22

1726 Words
Shatoru membawa satu ember air yang ia ambil dari sumur di dekat rumahnya. Ember itu ia bawa masuk kedalam kamar, ia berniat mengagetkan yang ada di sana. Tanpa mengetuk pintu, Shatoru menggeser daun pintu itu kesamping kanan, lalu... Byur! Air satu ember itu membasahi tubuh dan wajah Hayato. Dengan kaget Hayato bangung. “Banjir! Banjir!” seru Hayato belum sepenuhnya sadar dengan apa yang terjadi. “Bukan banjir, aku hanya membangunkanmu dengan cara yang tenang,” ucap Shatoru tanpa rasa bersalah sedikitpun. Hayato melap wajahnya dengan telapak tangan kanannya, dan mengucek matanya pelan. “Kau sengaja melakukan ini padaku ya, Paman,” ujar Hayato sambil memukul-mukul pelan kepalanya, sepertinya ada air yang masuk kedalam telinganya. “Agar kau bangun, ini sudah siang. Dan kita akan berlatih pedang lagi hari ini,” kata Shatoru. “Pergilah mandi dan berganti pakaian yang kita beli di Sibichu.” Hayato mengangguk kemudian berlalu pergi meninggalkan Shatoru sambil membawa ember yang di suruh Shatoru. Saat sampai di luar pintu, Hayato melihat sekeliling masih cukup gelap, matahari juga belum muncul ada biasnya di ufuk timur tapi garis alam belum nampak. Hayato mulai mengerutkan wajahnya, sepertinya Shatoru membohonginya lagi. Melihat keadaan yang masih pagi buta, sedikit ngeri jika harus mandi. Rasanya ia akan mati kedinginan, karena daerah itu memang dekat hutan dan perbukitan yang mana saat seperti ini air bisa sedikit es. “Apa aku harus mandi?” ucap Hayato sambil melihat air di ember besar. Memegang saja ia sudah merasa menggigil, apalagi harus mengguyurkannya di seluruh tubuh. “Mungkin Paman Shatoru tak akan tahu jika aku tak mandi.” Setelah mengatakan hal itu, Hayato mengambil beberapa air dan melapnya ke seluruh tubuhnya. Dingin semakin menjalan ketubuhnya, apalagi saat ini ia tengah b***l. Baju yang ia gunakan sudah ia jemur di jemuran yang ada di sana. Saat Hayato pikir telah selesai, ia kemudian masuk kembali kedalam. Mencari bajunya agar cepat merasa hangat. Tak berapa lama ia telah selesai memakai baju, baju baru yang di belikan Shatoru beberapa hari lalu. Sudah lama rasanya ia tak berganti pakaian, lama sekali sejak ia menjadi gelandangan. Padahal dulu hampir setiap minggu ia pergi ke pasar untuk membeli pakai, setiap pakaian ia gunakan dalam acara yang berbeda. Meskipun orangtuanya hanya petani biasa, tapi kini tak akan ada lagi. Orangtuanya sudah tidak ada, jangankan untuk membeli baju baru, untuk makan saja ia masih meminta kebaikan Shatoru yang entah sampai kapan mau menampungnya. Alasan Shatoru menampungnya pun nampak tak jelas, Shatoru selalu mengatakan balas budi, tapi tak jelas pada siapa dan kenapa. “Apa kau sudah selesai!” teriak Shatoru dari luar. “Iya, Paman!” seru Hayato kini, setelah itu ia berjalan keluar dari kamarnya yang masih sedikit basah, mungkin nanti ia akan menjemurnya. “Ada apa Paman?” “Ambil pedangmu,” kata Shatoru menyuruh Hayato mengambil pedangnya. “Bukan itu, tapi pedang kayu yang ada di sampingmu.” Hayato terdiam, kenapa ia tak boleh menggunakan pedang itu, biasanya ia juga belajar dengan pedang. “Kenapa aku tak boleh menggunakan pedang asli?” tanya Hayato begitu setelah ia mengambil pedang yang terbuat dari kayu. “Aku tak ada memberikanmu pedang asli sebelum kau menguasai pedang kayu. Sebagai seorang kesatria, berlatih menggunakan pedang kayu itu sangat penting. Kau paham?” Hayato mengangguk, ia lalu turun ke tanah menyusul Shatoru yang juga siap dengan pedang kayunya. "Hal yang paling penting dalam berpedang itu kuda-kuda," kata Shatoru lagi. "Sekarang buat seperti ini." Shatoru mempraktekkan kuda-kuda berpedang dengan hampir berjongkok kaki kanan di depan dan kaki kiri di belakang. Hayato mengikuti hal itu, awal mencobanya kakinya terasa sakit. Shatoru melihat hal itu, ia sesekali memberitahu posisi yang benar. Lalu, Shatoru menendang kaki Hayato. Hayato terjatuh seketika dengan p****t lebih dulu. Hayato mengerang sambil memegangi pantatnya. "Kenapa kau lakukan itu, Paman?" tanya Shatoru seolah mengeluh. "Aku menguji kuda-kudamu, jika kau tak kuat, kau tak akan bisa menggunakan pedang." "Harusnya kau bilang dulu jika ingin melakukan hal itu," kata Hayato. "Dalam pertempuran, kau tidak bisa memaksa musuhmu untuk menunggumu bersiap. Justru kau yang harus siap setiap saat," ujar Shatoru memberi wejangan pada Hayato. Hayato tak begitu paham, tapi ia akan mengikuti apapun yang Shatoru katakan. Ia ingin benar-benar menjadi kesatria berpedang. Ia ingin membalaskan dendam pada setiap orang yang membunuh kelurganya. "Ayo lakukan lagi," sambung Shatoru. Hayato mencoba lagi, menguatkan kakinya ketanah dan mengeraskan otot-otot kakinya. Shatoru menendangnya lagi dari mulai pelan hingga keras. "Sekarang apa lagi paman?" tanya Hayato begitu mengetahui bahwa sepertinya kuda-kudanya sudah begitu kuat. "Sekarang ambil pedang kayumu, ayunkan keatas dan kebawah berulang kali," kata Shatoru lagi sambil berlalu pergi. "Kau mau kemana?" "Aku ada urusan, kau lakukan saja gerakan itu sampai aku kembali, tidak akan lama." Hayato lagi-lagi hanya bisa mengangguk mendengar ucapan Shatoru. Ia terus menggerakkan pedangnya keatas dan kebawah. Dulu ia pernah melihat Ishiki melakukan hal itu. Saat Ishiki berada di Judo dan belajar berpedang ia selalu melihat, tapi sang ayah melarangnya untuk bermain dengan pedang. Katanya benda itu menakutkan dan bisa melukai tubuh. Hayato yang masih kecil hanya bisa mengangguk dan mengatakan-iya dengan ucapan sang ayah. Sekarang ia tahu bahwa pedang memang begitu menakutkan, benda tajam yang dengan mudah menghabisi nyawa seseorang. Tapi kenapa keluarganya bukan mati karena pedang, malah karena kobaran api. Jika ingat itu rasa api dendam kembali berkobar di hatinya, bayangan ketakutan akan kehilangan terus mengahantui dirinya. Tangisan pun membuatnya semakin terpuruk. Dengan sekuat tenaga ia terus mengayunkan pedangnya itu, ia bertekad untuk membalas dendam dan juga menjadi seorang kesatria handal seperti yang selalu ia harapkan dan selalu ia inginkan. Ia berharap setelah mahir pedang, ia bisa mencari siapa pembunuh keluarganya dan meminta ia mengatakan mengapa membunuh keluarganya? Apa salah ayah, ibu serta kakaknya pada pembunuh itu? Namun, jika pembunuh itu tak berniat menjawab ia akan memaksanya menggunakan kekerasan. Saat Hayato sibuk dengan pikirannya, Shatoru masuk kedalam rumah. Membawa makanan, sepagi itu ia sudah lapar. Untung saja ia membeli makanan untuk makan pagi sebelum beraktivitas, tapi ia tak membiarkan Hayato lebih dulu makan. Melihat Hayato berlatih pedang, mengingatkan dirinya ketika ia berumur 10 tahun. Saat itu Riyoichi masih hidup, ajaran Riyoichi begitu keras sampai rasanya ia hampir menyerah. Shatoru ingat betul bagaimana Riyoichi mengajarinya di tengah terik musim panas sambil berjemur di pasir pantai. Angin musim panas dan matahari serasa membakar tubuhnya. Sebagai guru Riyoichi mengatakan bahwa itu adalah latihan dasar ketahanan diri. Latihan Riyoichi terbukti padanya. Ia ingin mengucapkan terima kasih lebih dulu, tapi ia mengetahui bahwa Riyoichi sudah tiada. *** "Kau selalu terlambat datang kerumahku," ujar Bibi Yumi sambil mengaduk teh hijaunya di mangkok. Kini Shatoru duduk di depan Bibi Yumi di ruang tamunya, dan lagi-lagi ia sudah melepas topeng yang ia kenakan. Bibi Yumi tahu siapa Shatoru sebenarnya, karena saat di temukan dan sakit Bibi Yumi yang mengurus dan merawat Shatoru awalnya. Bibi Yumi begitu menyayangi Shatoru seperti anaknya sendiri. "Aku berusaha secepat mungkin datang kesini, Bibi," ucap Shatoru. Bibi Yumi selesai dengan adukannya kemudian membubuhkannya di dalam teko lalu menambahkan dengan air. Pembicaraan itu belum berjalan kembali, sampai Bibi Yumi menyelesaikan pekerjaanya. "Kau beruntung," kata Bibi Yumi sambil memberikan gelas berisi teh hijau yang di dalamnya terdapat satu batang teh berdiri di tengah. Menurut cerita batang teh berdiri adalah tanda keberuntungan. "Semoga saja," ucap Shatoru sambil menikmati teh buatan Bibi Yumi itu. Hari sudah mulai beranjak siang, saat Shatoru meninggalkan Hayato sendiri berlatih dengan menggunakan pedang kayu. Entah sampai sejauh mana ia mampu melakukan itu. Jika saat pulang nanti Hayato masih berada di sana dengan gerakan yang sama, maka ia akan melanjutkan gerakan yang lainnya. Meskipun belum inti. "Bagaimana tehku?" tanya Bibi Yumi pada Shatoru lagi, padahal tak harus ditanyakan saat mengethui reaksi Shatoru. "Bibi, kau bertanya itu tapi seolah mempertegas bahwa tehmu memang enak," ujar Shatoru. "Aku sudah tua, mungkin tehku sudah tak senikmat dulu, tanganku tak kuat lagi." Bibi Yumi memandang wajah Shatoru sambil tersenyum. "Jika Masamune ada di sini..." Ucapan Bibi Yumi menggantung. Katanya setiap melihat Shatoru ia selalu teringat dengan Masamune anaknya, dulu sang anak memang di kenal baik dan rajin. Namun, semenjak masuk menjadi salah satu bunshi di lima wilayah dan wilayah itu pecah Masamune tak pernah terlihat lagi. Gelarnya sebagai seorang ronin membuat dirinya di pandang aneh oleh orang-orang, bahkan tak jarang ia menjadi sasaran seperti pencurian, perampokan dan banyak hal lainnya. "Jika Masamune ada di sini?" ulang Shatoru sambil nampak bertanya. "Aku akan menikahkannya padamu. Sayang, ia tak ada di sini, bahkan aku tak tahu bagaimana kabarnya." Raut wajah Bibi Yumi berubah kembali. "Masamune sedang baik-baik saja Bibi," kata Shatoru menenangkan Bibi Yumi meskipun itu tidak membantu sama sekali. Bagaimanapun Bibi Yumi tetap saja mengkhawatirkan anaknya, Masamune adalah anak satu-satunya dari Bibi Yumi ia tak memiliki anak lagi. Sejak datang ke desa Yondama Shatoru memang sudah tidak bertemu dengan Masamune lagi, Masamune lebih dulu menjadi seorang Ronin dan meninggalkan keempat wilayah. Menjelajahi semua tempat untuk kembali mencari jatidirinya. Sayang, Masamune memilih pilihan yang salah. Ia malah terjebak masuk kedalam lubang hitam yang ia gali sendiri dengan tangannya. Bibi Yumi tahu hal itu, tapi ia tak bisa melakukan apapun untuk mencegahnya, di tambah kematian sang suami semuanya menjadi lebih susah lagi. Namun, suatu ketika saat tengah pulang dari mencari kayu bakar di hutan, Shatoru melihat seorang laki-laki dengan rambut panjang hitam sebatas pinggang dan diikat, awalnya ia pikir itu hanya penduduk desa, tapi ternyata bukan. Shatoru menanyakan tentang siapa dirinya, ternyata ia Masamune. Ia melihat dari kejauhan Bibi Yumi, kadang Masamune juga mengkhawatirkan sang ibu, tapi ia tak bisa berbuat lebih karena telah menjdi seorang buronan militer. Sejak saat itu Shatoru bahwa ikatan anak dan ibu begitu kuat, mungkin itu juga yang di pikirkan ibunya saat ini. Sesaat setelah ia kabur dari kerangkeng emas bertahta Bangsawan kekaisaran. "Aku dengar ia menjadi buronan," kata Bibi Yumi lagi sambil kembali menuangkan teh di gelas Shatoru yang sudah mulai kosong. "Aku juga dengar itu dari Paman Yababura, Bibi. Apa itu membuatmu kepikiran?" "Masuk tidak masuk dalam penjara aku tetap memikirkannya, Shatoru. Aku kan Ibunya," ucap Bibi Yumi. Shatoru mengangguk mengerti. "Bibi, aku mau pulang lebih dulu. Aku yakin anak itu pasti kelaparan." Shatoru mencoba berpamitan pada Bibi Yumi. "Tunggu sebentar," setelah mengucapkan itu Bibi Yumi masuk kedalam, dan tak berapa lama kembali keluar. "Aku memasak daging rusa, Inoshuke yang memberikan dagingnya. Makanlah bersama Hayato." Shatoru kembali mengangguk paham, lalu mengambil bungkusan itu dari tangan tua Bibi Yumi. Setelah itu Shatoru berpamitan untuk pulang dan menemui Hayato, untuk memberikan makan padanya. Mungkin saja anak itu sudah kelaparan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD