku hanya melupakan ponsel milikku. Sejak kemarin aku tidak menyentuhnya, aku lupa dan meninggalkannya di dalam laci meja kerjaku." "Astaga! Kenapa kau sangat pelupa sekali?" Peter berdecak. Ini merupakan salah satu kebiasaan buruk Lucas, ia sangat mudah melupakan sesuatu kecuali yang berhubungan dengan pekerjaan. Tanyakan saja padanya di mana meletakkan labu ukur maka Lucas akan memberitahumu secara detail dan terperinci tempat kau bisa menemukan benda yang kau cari. Sangat hebat, bukan? Sementara ia melupakan ponsel yang juga sangat penting baginya. Salah, mungkin ponsel bagi Lucas tidak penting, buktinya ia melupakan di mana meletakkannya. Lucas mengangkat bahu. "Kemarin aku sangat kesal...." "Siapa suruh kau perfeksionis sekali dengan waktu!" sungut Peter memotong perkataan Lucas. Lucas mendelik tajam. Ia paling tidak suka ada yang memotong saat ia berbicara, dan Peter baru saja melakukannya. Lucas berdecak kesal. "Kau tidak tahu bagaimana rasanya menjadi diriku...." "Aku tidak mau!" Sekali lagi Peter memotong perkataannya. Sekali lagi Lucas mendelik, kali ini lebih tajam dari yang tadi. Seandainya saja tatapannya bisa mengiris, pastilah Peter sudah menjadi potongan-potongan kecil. Namun, Peter tidak memedulikannya. Ia sudah tahu dengan Lucas yang tidak suka perkataannya dipotong, ia tetap melakukannya. Peter malah meneruskan ucapannya. "Aku menolak menjadi dirimu, Luke. Kau itu sangat membosankan, kau tidak pernah bersenang-senang...." "Sebab aku serius dengan pekerjaanku!" Kali ini Lucas yang memotong perkataan Peter. Tatapan matanya masih setajam tadi. "Kau tidak tahu bagaimana rasanya menjadi diriku." Lucas mengulang perkataannya sebelumnya. "Terlambat bangun pagi adalah sesuatu yang buruk bagiku, ditambah kemacetan di jalanan yang menurutku sangat tidak masuk akal. Semua itu terlaku buruk bagiku, aku tidak bisa menerimanya. Peter mencibir. "Siapa tadi yang berbicara tentang profesionalitas?" sindirnya. Lucas mengerang. Senjata makan tuan, pikirnya. Ia tadi meminta Peter untuk bekerja profesional, sementara dirinya sendiri tidak melakukan hal itu. Benar-benar sesuatu yang sangat menyebalkan! "Kalau kau tidak bisa melakukan, jangan meminta orang lain untuk seperti itu." Peter masih mencibir Lucas. Peter ingin Lucas sadar kalau perfeksionis bukanlah sesuatu yang baik. Sedikit terlambat tiba di tempat kerja bukanlah bencana, kecuali kau membolos kerja tanpa adanya alasan. Begitu juga dengan kemacetan, itu merupakan hal yang sudah biasa terjadi. Mereka tinggal di salah satu kota besar bukan di pedesaan. Kemacetan kerapkali terjadi, ia tidak heran. "Seharusnya kau bisa berpikir lebih positif, bukan menghancurkan hari. Aku tidak pernah mencampuradukkan masalah pekerjaan dengan yang lainnya. Semua memiliki porsi dan tempat masing-masing." Lucas kembali mengerang lagi. "Masalahnya berbeda, Pete," sahutnya lemah. "Aku tidak suka dan tidak pernah terlibat sebelumnya. Mungkin aku memang seorang perfeksionis, tapi aku juga tidak pernah mencampurkan masalah pekerjaan dengan hal lain. Ini dan itu berbeda." "Buktinya kau menghancurkan harimu, kau juga mengacaukan pekerjaanmu, bahkan ponsel saja sampai tertinggal. Kau ceroboh, Luke!" Nada suara Peter sedikit lebih tinggi, tidak masalah bagi Lucas. Mereka memang seringkali mengingatkan, tidak ada yang pernah merasa tersinggung. Kali ini pun ia tidak merasakannya. Peter benar, tidak seharusnya ia mengacaukan semuanya hanya karena bangun pagi terlambat. Namun, ia tetap tidak bisa menerimanya, seolah ada sesuatu yang sangat kurang ketika kau terlambat. Percayalah. "Aku tahu itu," sahut Lucas setelah menarik napas dalam. Ia merasa perlu mengumpulkan banyak udara, paru-parunya kekurangan stok oksigen. "Hanya saja kemarin itu yang pertama, Pete. Kau tahu, 'kan, kalau aku tidak pernah terlibat sebelumnya? Aku selalu tepat waktu." "Tapi tidak dengan menghancurkan harimu!" belalak Peter. "Kau harus bekerja dua kali hari ini, benar, bukan?" Lucas mengangguk. "Kau bahkan melupakan ponselmu lagi!" Lucas berdecak. Iya, dirinya memang melupakan ponselnya lagi. Padahal ia berniat untuk mengeceknya di jam makan siang ini, tapi ia kembali melupakannya. Terlalu berkonsentrasi pada pekerjaan ternyata bukan sesuatu yang baik juga, ia lupa mengecek ponsel. Bagaimana kalau ada panggilan atau pesan penting yang masuk? Lucas bodoh! maki Lucas dalam hati. "Maafkan aku, Luke. Tidak seharusnya aku berkata seperti itu kepadamu," ucap Peter menyesal. "Aku hanya ingin agar kau mengurangi sifat perfeksionis-mu itu. Percayalah padaku, sedikit terlambat masuk kerja bukanlah akhir dari segalanya. Kau masih bisa memperbaiki dengan mengerjakan segala sesuatunya lebih cepat." Lucas mengangguk. "Tidak apa-apa," sahutnya. "Alu akan mencoba saranmu. Terima kasih." Lucas tersenyum, menepuk bahu Peter pelan. "Tidak masalah." Peter juga tersenyum. "Mungkin kau bisa membayarnya dengan menemaniku ke klub malam ini." Peter menaik-turunkan alisnya menggoda. Lucas memutar bola mata.."Tidak!" jawabnya tegas. "Ayolah, Luke...." "Tidak!" *** Lucas mengembuskan napas lega. Ia bisa kembali ke ruangannya setelah tadi berdebat dengan Peter. Pria itu terus memaksanya untuk menemani pergi malam ini. Katanya ia sudah berjanji bertemu dengan Soraya dan seorang lagi teman perempuannya. Sangat menyebalkan, bukan? Siapa pun orangnya tidak suka dipaksa, apalagi dipaksa pergi ke tempat yang tidak disukai. Lucas menggeleng pelan, Peter memang seperti itu. Selalu mengajaknya pergi bersenang-senang. Sesuatu yang tidak akan dilakukannya, kecuali pekerjaannya sudah selesai. Ia bukan seorang yang menolak kesenangan, hanya saja pekerjaannya harus selesai lebih dahulu. Lucas melangkah menuju meja kerjanya yang dipenuhi berbagai macam alat kimia. Membuka laci yang terletak di bawah meja, mengambil ponselnya dari sana. Lucas meringis merasakan betapa dingin benda yang berada di tangannya. Ia menebak, ponselnya mati karena kehabisan daya. Lucas menarik kakinya ke sudut ruangan, ia akan mengisi daya ponselnya di situ. Namun, Lucas mengurungkan niatnya untuk mengisi daya, ponselnya ternyata tidak mati. Bahkan dayanya tidak berkurang, tetap seperti saat pertama ia menyimpannya. Lucas memilih untuk mengecek ponsel lebih dulu sebelum melanjutkan pekerjaannya. Ia duduk di satu-satunya sofa yang berada di ruangannya. Mulai memeriksa kalau-kalau ada pesan atau panggilan yang tidak terjawab. Namun, sekali lagi Lucas mengernyit. Tidak ada apa-apa di ponselnya, baik itu pesan maupun panggilan tidak terjawab. Semuanya kosong, tidak ada satu pun. Sangat aneh. Lucas berdiri, mengembalikan ponsel ke bawah meja. Ia tidak memiliki banyak waktu untuk mencari tahu apa yang sudah terjadi dengan ponselnya, pekerjaan menunggu. Mungkin orang-orang sedang sibuk sehingga tidak sempat menghubunginya. Atau mungkin tidak ada sesuatu yang penting sehingga orang tuanya tidak menghubungi. Lucas mencoba untuk berpikiran positif seperti yang disarankan Peter agar pekerjaannya tidak terganggu. Ia yakin kalau kedua orang tuanya sibuk sehingga mereka tidak bisa menghubunginya. Ia akan menghubungi mereka nanti malam, atau mungkin setelah pekerjaannya selesai. Lucas mencoba untuk bekerja lebih cepat. Mencampur beberapa bahan kimia dalam satu labu ukur. Kali ini ia berhasil, tidak ada ledakan seperti kemarin. Senyum mengembang sempurna di wajah tampan tanpa cambang ataupun kumis, Lucas selalu bercukur dua minggu sekali. Ia menyukai kebersihan, merasa jijik melihat seseorang yang wajahnya dipenuhi cambang. Menurutnya mereka seperti gorila saja. Lucas tersenyum. Pekerjaannya hari ini sudah beres. Ia tinggal membereskan sisanya, juga merapikan meja kerja. Setelah ini ia bisa pulang. Semuanya kembali seperti semula. Tepat waktu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD