38

1240 Words
Musim dingin sudah berlalu begitu cepat, Hayato juga sudah pulih total dari sakitnya. Musim semi datang begitu indah, biasanya saat seperti ini ia akan pergi ke Festival bersama dengan Inoshuke ataupun Shatoru. Namun, keduanya tak ada saat ini. Mungkin mereka saja yang merayakan festival sementara dirinya hanya merenungi nasib. Sejak membuka mata tadi, ia mencoba mencari di mana letak pohon sakura yang ada. Ia ingin sekali berdoa di bawah pohon sakura seperti Genma biasanya. Tapi, sejak tadi ia tak melihat satupun pohon sakura. Malah hanya ada pohon akasia dan bambu sejauh mata memandang. "Apa yang kau cari?" tanya Ishuke begitu melihata Hayato seperti orang kebingungan. "Pohon bunga sakura, Paman," jawab Hayato dengan polosnya. "Kau tidak akan menemukan pohon bunga itu di sini, ia tak tumbuh di sini dan aku tak menanamnya," ujar Ishuke. "Kenapa? Bukankah indah, lagi pula kita bisa berdoa pada dewa di bawah bunga sakura itu atas musim baik ini," ucap Hayato. "Aku tidak percaya dengan Dewa atau sejenisnya," kata Ishuke. "Sekarang ambil keranjang punggung itu, temani aku bertanam dan sebelum pulang nanti kita mencari jamur coya." Hayato mengangguk mendengar ucapan Ishuke, kini Ishuke lebih mirip Shatoru yang suka menyuruhnya membawa keranjang punggung dan mencarikan jamur coya. Jika saja Genma tidak memberitahunya jamur mana yang di pilih mungkin ia sudah mati sejak lama karena memakan jamur coda. Mau bagaimana lagi susah sekali membedakan antara dua jamur itu, bahkan titik hitam di coda kadang ada di coya juga. Kini setelah Hayato mengambil keranjang punggungnya, ia mengikuti kemana langkah Ishuke. Dalam perjalanan Ishuke bilang bahwa musim seperti ini memang cocok untuk menanam baik sayur maupun buah-buahan, matahari tak begitu terik juga tak begitu dingin. Hayato tahu itu, karena dulu ketika masih kecil orangtuanya sering sekali mengaknyan bercocok tanam ketika musim semi. Sang ayah bilang, jika suatu saat ia tak menjadi orang kaya setidaknya menjadilah seorang petani, karena itu cukup menghidupmu. Hayato masih mengingat hal itu sangat jelas. Ia pun suka pergi ke ladang, ia bisa bertanam sambil bermain. Ishiki pun ikut dalam hal itu. Dalam hal apapun sang kakak selalu unggul dan pintar bahkan Hayato terus saja iri, tapi setelah kepergiannya Hayato merasa menyesal pernah iri dengan Ishiki. Saat ini ia dan Ishuke sudah sampai di ladang. Ishuke mengatakan untuk latihan pertama Hayato harus membantunya mencangkul, Hayato tak tahu caranya. Dulu sang ayat tak pernah mengajarinya mencangkul karena benda tajam itu berbahaya. "Aku tak bisa, Paman," ucap Hayato jujur. "Apa yang kau tak bisa? Kau hanya perlu menggemburkan tanah ini dengan alat itu, agar kita bisa menanam sayur," ujar Ishuke memaksa menanam. "Tapi..." "Tidak ada tapi," potong Ishuke, "lakukan seperti caraku." Kemudian Inoshuke mempraktekkan caranya mencangkul, Hayato mengikutinya meskipun sangat sulit. Ia memang pandai bermain pedang dan beladiri tapi untuk memegang alat ladang ia seperti bayi yang baru belajar caranya merangkak. Tak berapa lama kemudian akhirnya mereka selesai mengerjakan pekerjaan itu. Sesekali Hayato merentangkan tangan dan memijatnya pelan, semuanya terasa pegal. "Bagaimana?" tanya Ishuke. "Berat sekali, Paman," jawab Hayato. "Itu hanya latihan pertamamu, setelah ini akan banyak latihan lainnya, tunggu saja," ujar Ishuke lalu meneguk Sake. Hayato semakin membayangkan Ichimaru, dulu saat sebelum latihan ia harus menangkap ayam ataupun berburu burung. Hayato ingat betul, ia harus berburu burung puyuh di hutan tanpa alat apapun dan seorang diri untuk syarat jurus baru. Hampir satu hari Hayato mencarinya, hingga akhirnya Inoshuke yang menolongnya mencarikan burung puyuh itu. Dan mendapatkan tiga ekor, lengkap dengan telurnya. Ichimaru sang guru memasaknya untuk mereka nikmati, tapi karena hari sudah malam. Latihan mereka tunda, esok paginya sebelum berlatih Hayato harus menangkap hewan lainnya. Ichimaru selalu saja bermain dengannya. Menjengkelkan sekali memang. Tapi, ia tak bisa menolaknya. Setelah selesai menguru ladang, akhirnya mereka memutuskan untuk pulang. Tapi, sebelum pulang mereka lebih dulu mencari jamur coya. "Kau tahu jamur coya?" tanya Ishuke lagi, karena sejak datang Hayato tak bertanya bentuk jamur itu. "Seseorang di Yondama memberitahuku bedanya Coya dan coda," jawab Hayato. Lalu ia mengucap terima kasih pada Genma yang sudah mengajarinya, jadi pekerjaan itu tak begitu melelahkan. "Bagus jika begitu, kita cari satu keranjang kalau begitu," ucap Ishuke. "Kau akan memberi makan siapa dengan jamur sebanyak itu?" tanya Hayato. "Siapa tau penunggu hutan memintanya," ujar Ishuke. "Jangan bercanda soal penunggu hutan," kata Hayato memegang belakang lehernya. "Aku ada pengalaman buruk dengan mereka." "Seorang kesatria takut dengan hantu? Mengecewakan," ejek Ishuke pada Hayato. "Tidak takut, sudah kubilang aku ada pengalaman buruk dengan mereka," kata Hayato. Meskipun di katakan begitu tetap saja Ishuke terus mengejek Hayato, bahkan memanggilnya dengan sebutan Kesatria penakut. Hayato hanya bisa memasang wajah datar atas ejekan gurunya yang memiliki tingkah kekanakan dan aneh itu, seharusnya ia berjuluk pendekar kekanakan bukan pendekar gila wanita atau pendekar m***m. Mereka terus saja mencari jamur itu sampai keranjang itu hampir penuh, lalu mereka memutuskan untuk kembali kerumah. Karena hari semakin sore, tak lama lagi malam akan tiba dan hutan akan semakin gelap. Lalu keesokan harinya Hayato tengah berlatih beladiri bersama Ishuke, latihan yang di berikan Ishuke begitu keras, bahkan tak segan memukul dengan kayu jika Hayato salah melakukan gerakan ataupun melakukan kuda-kuda. Ishuke kadang berteriak kencang untuk membentak Hayato saat melakukan kesalahan. Ishike memberikan jurus-jurus dan gerakan baru yang tak pernah di ajari oleh Yumma maupun Ichimaru. "Sekarang serang aku!" ucap Ishuke sambil berteriak. Mendengar hal itu, Hayato mencoba menyerang Ishuke. Ia mempraktekkan jurus-jurus yang di berikan Ichimaru, tapi Ishuke bisa menghindar. Hayato terus melancarkan serangan, meskipun tak pernah mengenai Ishuke. *** Sementara itu di Yondama pada waktu yang berbeda, Gonimo baru saja menepikan perahunya. Lalu mengikat ujung perahu itu pada sebuah batang pohon agar tak terseret arus sungai. Ia membaqa dayung miliknya untuk menuju Yondama, ia memiliki janji dengan teman yang sangat lama tak bertemu. Tak berapa lama akhirnya ia sampai di tempat tujuan, sebuah rumah kayu yang cukup besar tapi sepi. "Bura!" Seru Gomino di depan pintu Yababura. Beberapa saat kemudian, seorang pelayan membuka pintu itu untuk Gomino. Dan mempersilahkan Gomino untuk masuk. Gomino duduk berhadapan dengan Yababura yang semakin tua. "Sudah berapa lama kita tidak bertemu, Gomino?" tanya Yababuta basa basi. "Sejak mulut jelekmu membuatku kelaur dari militer kekaisaran," jawab Gomino bersungguh-sungguh. Meskipun begitu Yababura malah membalasnya dengan sebuah tawa. "Kau masih mengingatnya," ujar Yababura. "Aku tak akan lupa. Seharusnya aku balas dendam, tapi kita terlalu tua untuk bertengkar. Bahkan aku sudah melupakan dendamku semenjak anakmu memujiku," kata Gomino ketika ia mengingat apa yang terjadi dulu. Lalu keduanya saling bercerita satu sama lain tentang masa lalu, yang kadang membuat mereka tertawa. "Kau berjanji akan membawaku pergi dengan perahumu, kan?" tanya Yababura memotong pembicaraan. "Aku sudah menyiapkan perahu, termasuk petimati untukmu," ucap Gomino bercanda. Lalu keduanya kemudian bangkit dan keluar dari rumah itu, meskipun jalan Yababura tak sekuat dulu. Perlahan tapi pasti mereka menyusuri Yondama yang terlihat sudah sedikit sepi. Banyak penduduk yang telah pindah mencari desa atau kota yang ramai untuk di tinggali. Apalagi belum lama Bibi Yumi juga meninggal karena sakitnya semakin parah, tak begitu berselang setelah Shatoru di jemput militer kekaisaran. Tak ada lagi perempuan tua cerewet di desa itu, tak ada lagi yang meneriaki Yababura lagi. Hal itu memperparah keadaan. Saat ini Gomino dan Yababura sudah menaiki perahu, Gomino membawa perahu itu mengarungi sungai secara perlahan. "Kemana Inoshuke?" tanya Gomino saat perahu itu semakin menengah. "Ia pergi ke Edo beberapa bulan lalu, menjadi dokter di sana," jawab Yababura. "Hebat sekali, ia pasti akan menjadi dokter yang handal." "Mungkin," kata Yababura sedih. Sebenarnya semenjak berada di Edo, Inoshuke tak pernah lagi memberi kabar pada ayahnya, padahal Yababura ingin mengetahui Inoshuke memiliki cerita apa di sana.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD