Misora POV
Noir semakin menjadi setelah kutolak. Dia kembali lagi beberapa kali dengan membawa seserahan yang lebih banyak. Dengan penuh percaya diri bertanya, apakah aku sudah berubah pikiran atau belum. Aku sampai tak terkejut lagi kalau dia tiba-tiba ada di rumahku saat aku pulang kerja.
“Aku sudah mengatakannya, kalau aku sudah punya pacar,” kataku untuk ke sekian kalinya. Memintanya untuk berhenti membawa barang-barang mahal yang tak kubutuhkan. Kami bahkan sudah tak tahu harus meletakkan di mana semua kotak kado itu, mau dikembalikan malah ditolak terus oleh orang kediaman Amber. Mereka bilang takut Noir marah kalau sampai menerima kembali hadiah yang sudah diberikan.
“Kalau begitu bawa dia padaku. Aku mau lihat bagian mana dirinya yang lebih baik dari ku,” balas Noir.
Aku terdiam. Aku tidak punya pacar dan tidak punya orang yang bisa kumintai tolong untuk mengambil peran itu. Mungkin jika lawannya bukan Noir, akan ada yang mau berpura-pura berpacaran denganku. Aku pun agak takut meminta bantuan, takut kalau kehidupan temanku akan hancur bila mempertemukannya dengan Noir.
“Dia sedang bekerja ke luar kota,” bohongku lagi. Hatiku mulai merasa bersalah, membuat kebohongan baru untuk menutupi sebuah kebohongan. Dan semua itu bahkan tidak mempengaruhi Noir sama sekali. Dia menyeringai senang, tahu kalau aku tengah berbohong. Namun aku tidak ingin mengakui kebohonganku, karena jika sekali saja kulakukan. Maka untuk seterusnya, aku akan terus diganggu olehnya.
“Aku anggap tidak ada. Sampai kau membawanya padaku, aku anggap kau tidak punya pacar. Dan akan kugunakan kesempatan ini untuk mendapatkan hatimu. Akan kutunjukkan sebagus apa laki-laki yang kau sia-siakan ini.” Jemarinya memainkan ujung rambutku, mendekatkan wajahnya pada wajahku hanya untuk menatapku dengan lekat. Aku merasa gugup, menutup mataku menghindari kontak mata.
Aku tidak mau mengakuinya, tapi memang terkadang ada desiran aneh yang kurasakan saat berada sangat dekat dengan Noir. Perasaan kecil yang ingin segera kulenyapkan sebelum itu bertambah besar. Kalau saja dia tidak mata keranjang, atau tidak selalu bersikap begitu egois... mungkin akan lebih mudah untukku. Aku jadi tak perlu menahan diriku, atau meyakinkan hatiku berkali-kali kalau hanya laki-laki ini yang tidak boleh kucintai.
“Wajahmu memerah, sangat cantik. Aku tahu, kamu memang terlihat paling menawan di bawah cahaya mentari sore, Misora.” Aku membuka mataku saat ia berkata demikian. Tangan Noir sudah dia singkirkan dari ku, pandangannya pun telah dia arahkan ke atas langit. Mulai lagi gombalan tak jelas seperti bersyair itu.
Aku tidak tahu apa bedanya. Yang kutahu, wajahku hanya akan berbeda saat berias dan tanpa hiasan. Aku tidak mengerti kenapa Noir selalu merasa kalau warna hangat dari matahari yang mulai tenggelam ke ufuk barat itu, bisa mengubah bentuk wajahku di matanya.
Melihat matahari terbenam berduaan itu memang romantis. Untuk beberapa alasan membawa sedikit efek baik pada kesan orang yang bersama denganku, dan terkadang terasa seperti dibawa ke dalam dunia yang sedikit indah. Namun semua itu hanyalah ilusi semata, kehidupan kami tidaklah seindah dan seromantis itu. Ada banyak hal-hal realistis yang harus dipikirkan sebelum membiarkan hatiku jatuh padanya.
***
Setelah segala lamaran mengganggu itu sudah tak bisa kuhadapi sendiri, aku memutuskan untuk meminta saran Fanette. Aku pergi ke rumahnya seusai latihan, minum teh berdua di halaman rumah sambil menikmati kue yang kubeli sebelum datang ke sini. Fanette terlihat senang di awal, tapi ketika aku menceritakan apa yang Noir lakukan selama ini. Raut wajah Fanette berubah kesal, dia bahkan mencengkeram cangkir tehnya dengan kuat. Menahan diri untuk tidak langsung mengamuk.
“Sebenarnya apa maunya! Aku akan ke rumahnya dan meminta Noir untuk menghentikan tingkahnya itu,” ucap Fanette kemudian.
“Jangan, tak perlu sampai begitu.” Aku segera menghentikannya, tak ingin sampai Fanette mencari masalah dengan orang yang akan jadi adik iparnya kelak. Aku hanya ingin teman bicara, tak ingin masalahku diselesaikan oleh Fanette. “Aku masih bisa menghadapinya, setidaknya terkadang Noir mau mendengarkan kata-kataku,” sambungku. Mencoba meyakinkan pada Fanette kalau masalah ini tak seburuk yang dia kira.
“Tapi Misora, kamu tidak bisa terlunak pada orang seperti itu. Percayalah, dia tak mencintaimu, yang dia cintai hanya wajah dan tubuhmu.” Fanette makin cemas, mengingatkan padaku sekali lagi hal yang sudah sangat kupahami.
“Aku tahu. Makanya tak usah cemas, aku tidak akan menerimanya.” Mungkin seharusnya aku tak bercerita soal Noir lagi di hadapan Fanette, kalau ternyata semua itu hanya akan membuatnya semakin khawatir.
“Aku tetap cemas, Misora. Orang seperti Noir tak akan berhenti sampai mendapatkan yang dia mau. Aku takut kalau dia akan menculikmu kalau kamu terus menolaknya.” Fanette sampai curiga berlebihan. Tak ada orang yang sampai menculik hanya karena cintanya ditolak, tapi sepertinya Fanette sangat yakin kalau Noir akan melakukannya. “Pokoknya kamu harus hati-hati, jangan pergi ke tempat sepi sendirian. Dan kalau ada seseorang yang mengikutimu, pastikan kamu bilang padaku. Aku akan meminta pengawalku untuk melindungimu.” Ia sampai berniat meminjamkan pengawal keluarganya yang terkenal itu.
Aku tersenyum membalasnya, mencoba menenangkan kepanikan Fanette yang berlebihan. “Daripada itu, aku lebih cemas padamu.” Kualihkan pembicaraan, menyinggung mengenai kelas berkuda yang Fanette ikuti. “Bukannya berkuda itu terlalu berbahaya untuk wanita? Lagi pula kudengar kalau Glafira Ghea juga ikut kelas yang sama denganmu. Aku khawatir kalau kamu akan terlibat masalah dengannya.”
Fanette teralihkan, dia menepuk kedua tangannya. Tersenyum dengan hangat seperti seorang kakak. “Sama sekali tak berbahaya kok, berkuda itu menyenangkan. Aku merasa lebih bebas saat berpacu dengan kecepatan tinggi di lapangan yang luas. Hamparan rumput yang hijau dan birunya langit memberi rasa nyaman tersendiri. Aku tidak akan berhenti berkuda, dan lagi Glafira tak seburuk yang gosipkan.” Aku senang kalau Fanette juga senang, selama dia berpikir kalau itu tak berbahaya, maka aku akan coba untuk membuka pikiranku.
“Kamu sampai memanggil nama depannya, memangnya kalian sudah dekat?” Aku sedikit penasaran, seperti apa kepala keluarga Ghea yang digosipkan dengan sejuta kabar buruk.
“Iya, kami berteman baik. Orang yang tak mengenalnya mungkin akan berpikiran buruk tentangnya hanya karena gosip yang menyebar, tapi bila sudah mengenal Glafira. Kamu akan tahu kalau dia tidaklah seburuk itu. Glafira wanita yang kuat, dia punya pola pikir yang luas dan berani menerobos batas yang tak berani kulakukan. Aku mengaguminya, Misora.”
Selama ini aku hanya dengar hal-hal buruk saja tentang Glafira Ghea, tapi setelah mendengar cerita Fanette. Aku mulai merasa ingin mengenalnya juga. Fanette jarang memuji seseorang, apalagi mengagumi orang itu. Saat melihat Fanette terus memuji Glafira dengan wajah bahagia, aku merasa kalau aku bisa mempercayainya juga. Padahal kami bahkan tak saling mengenal, tapi selama orang itu berteman dengan Fanette. Maka aku pun akan menganggapnya sebagai teman.
Setelah selesai bercerita, aku berpamitan dengan Fanette dan pergi mengelilingi pertokoan untuk menghabiskan waktu. Lalu berjalan dengan santai pulang ke rumah saat matahari terbenam. Saat memasuki rumah, aku merasa seperti ada orang yang mengikutiku. Namun dengan segera kutepis prasangka itu, tidak ingin berpikiran terlalu buruk hanya karena teringat akan kata-kata Fanette tadi.
Noir tidak akan senekat itu sampai menculikku, palingan dia hanya semakin gencar mendatangiku saja. Itulah yang aku pikirkan selama beberapa hari ini, sebelum akhirnya aku sadar kalau semua itu bukan hanya prasangka saja. Seseorang benar-benar mengikutiku, dia berjalan di belakangku dari tadi. Mengikutiku dari toko teh sampai ke jalan sepi yang tak biasanya dilewati. Aku berjalan semakin cepat, berharap kalau bisa berpapasan dengan seseorang agar bisa meminta bantuan.
Namun, tak ada orang yang lewat dan ketika aku sadar. Orang itu sudah membekap mulutku, membawaku secara paksa ke tepian kota. Sebuah rumah kayu yang seperti tidak berpenghuni, menyekapku di dalam sebuah kamar yang jendelanya telah dipasangi dengan papan dari luar.
“Jadilah anak baik, maka aku tidak akan melukaimu,” ucap pria itu, orang yang menculikku. Dia punya wajah yang tampan, terlihat sedikit kemiripan dengan Noir. Akan tetapi kesan berbahaya darinya sangatlah kental, seolah dia hidup di dunia yang berbeda denganku.
Aku terus menatapnya lekat-lekat, memeluk lututku dengan erat untuk mengumpulkan keberanian. “Apa Noir yang menyuruhmu?” tanyaku pelan, memastikan benar tidaknya dugaan Fanette.
Pria itu terlihat marah, menggenggam engsel pintu dengan sangat kuat hingga mengeluarkan suara. Ia berbalik dengan pelan, tapi mengintimidasiku. Raut wajahnya mungkin sangat datar tak terbaca, tapi tatapan matanya sangat tajam hingga membuat bulu kudukku merinding. “Kenapa kau berpikir seperti itu?” tanyanya padaku. Mungkin dia kaget karena aku tahu siapa yang menyuruhnya, entahlah aku masih tak bisa memahami situasi dengan baik.
“Aku akan membayar dua kali lipat dari bayarannya, jadi lepaskan aku.” Aku memberanikan diriku lagi, mencoba bernegosiasi. Lebih baik menghabiskan seluruh tabunganku untuk terlepas darinya, daripada berakhir jadi tahanan pribadi Noir dan dijadikan pelampiasan nafsunya.
Pria terlihat makin marah, berjalan dengan cepat mendekatiku. Dia kemudian berjongkong di hadapanku, mencengkeram rahangku dengan keras. “Aku tidak butuh uangmu, jadi jawab pertanyaanku,” perintahnya.
Aku melotot karena kaget, ketakutan saat sadar kalau uang tak akan bisa menyelamatkanku. “Kau tak akan berani melukaiku! Noir tak ingin aku terluka.” Dengan tubuh gemetaran, aku memaksakan mulutku untuk membalas. Setidaknya untuk satu ini aku cukup percaya diri, Noir bukan laki-laki yang ingin menyentuh wanita dengan bekas luka di tubuhnya.
“Mungkin itu benar, tapi aku tak peduli apa kau terluka atau mati.” Ia membentakku, melemparkanku ke atas tidur. Setelah itu mengatakan hal-hal jahat, melukai leherku dengan pisaunya. Aku begitu ketakutan, memohon dengan putus asa di antara kebingungan. Kali ini, aku tidak yakin lagi apakah benar Noir itu orang baik atau jahat. Sampai memerintahkan orang seperti ini untuk menculikku dan masih saja tak mau mengakuinya. Memaksaku untuk percaya kalau dia tidak bekerja kepada Noir. Memangnya siapa yang akan percaya? Aku hanyalah gadis biasa, bukan orang yang akan diculik tanpa sebab dan satu-satu orang punya kuasa dan motif untuk menculikku hanyalah Noir.