Beberapa minggu telah berlalu sejak pernikahan antara Hayato dan Mirai berlangsung.
Kini Mirai ikut Hayato untuk tinggal bersama di Yubikana, dan meninggalkan keluarga Kata.
Awalnya orangtua angkat Mirai mencegah hal itu, tapi sesuai tradisi jika seorang perempuan sudah menikah harus ikut dengan suaminya tinggal.
Mirai sedih meninggalkan Hokayo dan keluarga angkatnya, tapi takdir berkata lain. Sekarang di sana ia tinggal, di sebuah rumah tua di ujung desa makmur bernama Yubikana.
Awalnya Mirai berpikir bahwa Hayato adalah anak seorang kesatria ataupun setidaknya pemilik peternakan kaya, ternyata semuanya salah.
Hayato hanya seorang yatim piatu yang di tinggal mati mengenaskan kedua orangtuanya sejak kecil, hidup Hayato jauh lebih sengsara dari dirinya, sementara laki-laki bernama Ishuke yang sekarang ia panggil paman adalah guru sekaligus paman angkatnya.
Mirai tak menyesal mengenal bahkan menikah dengan Hayato, malah ia begitu bahagia mengetahui bahwa suaminya memiliki derajat yang sama dengannya, bukannya seorang kaya raya.
Itu juga alasan yang meyakinkan dirinya kenapa ia menolak menikah dengan Tsukimiya yang anak seorang bangsawasan, karena berbedanya kasta antara mereka.
Mirai tak mau jika menikah dengan Tsukimiya nanti akan malah menjadi sasaran kebencian keluarga itu, karena ia hanya gadis desa miskin yang tak memiliki apapun.
Lagi pula Tsukimiya juga tipikal laki-laki arogan yang mempergunakan segala cara untuk mendapatkan apa yang ia mau, dan harus ia dapatkan.
Sesekali Mirai memikirkan tentang orangtua angkatnya di Hokayo, mungkin mereka merindukannya kini. Apalagi jarak Hokayo yang dekat Hokaido tak bisa di tempuh dengan mudah.
Namun, Mirai yakin bahwa orangtua angkatnya begitu bahagia juga saat ini.
"Paman, aku akan pergi ke kuil," pamit Mirai pada Ishuke yang tengah membersihkan kentang hasil panen mereka musim ini.
Ishuke tak menjawab hanya mengangguk mendengar ucapan Mirai itu. Lalu Mirai berjalan menjauhi Ishuke.
Tak jauh dari tempat tinggal mereka, ada sebuah kuil yang sengaja di bangun untuk orang-orang dari luar desa, selain untuk berdoa juga untuk tempat beristirahat dan berteduh.
Sejak berada di sana, Mirai tak pernah lupa untuk mengunjungi kuil itu, ia sering melakukan doa ataupun hanya menyalakan dupa, untuk tanda bahwa kuil itu masih di gunakan.
Mirai masih melangkahkan kakinya menuju kuil yang sudah tak begitu jauh, tempatnya pun sudah terlihat jelas.
Sejak berada di Yubikana, Mirai sering sekali melihat pohon perdu yang tinggi dan rindang, karena posisi rumah Ishuke yang dekat perbatasan hutan. Sedangkan jika di Hokayo jarang sekali ia melihat, selain dekat Hokaido yang maju, beberapa rumah juga di pagari dinding.
Jika ingin melihat pohon rindang ia harus pergi ke bukit ataupun hutan, tapi tak apa. Ia sangat menikmatinya, apalagi udara segar setiap hari di Yubikana membuatnya tenang.
Selain itu di tambah kehidupan indahnya bersama Hayato, suami yang di cintainya dan Ishuke, sang Paman yang juga sayang padanya.
Sementara itu untuk memenuhi kebutuhan keluarganya Hayato bekerja mengurus kuda milik seorang saudagar kaya di Yubikana.
Karena Hayato tak mungkin terus bergantung dengan hasil panen dari sawah Ishuke.
Sebab itulah saat mendapatkan tawaran dari Adachi langsung ia terima, dengan imbalan beberapa puluh logi setiap bulannya.
Adachi sang saudagar begitu baik pada Hayato, bahkan menganggap Hayato seperti keluarga sendiri. Terlebih anak Adachi, bernama Kasagina yang baru berusia lima tahun begitu erat bersamanya.
Kadang selepas membersihkan kandang kuda setiap menjelang siang, Hayato menemani Kasagina bermain. Sambil tertawa dan bercanda Kasagina nampak bahagia.
Sedangkan istri Adachi, yakni Yoko adalah perempuan cantik yang pandai. Namun, fisiknya begitu lemah hingga banyak hal tak bisa ia lakukan, setiap hari harus meminum obat demi mencegah sakit yang ia rasakan kambuh lagi.
Kadang sekali Mirai datang mengantarkan makanan untuk Hayato, meskipun sebenarnya Adachi juga memberikan Hayato makan siang seperti pekerja lainnya.
"Hayato, siapkan kereta dan temani aku ke tempat Daimyo," ujar Adachi pada Hayato.
Tanpa menjawab Hayato hanya mengangguk mendengar hal itu, lalu meninggalkan pekerjaanya yang awalnya membersihkan tubuh kuda dan menyiapkan kereta.
Sebagai seorang yang kaya, tak heran jika Adachi memiliki kereta sendiri agar tak banyak mengeluarkan biasa lainnya.
"Ayah mau kemana?" tanya Kasagina dengan ucapan cadelnya, ketika melihat sang ayah yang hendak pergi dan Hayato yang menyiapkan kereta.
"Ayah mau ke kota, menemui Tuan Daimyo," jawab Adachi.
"Kasa ikut, boleh?" tanya Kasagina lagi.
"Ayah lama di sana, Kasa di rumah saja bersama Ibu," kata Adachi lagi.
Kasagina tak mengindahkan ucapan sang ayah, ia menggeleng pelan lalu berlari menuju kereta kuda yang di bawa Hayato.
Kasagina hendak menaiki kereta itu tapi cukup tinggi, akhirnya Adachi yang melihat itu hanya bisa tersenyum sambil membantu sang anak untuk naik keatas di susul ia sendiri.
Dan tak berapa lama Hayato menjalankan kereta kuda itu untuk meninggalkan rumah sang saudagar.
***
Hayato membawa kereta kuda itu dengan kecepatan sedang untuk menuju kota Kasugi, di mana Daimyo ketiga wilayah berada di sana.
Hayato tak tahu apa yang di lakukan tuannya, tapi dari barang yang di bawanya sepertinya ingin melakukan pekerjaan yang sangat penting.
Dari tempat kusir, ia bisa mendengar tawa cekikikan dari Kasagina yang mungkin sedang bercanda dengan Adachi, karena suaranya nampak begitu bahagia.
Mengingat anak kecil itu, ia berpikir sejenak. Apa jika ia memiliki anak nanti akan semenggenaskan Kasagina, tapi sampai saat ini istrinya belum ada tanda-tanda hamil.
Hayato terlalu banyak berpikir, padahal usia pernikahan mereka baru menginjak usia dua bulan.
Lagi pula apa ia siap jika suatu saat menjadi seorang ayah, usianya kini saja masih 19 tahun, masih sangat muda. Tapi, siap tidak siap pasti itu terjadi.
Sesekali Hayato tersenyum mengingat hal itu sambil terus membawa kereta kuda itu.
Kini kereta kuda yang ia bawa sudah melewati gerbang desa begitu jauh, dan tak sampai tengah hari mungkin mereka akan sampai di kota Kasugi.
Kota Kasugi di kenal sebagai kota kaya dan pusat pemerintahan tiga wilayah, Hayato belum pernah kesana, tapi menurut kabar di sana sangat ramai, melebihi Shibicu.
Jika Shibicu saja sudah begitu ramai bagaimana Kasugi, pasti lebih ramai.
Biasanya ketiga pergi, Hayato pasti melakukan perjalanan untuk mengemban ilmu ataupun melakukan suatu misi. Namun, saat ini berbeda.
Ia bisa lebih tenang tanpa harus terburu-buru, ia bis menikmati semua pemandangan di sekeliling tanpa pusing kemana seharusnya ia melangkahkan kaki dan menggerakkan kuda
Selain itu karena ia tak mengerti jalan, Adachi sesekali memberitahu arah jalan dan belokan mana yang seharusnya ia ambil.
Adachi tahu bahwa Hayato masih baru dalam mengurus kuda dan menjadi kusir, wajar saja. Tapi, ia yakin jika suatu saat nanti Hayato akan mengerti semuanya.