MDU 16

2079 Words
Jovanka merasa risih, karena setiap kali harus direcokkan dengan berbagai jenis pemuda yang menurutnya tidak waras. Ia kesal. Hingga gadis itu akhirnya memutuskan untuk mengambil cuti. Namun lagi-lagi ketenangannya harus terganggu, oleh kedatangan sosok pemuda yang entah siapa, ia pun tak tau. "Jovanka kan?" tanyanya, memastikan. "Iya. Elo siapa?" tanya balik Jovanka. "Gue mau bicara sama elo, tentang Tristan." ucapnya, yang mana membuat Jovanka mengernyitkan keningnya. Selanjutnya ia mempersilahkan pemuda itu untuk duduk. Jovanka semakin penasaran dengan apa yang akan pemuda itu katakan. "Sebelumnya kenalin, nama gue Sona." ucapnya sebagai pembuka. Jovanka mengangguk. Sona menarik napasnya pelan, sebelum kembali berucap. "Gue selaku sahabat dari Tristan. Gue cuma mau meluruskan tentang masalah yang elo sama temen gue hadapin. Gue nggak mau, gara-gara ke salah pahaman ini, elo jadi benci sama Tristan. Gue tau, elo mutusin dia gegara vidio unfaedah itu. Gue sadar, ini emang salah gue sama temen-temen gue. Bener sih, awalnya kita buat taruhan dengan objeknya elo sama Tristan. Tapi satu hal yang harus elo tau, Tristan beneran cinta sama elo. Dia udah ngakuin kesalahannya. Gue harap, elo mau maafin kesalahan dia. Dia benar-benar tersiksa, saat elo mutusin dia. Sampai-sampai dia rela ninggalin negaranya sendiri, demi bisa lupain elo." kekeh miris pemuda tersebut. Jovanka menggigit bibir bawahnya, ia tak kuasa menahan sakit yang menderu di dalam hatinya. Kenapa ia baru mengetahui permasalahannya sekarang? Kenapa tidak dari dulu? Di saat sosok pemuda itu masih ada di dekatnya. Dan sekarang semuanya sudah terlambat. "Dan satu hal yang harus elo tau. Ada orang lain yang sengaja bikin hubungan elo sama Tristan hancur." Jovanka menatap tajam ke arah pemuda di hadapannya. Seolah tatapan matanya siap menusuk sosok tersebut. "Siapa?" "Rofiq." Kedua bola mata Jovanka membola lebar. Dia tak menyangka jika Rofiq adalah dalang dari semua apa yang telah terjadi. Tristan sudah tak ada lagi, menyisakan luka yang membekas di dalam hati. "Son. Elo punya nomor HP nya Tristan nggak? Gue mau minta maaf ke dia." "Sorry, gue nggak punya. Keknya memang Tristan sengaja nggak punya HP, atau mungkin dia sengaja nggak ngasih tau. Biar nggak ada yang hubungin dia." Hati Jovanka terasa tertohok. Sakit banget, ketika rasa penyesalan itu selalu datang di akhir cerita. Kalau awal itu pendaftaran, Jov. Jovanka menangis sesenggukan, ia benar-benar menyesal. Dan ingin meminta maaf pada Tristan, tapi sosok itu bagaikan hilang dari muka bumi. Tak bisa dijangkau. "Jov. Elo nggak usah sedih. Gue percaya, jika kalian di takdirkan buat bersama, suatu saat nanti pasti kalian bakal ketemu lagi." tutur Sona, memberi ketenangan pada sosok di hadapannya. "Kenapa gue bodoh banget? Kenapa gue harus percaya sama video itu? Dan lebih milih buat mutusin Tristan." racaunya. "Elo nggak bodoh kok. Semua cewek pasti akan lakuin hal yang sama, sepeti yang elo lakuin." Tak lama terdengar derap bunyi langkah kaki. Mereka menghentikan acara perbincangan. Dan menoleh ke arah pintu, bersamaan. Bagai kerasukan sosok dari negara api rasanya. Tubuh Jovanka terasa terbakar, saat melihat sosok lelaki yang kini terlihat tengah berdiri di ambang pintu tempat tinggalnya. Dengan senyuman tergaris apik di bibirnya. Namun Jovanka serasa ingin menampar wajah sok polos itu. Siapa dia? Jika bukan Rofiq. Sosok yang masih hangat diperbincangkan. Pemuda itu masuk ke dalam ruangan tempat Jovanka dan Sona duduk. "Elo di sini, Son?" tanyanya basa-basi. "Menurut elo?!" sahut Sona, dengan nada ketusnya. Jovanka masih diam, tak ingin mempersilahkan pemuda itu untuk duduk terlebih dahulu. Ia sibuk berperang dengan hati dongkolnya. Rofiq beralih menatap ke arah Jovanka. Yang sedari tadi hanya berdiam durja. "Jov. Ini buat elo." ucapnya lembut, sembari menyodorkan serangkaian bunga mawar putih ke arah sang gadis. Jovanka berdiri dari tempat duduknya. Ia tersenyum, sangat manis. Berlahan mengambil bunga yang disodorkan Rofiq untuknya. Meraih rangkaian bunga itu, dan mencium aroma semerbak dari bunga berwarna putih tersebut. "Kok baunya busuk, ya?" titah Jovanka, nyengir jijik. Rofiq tentunya terkejut dengan apa yang Jovanka katakan. Nggak mungkin dong bunganya berbau busuk, lagian itu masih fresh baru ia beli. "Masa sih?" Rofiq meraih bunga tersebut dari tangan Jovanka, dan mencoba mencium aroma bunga tersebut. Tak ada yang berbeda, baunya tetap sama, seperti bau bunga pada umumnya. "Enggak kok Jov. Ini wangi." ucapnya. Jovanka mengangguk. "Apa mungkin bunganya ngerti yang bawa siapa ya?" sindirnya. "Maksud elo?" Rofiq butuh penjelasan. "Ya, karena yang bawa berhati busuk. Jadi nular ke bunganya." sindir Jovanka lebih menusuk. "Bentar. Ini maksudnya apa sih, Jov? Gue bener-bener nggak ngerti yang elo omongin." "Yakin elo nggak ngerti? Atau cuma sok berlagak blo'on?" "Jov. Langsung aja jelasin, biar gue paham apa yang elo maksud." jengah Rofiq. Jovanka mengeratkan gigi-giginya, sungguh ia benar-benar marah pada pemuda di hadapannya ini. "Kenapa elo tega lakuin hal itu pada Tristan? Elo tuh temen dia kan? Gue nggak habis pikir, kenapa elo tega jatuhin temen elo sendiri." Ok! Sekarang Rofiq ngerti arah pembicaraan Jovanka. Ternyata semua ini menyangkut tentang apa yang ia perbuat pada Tristan. "Oh, jadi elo udah tau." ucapnya, kelewat santai. Membuat Jovanka semakin naik pitam. "Apa tujuan elo ngelakuin hal itu pada Tristan?" tanya Jovanka, seraya bersedekap d**a. Rofiq menyunggingkan sebelah bibirnya. "Karena gue nggak suka kalau dia deketin elo. Dia nggak pantas bersanding sama cewek sebaik kamu. Dia cuma baji*ngan. Elo tuh pantasnya cuma bersanding sama cowok baik-baik seperti gue." PLAKK!!! Sambutan dari telapak tangan Jovanka, mengakhiri ucapan tak bermutu pemuda bernama Rofiq itu. Sontak Pemuda itu membolakan kedua bola matanya. Ia tak percaya sekaligus malu, apalagi sosok lelaki yang sedari tadi duduk di sofa terlihat menertawakan dirinya. "Elo berani nampar gue? Selama ini nggak ada cewek yang berani berbuat kasar sama gue!" emosi Rofiq. Jovanka mengangguk sombong. "Jadi gue pemecah rekor dong? Karena berhasil nampar wajah elo untuk yang pertama kalinya." "Sialan lo!" Rofiq mengangkat tangannya tinggi-tinggi, siap membalas tamparan Jovanka. Jika saja! "Eitt!!! Jangan beraninya ama cewek Bro .... Elo nggak malu apa? Kek banci aja, main kasar sama cewek." cibir Sona, menurunkan tangan kanan Rofiq. Rofiq menggerutu kesal. Ia malas berdebat, lebih tepatnya takut. Dan lebih memilih pergi dari tempat tersebut. Jovanka berseringai, berlahan mengambil bunga yang tergeletak di atas mejanya. Kemudian membuangnya ke dalam tong sampah. "Nyampah doang di rumah orang," gumamnya. "Oiya, gue pamit pulang dulu ya! Masih ada urusan, dikit. Kalau ada apa-apa, elo bisa hubungin gue." Sona menyodorkan kartu namanya pada Jovanka. "Makasih ye! Elo dah baik sama gue." ucap Jovanka. Sona mengangguk. "Nggak apa-apa, temen Tristan juga temen gue." Jovanka meluruhkan tubuhnya. "Elo lagi ngapain Tan, sekarang?" tanyanya, pada udara kosong. Berharap udara itu bisa menyampaikan pesan sesalnya pada Tristan di negeri Jiran. *** Tristan tengah sibuk bekerja di sebuah rumah makan di Johor, Malaysia. Pemuda itu terlihat semakin tampan dan juga dewasa. Tidak lagi konyol seperti Tristan yang dulu. "Tan, tar malem dateng ke studio musik yuk!" ajak salah satu temannya. Tristan hanya mengangguk, ia juga merasa penat sebenarnya. "Cuma kita berdua doang?" tanya Tristan kemudian. "Gue ngajak si Yola, noh yang kerja di kilang sebelah. Biar elo nggak mikirin mantan mulu." Tristan hanya menggeleng kecil. "Dia nggak bakal bisa ada yang gantiin di hati gue." Malam pun tiba. Sesuai dengan yang direncanakan. Kini Tristan sudah siap bersama teman-temannya. "Gue jemput si Yola dulu ye. Nanti gue nyusul, elo duluan aja." tutur salah satu teman Tristan yang bernama Mahfud itu. Semua mengiyakan permintaan Mahfud dan bergegas pergi ke tempat studio musik tersebut. Sesampainya di sana. Tristan dan kawan-kawannya segera mengambil posisi. Di bagian drummer, keyboard, gitaris dan lainnya, sedang Tristan di posisi vocalis. "Si Mahfud lama amat yak?!" kesal salah satu pemuda di sana. Tak lama yang ditunggu pun akhirnya datang, bersama dengan seorang gadis cantik berhijab. Gadis itu tersenyum, namun tatapan matanya tertuju pada pemuda yang berdiri di belakang mikrofon di sana. "Cepet ambil posisi elo! Biar kita cepet mulai." sergah salah satu pemuda. Dengan cepat Mahfud mengambil posisinya. Sedang Yola sebagai vocalis. "Pen nyanyi apa lo Tan?" tanya Mahfud. "Gue lagi pen lagu melow." sahutnya lesu. Ingatannya tiba-tiba melambung pada gadis di negara tanah airnya. Mahfud seakan sudah mengerti dan langsung saja memainkan musik pengiringnya. Tristan memejamkan kedua matanya, membayangkan bagaimana rasa sakit saat terkahir kali ia bertemu dengan Jovanka. Saat gadis itu memutuskan dirinya, rasa itu masih begitu membekas di hatinya. Ditambah alunan musik sedih yang terdengar, semakin membuatnya sakit. Tristan memulai mengambil suara. 'Mengapa kau pergi, mengapa kau pergi. Di saat aku mulai mencintaimu. Berharap engkau jadi kekasih hatiku. Malah kau pergi jauh dari hidupku. Menyendiri lagi menyendiri lagi. Di saat kau tinggalkan diriku pergi. Tak pernah ada yang menghiasi hariku. Di saat aku terbangun dari tidurku. Aku inginkan dirimu datang dan temui aku. Kan ku katakan padamu, aku sangat mencintai dirimu. Aku inginkan dirimu, datang dan temui aku. Kan ku katakan padamu ... aku sangat mencinta ...' Tristan tak sanggup lagi melanjutkan nyanyiannya. Pemuda itu terisak, dadanya gemuruh sakit. Bahkan tubuhnya terasa lemas, hanya sekedar mengingat sang mantan kekasih. Kakinya terasa kelu, hingga tak sanggup menopang berat badannya. Tubuh bergetar itu merosot ke bawah, tertumpu pada kedua lututnya. Dengan kedua tangan memegang erat batang mikrofon di hadapannya. Sembari mengatukkan keningnya dengan batang besi tersebut. Hanya isakan lirih yang terdengar dari bilah bibir pemuda itu, saat ini. Iringan musik mendadak berhenti, tergantikan kesunyian ditemani tangisan sedih, seorang Tristan Ivander. "Jovanka ... gue rindu sama elo." isaknya. "Tan. Elo harus sabar. Gue yakin, elo bisa lupain Jovanka. Masih ada cewek lain yang bisa nerima elo setulus hati." timbal Mahfud. "Elo nggak ngerti gimana perasaan gue. Gue nggak bisa berpaling dari Jovanka. Gue cinta mati sama dia." "Apa dia juga cinta sama elo? Siapa tau sekarang Jovanka udah punya pengganti elo." kini Yola yang berucap. Ada maksud terselubung di balik ucapan menenangkan dari bibir gadis itu. Tristan tak menghiraukan ucapan para teman-temannya. Otaknya terasa kacau saat ini. Rindu terhadap gadis di sebrang lautan sana, membuatnya tersiksa. Seakan rasa sakit itu sengaja menertawakan nasibnya. "Tan, kita pulang aja ya ... gue yang akan temenin elo." tawar Yola. Tristan hanya mengangguk, mungkin gadis ini bisa membuatnya sedikit tenang. Batinnya. Mereka semua pun memutuskan untuk pergi dari tempat tersebut. Kini Tristan sudah berada di sebuah wahana pasar malam, bersama Yola tentunya. "Elo orang mana?" tanya Tristan. "Gue orang Jawa Tengah. Kalau elo?" sahut gadis itu. "Gue orang Jakarta." sahut Tristan kemudian. "Kenapa elo bisa merantau ke sini?" tanya Tristan selanjutnya. Yola tersenyum. Dan menjawab. "Gue bukan dari kalangan orang berada. Gue pengen ngubah nasib gue, gue pengen ayah sama ibuk gue bahagia." Tristan tersenyum tipis, salut dengan pemikiran dewasa gadis di sampingnya ini. "Kalau gue, cuma mau hindari kenyataan." kekeh Tristan. "Elo bener-bener mencintai mantan elo itu, ya?" "Sangat. Dia cewek satu-satunya yang bisa buat gue patah hati." tawa miris Tristan, ia berpikir, mungkinkah ini karma karena ia dulu suka mainin hati cewek?. Hah, rasanya Tristan kapok ngerasain jatuh cinta. Apa dia harus ngaktifin mode playboy cap kecoa-nya lagi ya? Biar nggak sakit-sakitan nih hati. Biar hati sehat walafiat. Kek nya harus gitu deh, baru saja mikir kena karma. Dan sekarang mau ngulang kesalahan yang sama lagi, dasar Tristan. "Beruntung banget tuh cewek, bisa di demenin ama cowok setampan elo. Kalau gue jadi dia, gue nggak bakal sia-siain elo," modusnya. Tristan tak bodoh untuk tak menangkap ucapan gadis di sampingnya ini. Dia mantan playboy yang sekarang mau kambuh lagi, guys. Jadi jangan salahkan Tristan, jika dia terlampau hafal dengan berbagai sifat seorang keturunan hawa ini. "Elo mau gantiin dia?" tanya Tristan. Beginilah cara pemuda itu untuk mengecek bagaimana sifat seorang gadis. Jika gadis itu langsung mengucap 'iya' artinya gadis itu gampangan. Jika gadis itu jual mahal, artinya gadis itu sulit untuk didapatkan. Yola tersenyum ke arah Tristan. Ia merasa bangga bisa memenangkan perasaan Tristan. Dengan senang hati gadis itu menjawab. "Iya, gue mau. Gue janji, bakal jaga perasaan elo. Gue nggak akan buat elo kecewa." ucap gadis itu menggebu. Seketika senyuman Tristan memudar, digantikan dengan raut wajah malas. "Em," Tristan mengangguk satu kali, seraya berpaling muka. "Mulai saat ini kita pacaran ya!" seru gadis itu. "Em," lagi-lagi hanya gumaman yang Tristan lakukan. "Gue mau pulang. Pen tidur, capek." ucap pemuda itu selanjutnya. Sejujurnya ia sudah malas dengan gadis ngeyel ini. Tristan berdiri dari tempat duduknya. Dan kemudian melangkah pergi, diikuti gadis yang sekarang menjadi kekasihnya itu, di belakangnya. Yola memandang telapak tangan Tristan, berharap jika pemuda itu akan menggandeng telapak tangannya. Namun tidak, Tristan justru memasukkan kedua telapak tangannya ke dalam saku celananya. Alhasil Yola merasa kecewa, namun ia tak hilang akal. Dengan berani, gadis itu merangkul lengan Tristan. Menempelkan kepalanya di pundak kanan pemuda tersebut. Tristan mendengus kesal, ia sebal dengan gadis ini. Tidak biasanya ia merasa risih, jika dekat dengan seorang gadis. Tapi, kalau gadisnya modelan kek gini. Sudah jelas Tristan muak
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD