Bab Dua

726 Words
AKAN KUBUAT KAU MENYESAL MAS! (2) "Mas, ini ATM kamu aku kembalikan" ujarku sembari menyerahkan sebuah kartu anjungan tunai mandiri miliknya yang selama ini diserahkan padaku untuk membiayai keperluan rumah tangga. Setiap bulan tidak lebih dari satu juta rupiah sisa gajinya masuk ke dalam rekening itu untuk biaya hidup kami bertiga. Juga untuk keperluan ibu dan adiknya, Mira. Gadis berusia dua puluh tahun yang saat ini masih kuliah semester lima di sebuah perguruan tinggi swasta. Setiap bulan semua uang itu kuberikan pada mertua. Kadang malah kutambahi karena aku merasa penghasilanku sendiri lebih dari cukup untuk biaya hidup kami sekeluarga. Bagiku tak masalah memberi semua gaji suamiku pada ibunya karena beliau seorang janda yang dalam agama wajib disantuni, apalagi beliau masih harus menanggung hidup putri bungsunya yang sedang kuliah. Pun beliau adalah mertuaku sendiri, jadi kupikir sudah seharusnya berbuat baik kepada wanita yang telah melahirkan Mas Arya ke dunia itu, meski seringkali ibunya protes mengapa hanya diberi satu juta rupiah saja sedangkan menurutnya gaji anaknya besar dan minta ditambahi yang tentu saja berasal dari penghasilanku menulis novel online. Sayang, semua pengabdian itu tidak berarti apa-apa di mata Mas Arya, sehingga saat ini aku memutuskan mulai hari ini tak mau lagi ikut campur urusan keuangan suamiku itu. Biar saja ia kekurangan. Kalau itu terjadi, silakan mencari penambalnya sendiri. Sudah cukup aku berkorban selama ini. Tak akan kuulangi lagi! "Kenapa dikembalikan? Kamu gak butuh nafkah lagi? Oke kalau begitu. Biar kamu rasakan hidup tanpa uang. Biar kamu tahu cari uang itu gak gampang. Hidup sudah dijamin suami kok masih gak bersyukur!" ketusnya. Lalu dengan kasar Mas Arya mengambil ATM dari tanganku dan menyimpannya dalam dompetnya. Aku hanya mengulum senyum melihatnya. "Oh ya, Mas. Sebentar lagi 'kan gajian Mas. Karena ATM sudah aku kembalikan, jadi mulai bulan depan Mas atur sendiri keuangan di rumah ini ya. Aku masak kalau ada yang dimasak. Kalau nggak, ya kita puasa dulu, oke?" ucapku sambil menahan perasaan tersayat dalam hati. "Puasa? Apa maksud kamu? Ngapain puasa? Kamu pikir cuma kamu saja yang bisa mengatur keuangan rumah tangga? Mas juga bisa! Ibu apalagi! Jadi nggak usah berlebihan ngomongnya!" Mas Arya mencibirkan bibirnya dengan ekspresi mengejek. Melihat ekspresinya itu aku hanya tersenyum tipis. "Ya, siapa tahu aja Mas, soalnya selama ini Mas tahunya semua beres 'kan? Ya, udah aku mau keluar dulu ya, ada perlu ke minimarket sebelah. Masakan sudah aku masakin di meja makan. Kalau mau sarapan sebelum berangkat ke kantor, sarapan aja ya sendiri. Aku pergi dulu sebentar sama Via. Gak papa 'kan?" Mas Arya hanya mengangguk acuh tak acuh. Aku pun bergegas menyiapkan Via dan mengeluarkan motor maticku ke halaman. Tak ingin menemani dirinya sarapan pagi dan melayaninya seperti biasanya karena rasa sakit ini masih menggunung dalam d**a. Apalagi melihatnya begitu arogan dan tidak sedikitpun merasa menyesali perbuatannya telah berkhianat di belakangku, makin sebah saja rasanya hati ini. Sengaja di tiga hari terakhir bulan ini, aku menghidangkan masakan enak kesukaan Mas Arya. Seperti tadi, beberapa masakan ala restoran mahal telah kuhidangkan dengan cepat. Ada ayam lada hitam, gurame asam manis, udang saus pedas dan salad buah serta sayur juga s**u segar sebagai pelengkap. Kelak jika ia sudah mengatur keuangan sendiri, ia pasti akan merasa heran bagaimana bisa dengan sisa gajinya yang tidak seberapa lagi itu, setiap hari aku bisa menghidangkan makanan enak kesukaannya, pun hingga akhir bulan seperti ini yang seringkali jadi momok menakutkan bagi kaum hawa bergelar isteri untuk tetap bisa menghidangkan makanan sehat di kala keuangan sudah semakin menipis pada keluarga. Aku ingin ia merenung dan kapok dengan segala tingkahnya yang tidak tahu diri itu. Sudah dibantu istri tapi tidak sadar. Menyakitkan! Tapi ya sudahlah. Biar saja ini menjadi pelajaran bagi hidupnya kelak, meski saat ia sadar dan menyesal nanti, mungkin aku sudah pergi jauh dan keluar dari hidupnya, tetapi setidaknya bisa menjadikan pelajaran hidup yang berharga untuknya. Ya, sebenarnya ingin sekali aku pulang ke rumah orang tua untuk mengobati luka hati dan menenangkan diri, tetapi aku tak ingin orang tuaku jadi curiga dan bertanya-tanya ada apa dengan rumah tanggaku saat ini. Lagipula aku ingin tahu saat aku sudah meletakkan tanggung jawab yang seharusnya ia emban selama ini kembali padanya, bagaimana ia akan menafkahi anak istri dan ibu serta adiknya dengan sisa gaji yang hanya satu juta rupiah itu ya? Apakah ia masih bisa tertawa dan tersenyum bahkan bersikap sombong dan arogan seperti ini atau tidak ya? Kita lihat saja nanti!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD