Bab 1 - Mama!

2038 Words
Indonesia, 4 tahun kemudian….. Derap langkah cepat menuju kamarnya mengusik tidur Bianca. Ia membalikan tubuhnya kembali mendekap erat bantal menutup teliganya agar meredam suara berisik dari luar. "Ya Allah, Bianca!" teriak Ambar –Mamanya memekikan telinga bersamaan dengan suara pintu yang terbuka. Mata Bianca membuka sejenak menatap Ambar yang berada di depan pintu sembari berkacak pinggang. Gadis itu seakan tak peduli dengan kehadiran mamanya kembali memejamkan mata mencoba kembali larut dalam mimpi indahnya. Srett Suara tirai yang dibuka membuat Bianca kembali terganggu. Tapi, ia tak dapat membuka mata. Kedua matanya seolah menempel begitu rapat di pelupuk. Kebiasaannya mengerjakan sketsa hingga larut malam membuatnya baru saja tidur setelah sholat subuh. "Bianca!" pekik Ambar kesal. "Bangun! Mau jadi apa kamu anak gadis bangun siang kayak gini? Seharusnya, kamu bangun subuh, bantu mama masak. Bukan malah tidur sampai jam segini!" Ambar menarik selimut dan bantal yang menutupi muka Bianca dengan paksa. Tangannya menggoyangkan tubuh Bianca sehingga membuatnya tak dapat kembali tidur. "Ah, Mama ... lima menit lagi. Bi ngantuk ...." elak Bianca berusaha mengambil bantal yang direbut mamanya tadi. "Nggak ada. Bangun, udah siang!" teriak Ambar membuat Bianca mau tak mau bangkit "Mama ini masih ... ehm," mata Bianca menyipit melihat jam weker yang ada di nakas sembari mendesah. "ini masih jam enam, masih pagi." "Masih pagi kata kamu?! Jangan samakan pagi di sini dengan di luar. Di Indonesia, jam 6 itu sudah termasuk siang. Bangun. Bantu mama masak! Perempuan apa kamu nggak bisa masak," dumel Ambar membuat Bianca mendecak tak peduli, kembali merebahkan diri. “BIANCA!” teriak Ambar marah sehingga membuat Bianca terlonjak kaget. “Kamu bangun atau buku sketsa rancangan kamu mama bakar!” ancam Ambar membuat Biancamembuka mata segar dan menatap mamanya membawa buku sketsa besar berisi semua rancangannya yang semalaman suntuk ia kerjakan. “Mama ... Bianca bangun. Jangan dibakar,” ucapnya takut segera bangkit dan mencoba mengejar mamanya yang menjauh membawa buku ‘Keramat’ miliknya. ****** Bianca menguap. Tangannya merenggangkan otot-ototnya yang kaku seraya mendecak kesal. Bagaimana mungkin mamanya bisa setega ini membangunkannya hanya untuk membantu memasak. Seharusnya mamanya tau, cooking isn’t her style. Ia tak pernah cocok dengan yang namanya meramu bahan mentah menjadi sesuatu yang bisa dimakan. Ia lebih suka menghamburkan uang yang diperolehnya untuk makan di luar. Toh, lebih simpel tinggal datang, pilih menu, terus makan. Tanpa harus memasak dan mencuci piring. “Kamu mau sampai kapan di sana? Cepet bantu mama atau buku kamu bener-bener mama bakar,” ancam mamanya membuat Bianca bergegas masuk ke dapur. “Goreng telur!” perintah mamanya mengodekan memakai kompor di sebelahnya yang sudah di tumpangi teplon. Bianca menatap horor. Seumur hidup, ia tak pernah sekalipun memasak apapun termasuk, menggoreng telur. Memasak air saja ia terkadang sampai airnya habis karena tidak ingat. Bianca menelan ludahnya. Perlahan, tangannya menghidupkan kompor, mencoba mengingat apa yang Tari, kakak tirinya lakukan saat memasakan sarapan untuk keluarga kecilnya. Matanya menatap minyak goreng lalu menuangnya ke dalam teflon. “Telurnya mana, Ma?” tanyanya mencari keberadaan telur. “Di kulkas.” Ambar tak menatap Bianca, sibuk dengan nasi goreng yang ia buat. Bianca mendesah kesal. Mamanya merepotkan. Apa gunanya beliau mempunyai pembantu kalau sarapan saja, masih mamanya yang buat. Matanya terhenti saat melihat teplon mulai mengeluarkan asap. Dengan cepat ia berlari, mengipasi asap itu. Ia terlihat bingung apa yang harus ia lakukan. “Bi, itu wajannya panas. Ayo, ceplokin telurnya,” perintah mamanya membuat Bianca mengangguk dan mulai memecah telurnya. Ia panik saat melihat apa yang baru saja ia lakukan. Matanya menatap ke arah teflon itu. Isi telur bercampur dengan cangkangnya “Ya Allah, BIANCA!” teriak mamanya membuat Bianca mengigit bibirnya meruntuki kebodohannya. ***** “Ha... ha... ha ....” gelegar tawa Alex, Papa Bianca terdengar membuatnya yang sedang duduk di samping beliau terlihat sangat kesal. Menghentakan kaki mengingat kejadian yang baru saja terjadi. Diusir mamanya dari dapur karena insiden cangkang telur yang baru saja ia lakukan. “Pa ... udah dong. Jangan ketawa terus,” decak Bianca kesal membuat tawa Alex semakin kencang. “Pa...” desis Bianca membuat Alex berdehem mencoba menetralkan tawanya, namun tak berhasil. “Kamu sih lucu. Masa goreng telur aja sampai cangkang-cangkangnya, hihihi,” kekeh Alex membuat Bianca merengutkan bibirnya. “Papa kan tau kalau Bi nggak pernah bisa masak.” “Bukan nggak pernah bisa, nggak mau belajar,” celetuk mamanya membawa telur goreng yang akhirnya beliau sendiri yang harus memasaknya. “kamu tu udah mau 28 tahun dan goreng telur aja kamu masih masukin cangkangnya. Gimana nanti ada cowok yang mau ngelamar kamu jadiin istri,” decak mamanya seraya menyendokan nasi pada suaminya yang kembali terkekeh mendengar dengusan putri bungsunya ini. “Bi masih muda, Mah. Masih belum saatnya mikirin pernikahan.” “Belum saatnya gimana? Aurora, istri Alan seumur kamu udah punya dua anak perempuan kembar cantik umur 4 tahun, Rani juga, umur Deeva udah 8 tahun saat seumur kamu. Tar..” “Iya. Tari udah punya Alpha sama Venus saat seumur Bianca,” decak Bianca melanjutkan ucapan Ambar. “Nah, itu tau,” sungut Ambar membuat Bianca menggeram. “Bianca masih mau berkarir, Mah. Belum mau memikirkan pernikahan.” “Berkarir apa? Jadi tukang jahit seperti yang Deeva katakan dulu? Karir itu gampang Bi, bisa dilakukan sejalan dengan pernikahan. Jangan kamu persulit.” “Bi..” tegur Alex saat Bianca ingin kembali membantah ucapan Ambar. Menatap Alex yang menggeleng memintanya untuk diam. Membuat Bianca mendesah kesal sebelum akhirnya menutup mulut dan menunduk. “Mama nggak mau tau. Pokoknya kamu harus bisa masak!” perintah Ambar jelas membuat Bianca menatap mamanya enggan. “Mama udah daftarin kamu ke kelas memasak celebrity chef terkenal. Kali aja setelah bisa memasak kamu bisa dapat calon suami yang cocok sama kamu.” Mamanya mulai mengkhayal macam-macam. “Jangan menolak atau mama pastikan Perusahaan papa dan Alfian untuk mencekal brand kamu. Dan kamu beneran jadi tukang jahit setelah ini,” Tandas Ambar membuat mata Bianca membuka sempurna. Ia benci ini. Benci melibatkan tangannya untuk segala t***k bengek yang berurusan dengan dapur. IA BENCI MEMASAK!!. ***** “Lo kenapa?” tanya Rona Mentari, kakak seayahnya dari meja kerja. Tangannya yang sedari tadi menggambar rancangan design interior yang baru terhenti melihat adiknya berjalan mendekat dengan wajah cemberut. Hentakan kakinya terdengar dari luar membuatnya mengerenyitkan kening saat adik bungsunya itu menghempaskan p****t ke sofa biru di studio interiornya . Matanya menatap lekat Bianca sebelum akhirnya tersenyum kecil. Menyadari hanya ada dua hal yang membuat adiknya menjadi seperti sekarang. “Apartemen gue belum selesai, Tar?” tanyanya kesal sembari menghela napas dalam. Kata – kata calon suami dan memasak yang diucapkan mamanya tadi membuat mood-nya benar-benar berantakan. Rasa ingin secepatnya meninggalkan rumah orang tuanya dan tinggal sendirian di apartemen yang sudah dihibahkan Alfian kepadanya. “Belum. Lo tau sendiri keadaan gue gimana.” Bianca terdiam saat melihat Tari berdiri dan berjalan terseok dengan memegang perutnya. Mata Bianca terhenti saat melihat perut Tari yang membuncit. Ada sedikit rasa sedih yang menyelinap di dadanya. “Kandungan lo udah nggak pa-pa?” Rona tersenyum pelan lalu mengusap kandungannya yang sudah memasuki bulan ketujuh. Kehamilan ketiganya ini benar-benar menguras tenaga. Jika saat kehamilan pertama dan kedua ia terlihat biasa saja tanpa mengalami morning sickness dan ngidam yang memberatkan, tapi sekarang … Ini saja baru dua bulan terakhir sejak ia kembali bekerja setelah lebih dari lima bulan terbaring tak berdaya karena morning sickness yang menyebalkan. Untung saja, suaminya siap sedia menjaga kedua malaikat kecil mereka, “Kaki lo?” tanya Bianca lagi menatap ke arah kaki kanan Tari yang bergerak mendekatinya. “More than just better,” gumamnya dengan senyum cerah membuat Bianca menatapnya senang. “Ya iyalah, gimana nggak better kalo yang sembuhin suami sendiri – lagipula, kenapa sih kalian jadi kayak ngejar setoran gitu. Baru 5 tahun nikah, tapi udah jadi 3 kali,” celetuk Bianca membuat rona pipi Tari berubah jadi merah. “Kadang kala orang yang membuat luka, belum tentu yang menyembuhkannya kan, Tar?” tanya Bianca menerawang membuat Tari mengernyitkan kening. “Kamu kenapa?” “Nggak apa-apa,” geleng Bianca sembari tersenyum kecil. “Apartemen gue beneran belum jadi?” tanyanya sekali lagi yang dijawab anggukan Tari. “Sedikit lagi, lo tau sendiri di dalam kondisi kayak gini. Gue jadi berjalan lamban. Emang, kenapa sampai lo pengen cepet-cepet tinggal sendiri. Lo juga baru 2 bulan balik ke Indonesia lagi, kan? Mama ngerecokin elo?” tanya Tari disambut anggukan dan rengutan kecilnya. Bianca memang baru kembali dari ke Indonesia setelah hampir 5 tahun melalang buana ke seluruh daratan Eropa dan Amerika untuk belajar sekaligus membangun brand fashion yang ia miliki. Dan sekarang dia terpaksa tinggal di rumah orang tua mereka sampai apartemennya selesai dirombak habis oleh Tari. Jika boleh memilih, Bianca tak ingin tinggal bersama Ambar dan kembali direcoki dengan masalah memasak dan pernikahan. “Makanya lo bisa nggak lembur buat ngerjain apartemen gue?” “KAMU GILA?!” teriak dua pria bersamaan membuat Bianca dan Tari melihat ke arah pintu kantor Tari yang terbuka. Bianca menampilkan wajah kesal saat kedua orang itu bergerak mengapit Tari, salah satunya memegang perut Tari yang membesar. Direngutkan wajahnya menatap dua orang yang dulunya bersaing untuk mendapatkan Tari sekarang terlihat seperti sahabat yang tak terpisahkan. Kesamaan visi untuk menjaga dan melindungi kami membuat salah satu dari mereka mengalah. Dan membiarkan yang lain menikahi Tari seperti sekarang. “Bagaimana mungkin kamu bisa menyuruhnya lembur dengan perut seperti ini?” “Kamu tidak tau kalau dia masih terlalu beresiko untuk melakukan pekerjaan berat!” omel kedua laki-laki tampan bergantian membuat Bianca mendengus. Bianca merengut kesal. Menatap dua laki-laki yang berpengaruh besar dalam hidup kakaknya sekarang. “Tau aja yang punya dua black knight yang bersedia menjaga princess dari adik tiri jahat macam aku,” ringis Bianca membuat kedua laki-laki tampan itu tertawa. “Salah. Aku bukan Black Knight-nya Princess. Aku White Prince-nya.” “Hoek.” Bianca berpura-pura muntah saat kakak ipar-nya mengatakan kata-kata gombal sehingga membuat Tari tersenyum cerah. Lalu menyikut suaminya itu sehingga membuatnya sedikit kesakitan. “Kamu marahan lagi sama tante Ambar?” tanya laki-laki satunya lagi lalu duduk di samping Bianca yang kembali mendengus. “Emang mama, nyuruh kamu apa lagi?” kekeh Kakak iparnya kembali mengelus lembut perut buncit Tari sehingga membuat Bianca memandang iri. “Masa mama nyuruh aku les masak. Udah nggak jaman lagi, kalau cewek itu harus pinter masak.” Rengutnya membuat ketiga orang yang ada di depannya tertawa keras. “Lo tu aneh. Wanita tu kodratnya ya masak. Masa, lo aja masak air sampe gosong terus kalau udah goreng telor, bukan telornya yang lo goreng, malah cangkangnya,” celetuk Tari membuat tawa laki-laki tampan di depannya semakin kencang. “Lo sediri? Selama di luar, emang lo bisa masak?” tanya Bianca mulai ngotot. “Sorry. Gue kalo masak air nggak pernah gosong tuh. Terus, gue juga bisa lah bikin omellete sama salad buat ganjal perut gue. Daripada elo kalau mau makan. Kalau nggak nggak Delivery ngungsi ke Cafe atau restoran terdekat,” balas Tari membuat kedua laki-laki yang ada di dekat mereka terkekeh mendengar kembali perseteruan kedua kakak beradik di depan mereka. “Tante Ambar bener kok. Perempuan itu harus bisa masak. Masa kamu udah umur segini nggak bisa masak,” ucap pria yang tadi duduk di samping Bianca mulai mengompori sehingga membuat Bianca bergerak ingin memukulkan Cushion floral yang ada di dekatnya. “Kamu ikutin aja perintah mama, kali aja entar kalau sudah bisa masak bakalan ada cowok yang bakalan jinakin sikap kamu,” celetuk Kakak Iparnya. “Emang aku macan, sampe harus dijinakin. Udah ah, males kalau curhat sama kalian. Bukannya di bela malah di pojokin kayak gini. Sebel!” desisnya menghempaskan cushion tadi lalu berjalan menghentakan kaki keluar dari ruangan Tari. “Mau kemana?!” teriak Tari sembari terkekeh. “BALIK!” ketus Bianca tanpa melihat ke arah 3 orang yang terus meledeknya. “Jangan lupa, Gue udah ngasih project buat wedding ceremony bulan depan ke Asisten lo!” teriak Tari yang dijawab dengan acungan jempol Bianca tanpa menoleh. “KAMU MASIH JADI WEDDING PLANNER?” Tari terdiam mendengar geraman suaminya. Matanya menatap takut saat sadar ia kembali kecepolsan mengatakan tentang kerja sambilan yang ia lakukan. “I think i need to go,” ucap lelaki yang lain berjalan meninggalkan suami istri ini yang akan melakukan perang dunia ketiga sekarang.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD