45

1200 Words
Setelah matahari beringsut kearah barat, dan bulan nampak di atas, Hayato sudah sampai di desa Yubikana. Si kusir dan kereta kudanya hanya mengantar sampai pintu gerbang saja, sementara Hayato kembali berjalan. Meskipun Ishuke tinggal di Yubikana, tapi rumahnya cukup menjauh dari rumah-rumah yang lain, menepi bahkan dekat dengan hutan. Meskipun begitu para warga cukup akrab dengan Ishuke, sebab Ishuke sering sekali kedesa, kadang untuk berkumpul ataupun menjual hasil dagangannya di pasar dan satu persatu kerumah warga. Tak berapa lama Hayato sampai di rumah sang guru, tubuhnya lelah sekali. Hingga dengan begitu saja ia merebahkan dirinya di teras. Ishuke yang mendengar suara berisik, keluar dari rumah dan menuju kedepan. Saat itulah ia melihat Hayato yang tengah berbaring sambil mengatur napas lelahnya. Belati kecil yang awalnya berada di pinggang kini sudah tergeletak di lantai kayu, dengan beberapa bercak darah yang masih menempel kering di sana. "Kau sudah pulang?" Begitu ujar Ishuke sambil bertanya pada Hayato, ia pun duduk tak jauh dari tubuh Hayato. "Aku tak ingin berbicara padamu," ujar Hayato malas menanggapi kata-kata Ishuke, jika mengingat ia hampir saja mati di gunung kabut. "Kau bicara begitu pada gurumu?" "Guru? ..., kau lihat luka di punggungku? Ini akibat cakaran kuku beruang, sampai saat ini rasanya perih sekali," ucap Hayato duduk sambil memperlihatkan luka yang tertutup kain di punggungnya. "Aku hampir mati, kau tau." "Seorang Kesatria pantang menyerah, hanya karena luka kecil." Setelah mengatakan hal itu Ishuke membuka pakaiannya, memperlihatkan luka bekas sayatan pedang di d**a dan pergelangan tangan, serta beberapa luka lainnya yang sepertinya juga bekas beruang di punggungnya. Kemudian ia membuka kainnya sampai sebatas paha. "Sisa bisa dari ular gunung kabut masih ada di kakiku, sudah mengendap dan tak menyebar." Hayato yang melihat hal itu cukup ngilu sendiri, bukan ia membandingkan luka sang guru dengan lukanya, tapi membayangkan pasti luka itu terasa sangat sakit. Saat ini memang Ishuke sudah tak merasakannya, tapi dulu mungkin rasa sakit itu hampir membunuhnya. Sama saat Hayato menghadapi beruang di gunung kabut itu. Meskipun begitu Hayato masih tak mengerti mengapa Ishuke menyuruhnya untuk pergi ke gunung kabut? Tak ada jurus baru yang ia dapatkan di sana, selain hanya mencoba bertahan hidup dari kerasnya alam. "Ah iya Guru, aku sempat singgah di sesa Nakamura," ujar Hayato kemudian. "Apa yang kau lakukan di sana? itu terlalu jauh dari Fujikana," tanya Ishuke. Lalu Hayato menceritakan apa yang terjadi saat perjalanan menuju gunung kabut, juga ketik ia pulang dan melewati desa Nakamura karena tanah di lereng gunung longsor. Tak lupa Hayato juga mengatakan bahwa ia bertemu dengan seorang pria penduduk dari Nakamura yang begitu aneh, bernama Shiraisi. Mendengar nama Shiraisi membuat Ishuke langsung penasaran, apa Shiraisi yang di maksud adalah adiknya? Jika benar berarti Shiraisi masih hidup dan juga nasih berada di Nakamura sekarang. "Shiraisi?" potong Ishuke sambil bertanya. "Iya, ia mengatakan begitu padaku. Padahal aku tak mengenalnya, dia juga bertanya dari mana aku dan semuanya," kata Hayato mengakhiri ceritanya. Ishuke meningat nama itu, sejenak terlintas dalam pikirannya bahwa ternyata adiknya masih hidup sampai saat ini. Padahal ia sempat berpikir bahwa mungkin Shiraisi sudah mati akibat sikap arogannya. Jika begitu besar kemungkinan bahwa pertanyaan Shiraisi pada Hayato itu untung mencari tahu keberan gunung kabut. Meskipun Shiraisi membenci kekaisaran tapi ia ingin sekali seperti Militer kekaisaran tanduk merah yang begitu gagah perkasa. "Lalu apa kata laki-laki yang mengaku Shiraisi itu?" tanya Ishuke kemudian. "Tidak ada, kemudian aku meninggalkan Nakamura dan tak mengetahui apapun lagi," jawab Hayato. Ishuke hanya bisa mengangguk mendengarkan ucapan Hayato itu. Kemudian Hayato masuk ke dalam rumah untuk membersihkan dirinya dan beristirahat, karena tubuhnya sudah sangat lelah, setelah melakukan perjalanan panjang. Sedangkan Ishuke masih di teras, ia masih memikirkan tentang adiknya. Ia merindukan adiknya itu, rasanya ingin bertemu Shiraisi lagi meskipun hanya waktu yang singkat, karena sebagai kakak Ishuke merasakan harus melindungi Shiraisi, itupun pesan sang ibu sebelum meninggal dulu. Namun, ia yakin Shiraisi akan menolak hal itu, karena Shiraisi begitu bersikukuh dengan jiwa penentangnya. Sekali ia mengatakan tidak maka akan selamanya begitu. *** Keesokan paginya, Hayato sudah bangun. Tubuhnya kembali segar, dan rasanya luka di tubuhnya juga mulai mengering. Setelah itu ia bersiap untuk mandi dan sarapan, saat semuanya sudah ia lakukan. Ia mulai menyusul Ishuke yang berada di ladang. Hayato tak tahu apa yang di lakukan Ishuke di sana, padahal belum lama ini mereka panen dengan hasil yang cukup melimpah. Perjalan menuju ladang tak begitu jauh, tapi karena badannya masih memiliki luka, ia tak bisa cepat-cepat. Tak berapa lama kemudian ia sampai di ladang, ia disana tak melihat Ishuke yang mengurus ladang, tapu malah melihat Ishuke yang melakukan latihan berpedang. Melihat gerakan Ishuke yang begitu lincah Hayato kagum, padahal usianya sudah cukup tua. Jika di bandingkan dengan Ayahnya mungkin meraka akan seumuran. Hayato terus mengamati Ishuke, gerakannya begitu indah. Bahkan ia rasa Ishuke tak pernah mengajarinya gerakan itu. Gerakan itu sangat asing di pikirannya, apa selama ini Ishuke masih memiliki jurus baru yang tak Ishuke katakan padanya? Jika benar begitu, berarti ia harus bisa menguasai gerakan dan jurus itu juga. Karena ia juga ingin menjadi seseorang yang hebat bahkan melebihi Ishuke, Shatoru maupun gurunya yang lain. Hayato berjalan mendekati Ishuke yang kini berhenti berlatih karena melihat Hayato yang mendekat. Ishuke sangat tahu bahwa muridnya itu pasti menginginkan ia mengajari jurus yang baru di ajarkannya. "Paman guru, apa yang aku lihat tadi jurus baru?" Begitu tanya Hayato, perkiraan Ishuke benar. "Itu jurus lama yang sudah aku pelajari, hanya saja aku belum pernah mengajarkannya padamu," jawab Ishuke. Kemudian menyimpan pedang kayunya itu di samping. " Bukankah kamu ingin aku menjadi lebih hebat tapi kenapa kau tak mengajarkan jurus itu padaku?" Kembali tanya Hayato. "Belum saatnya aku mengajarkan jurus itu padamu. Namun, karena kamu telah mengetahuinya maka Inilah saat yang tepat untuk aku mau belikan jurus ini padamu." Mendengar ucapan Ishuke itu, Hayato terlihat bahagia, karena ia ingin terus belajar menguasai ilmu-ilmu yang hebat. "Tapi, ada syaratnya," sambung Ishuke kemudian. "Syarat? Tak seperti biasanya," kata Hayato. "Ini bukan jurus sembarangan yang bisa dipakai orang maka dari itu harus pada salat yang kamu ketahui lebih dulu," ujar Ishuke. "Apa?" tanya Hayato tak sabar. "Di sebuah hutan di selatan, dekat sebuah desa Hokayo, tinggal seorang pendeta yang bijaksana. Temui ia dan katakan padanya bahwa aku menitipkan salam, setelah itu memintalah sebuah ilmu," ujar Ishuke. Hayato sedikit bingung mendengar perkataan itu, apa maksudnya ia harus menyusuri hutan dan gunung lagi? Jika benar itu akan sangat melelahkan. "Aku baru datang kemarin dari gunung kabut, dan sekarang paman ingin aku pergi lagi untuk melakukan hal konyol?" tanya Hayato. Ia sudah merasa bosan melakukan hal itu." "Hanya itu syaratnya, sebelum kau mendapatkan jurus hebat ini," kata Ishuke. Setelah mendengar ucapan Ishuke, Hayato berpikir sejenak. Mungkin tidak ada salahkan ia kembali menyusuri hutan dan gunung, karena ia ingin mendapatkan ilmu baru. Kemudian, keesokan harinya Hayato pergi menemui petapa itu yang berada di hutan dekat Desa Hokayo. Perjalan jauh yang akan menguras diri dan tenaganya. Ishuke sudah mengatakan bahwa arah desa itu keselatan, dekat perbatasan kota Hokaido. Berarti beberapa ratus kilo meter dari sana. Hayato pergi ke desa itu dengan kuda, hasil pinjaman Ishuke pada salah satu penduduk desa Yubikana, yang memang begiti akra pada Ishuke. Hayato dengan sigap membawa kuda itu berlari kencang, meskipun ia tak pernah belajar menunggang kuda selama ini, karena tak ada yang mengajarinya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD