Jam dinding menunjukkan pukul 18:00. Aku masih sibuk memanjakan diriku, hari tersantaiku, ingin rasanya aku segera tidur merebahkan tubuhku yang terasa remuk.
"Ah, lelahnya," gumamku.
Hingga suara klakson motor terdengar memekakkan telingaku di luar sana.
TINNN.....TINNNNN....
Astaga! Bunyi yang terakhir panjang sekali.
"b******k," umpatku, aku segera berlari membuka pintu kontrakanku, kasar. Dan ku lihat, sesosok penampakan tengah menampilkan senyuman lima jarinya. Siapa lagi sosok itu jika bukan Tristan.
"Jangan bilang jika kamu lupa dengan acara kita," ucap pemuda itu.
Aku merolling bola mataku, malas.
"Sayangnya memang begitu," aku kembali memasuki kontrakanku, tanpa memberikan ijin Tristan masuk terlebih dahulu.
Jujur aku sangat malas keluar malam ini, moodku berdandan pun juga menurun. Astaga, aku harus bagaimana?.
Beberapa menit kemudian.
Jovanka, keluar dari kontrakan kecil nya.
"Cepat sekali, aku meragukan dirimu, sebagai seorang gadis, biasanya gadis lain akan menghabiskan waktu berjam-jam untuk berdandan. Sedang dirimu?" Remehnya.
"Bicara sekali lagi, gue pergi balik tidur," sergahku, aku sedang malas di goda jika kalian tau.
"Eh ... jangan begitu, tega sekali," gumam pemuda itu lirih, tapi masih bisa kudengar.
"Lu bicara apa, hah?!"
"Tidak, kamu sangat cantik," panik Tristan.
Tanpa banyak basa-basi, aku langsung mendudukkan bokongku kasar, di jok belakang motor pemuda itu.
"Sudah?" Tanya Tristan.
"Em," gumamku.
Hah! Aku ingin segera pergi dan pulang kembali. Belum juga berangkat.
"Kita mau kemana?" Tanyaku malas.
"Ke suatu tempat," sahut Tristan, sedikit mengeraskan nada bicaranya.
"Awas ya, jangan sampai loe membawa gue ke tempat sepi," jujur aku begitu takut, biar bagaimanapun Tristan seorang lelaki, yang bisa kapan saja kilaf. Oh, Tuhan, semoga saja tidak terjadi.
Tristan terkikik geli.
"Astaga, kamu ini lucu sekali. Aku tidak mungkin melakukan sesuatu yang jahat padamu," ucap Tristan, yakin. Entah mengapa aku begitu percaya pada ucapan pemuda di hadapanku ini.
Tak berapa lama kami berdua pun sampai ke tempat tujuan.
Aku tersenyum, melihat sekeliling taman yang begitu ramai. Dengan banyaknya jajaran penjual jajanan kesukaanku.
"Kamu mau beli apa?" Tanya Tristan.
"Gue?" Tunjukku pada diriku sendiri.
Sebenarnya aku ingin menanyakan, apa aku harus membeli sendiri atau Tristan yang membelikanku. Hehe, sifat matreku kambuh lagi.
"Kenapa diam saja? Tenang saja, aku yang traktir," ucap Tristan, ah! Pemuda itu seakan mengerti alur pikiranku.
Aku tersenyum begitu manis. Hitung-hitung sebagai hadiah untuk pemuda itu, karena dia sudah mau mentraktirku. Aku tidak akan menyia-nyiakan kesempatan emas ini. Dengan cepat aku berlari menuju ke jajaran para pedagang kaki lima disana.
"Gue mau beli roti bakar, canai, seomai, sub buah, es bola salju, dan itu ... itu ... dan itu!"
Tristan hanya mengiyakan semua keinginanku. Aku tidak tau pemuda itu begitu bodoh atau bagaimana, kenapa dia mau-mau nya menghabiskan uangnya untukku. Aku bahkan terkadang sampai pusing sendiri. Tapi masa bodoh lah, yang terpenting aku bahagia.
Sehabis belanja, berkantong-kantong plastik berisikan makanan sudahku tenteng.
"Kamu mau kemana lagi?" Tanya pemuda di belakangku. Yang terlihat kesusahan membawa kantung plastik berisikan makanan yang baru saja aku beli.
"Kita pulang saja, lagi pula ini sudah jam 9, nanti gue tidak di berikan ijin masuk, oleh ibu kos itu," gerutuku.
Tristan tersenyum, jujur saja pemuda itu merasa lega. Karena ia terbebas dari beban berat yang ia jinjing. Dan lagipula, uangnya sudah menipis. Ia sedikit was-was, jikalau Jovanka meminta ini - itu lagi. Gini amat yak memperjuangkan cinta.
Di tengah perjalanan.
"Ka, apa kamu belum bisa menerima cinta ku?" Tanya Tristan tiba-tiba. Sembari fokus menyetir motor matic nya.
Aku terdiam, jujur aku belum merasakan perasaan apapun pada pemuda ini.
"Belum," sahutku jujur.
Tristan hanya terkekeh miris. Ternyata ia masih saja gagal.
Tak berapa lama kami pun sampai di kontrakanku.
"Gue masuk dulu," ucapku.
"Em, jangan lupa nanti kita video call, ya!"
"Gue ngantuk pen tidur," sahutku acuh, aku tidak peduli jika pemuda itu merasa kecewa atau semacamnya.
Aku memasuki kontrakanku. Entah angin apa yang menuntunku untuk mengintip Tristan dari celah lubang di sisi pintu kontrakanku. Aku melihat dan mendengar dirinya sedang bertelphone ria dengan seorang gadis.
"Iya, tunggu aku. Aku akan segera datang," tutur Tristan. Yang berhasil tertangkap pendengaranku
Aku mendengar begitu jelas, jika Tristan sedang ingin menemui seorang gadis. Sial, kenapa aku tidak suka? Harusnya aku merasa biasa saja. Ah, aku hanya tidak rela jika pemuda itu memuja gadis lain selain diriku.
Aku merebahkan tubuhku di atas kasur spon di ruang kamarku, kutatap langit-langit plafon di atasku. Kenapa aku penasaran, dimana Tristan sekarang?. Apa aku harus menghubungi nya?.
Baiklah, aku akan membuang sedikit gengsiku. Aku akan menghubunginya. Jika pemuda itu menggodaku, aku hanya tinggal bilang salah pencet nomor, gampang bukan?.
Satu kali panggilan tak terjawab, dan kedua kalinya aku menghubungi pemuda itu. Tapi handphone nya tidak aktif.
"Loe pikir siapa diri loe ..., hah? Berani sekali loe mengabaikan gue," teriakku sambil mencekik boneka teddy bear di kedua tanganku. Hingga suara sosok wanita berhasil membuatku tersentak.
"JOVANKA, JANGAN BERTERIAK! ATAU KU USIR KAMU DARI SINI," teriak sosok wanita itu, yang tak lain adalah ibu kontrakan.
Wanita itu begitu galak, aku sampai takut hanya sekedar mendengar teriakkannya. Suara nya bagaikan lengkingan malaikat pencabut nyawa. Mengerikan sekali.
"Iya Bu ... aku akan tidur sekarang juga," teriakku, tak kalah membahana.
Akupun langsung memejamkan kedua mataku, meski sedikit sulit. Karena entah mengapa, setiap aku memejamkan kedua mataku, bayangan Tristan selalu saja muncul di dalam otakku.
***
Sedang di tempat lain.
Tristan sedang menunggu seorang gadis di depan sebuah minimarket, karena memang gadis itu bekerja di sana.
"Hai, kau menunggu lama?" Tanya gadis tersebut yang biasa di panggil Lia.
Tristan tersenyum.
"Tidak juga, aku baru datang," sahutnya.
"Kau baru darimana? Rapi sekali," cibirnya.
"Habis keluar dengan temanku," sahut Tristan santai, dia sedikit malas dengan gadis ini. Terlihat sekali jika gadis ini begitu murahan. Dari gelagatnya saja sudah tercium, tapi tak apa, sekedar untuk main-main saja tidak masalah bukan?.
Tak berapa lama Tristan pun kembali ke kontrakannya. Betapa terkejutnya dirinya, saat membuka phonsel, terdapat notis panggilan tak terjawab, dari gadis impiannya.
"Ck, kenapa aku tak menyadarinya," gerutunya kesal, dengan cepat pemuda itu mendial nomor gadis yang tertera di layar benda pipih, di telapak tangan kanannya tersebut.
Tristan menempel kan benda itu di telinga kanannya, sedikit gelisah. Berjalan mondar-mandir bak sebuah sertrikaan.
"Vanka, angkat telphone nya," gumamnya penuh harap.
Hingga panggilan untuk yang ketiga kalinya, pemuda itu akhirnya menyerah.
Tristan sangat menyesal telah kehilangan momen langka dalam hari-harinya. Baginya panggilan telphone dari Jovanka begitu berharga untuk nya, tapi apa? Ia justru menyia-nyiakan peluang itu. Haish! Semua gara-gara dirinya telah bertemu dengan Lia.
Keesokan paginya.
Jovanka tidak masuk kerja, ia sengaja mengambil cuti. Gadis itu ingin mengunjungi orang tua nya di desa.
Tristan, seperti biasa pemuda itu selalu menunggu kesayangan nya di depan pintu tempat kerjanya, sedikit kurang kerjaan memang. Padahal ini masih pagi sekali, bahkan karyawan yang lain belum juga datang. Hanya ada satu karyawan yang ada di sana, karena kebetulan pemuda itu sedang mendapat giliran lembur.
Roviq, nama pemuda tersebut.
"Kau menunggu gadis itu lagi?" Tanya Roviq dengan wajah masam nya.
"Em, biasanya dia sudah lewat. Tapi kenapa sekarang dia belum muncul?"
"Mungkin dia tidak bekerja hari ini," sahut pemuda yang bernama Roviq itu.
"Apa dia sakit?" Gumam Tristan.
"Kenapa kau tidak menghubunginya saja?"
"Aku sudah mencoba nya, gadis itu terlalu sulit untuk ku taklukkan. Baru pertama kali ini, aku bertemu gadis yang seperti dirinya. Dia berbeda, sifatnya yang terlampau cuek, membuatku semakin penasaran," Tristan tersenyum, membayangkan gadis impiannya tersebut.
Roviq hanya menggelengkan kepalanya, ia tak percaya dengan ucapan pemuda di sampingnya itu. Yang notabene nya sudah terkenal sebagai bad boy. Roviq menganggap Tristan mungkin sekedar penasaran saja, tidak lebih.
"Apa kau sangat ingin memilikinya, atau hanya sekedar ingin mencobanya saja?" Kekeh Roviq.
"Dia sangat berbeda, menurutku dia begitu istimewa,"
"Mulutmu tidak bisa di percaya Tan, tadi malam saja, kau habis bertemu dengan Lia. Astaga! Gadis mana lagi yang akan menjadi sasaranmu,"
Tristan ikut tertawa, ia tidak menyalahkan ucapan teman kerja nya itu. Karena memang itu kenyataan nya. Dia tidak pernah bisa hidup dengan satu cinta.
***
Jovanka sudah siap, hanya tinggal satu yang belum beres. Jemputan, ia bingung mensecroll deretan nama lelaki yang tersimpan di dalam layar phonesel nya.
Pemuda mana lagi yang beruntung bisa mengantarkan gadis itu pulang hari ini.
"Siapa ya ... ? Yang hari ini bisa gue manfaatkan?" Gumamku, bingung.
Ngomong-ngomong Jovanka tipe gadis yang memiliki gengsi terlampau tinggi. Dia tidak sembarangan memilih pertemanan dengan para lelaki. Harus lelaki tertentu yang dapat masuk dalam daftar list sebagai lelaki beruntung di kamusnya. Seperti, pemuda yang memiliki motor mahal, tampan bak seorang personil boy band, yang tentunya banyak duit dan bisa memanjakannya.
"Mungkin Very, yah! Kali ini gue akan minta dia buat jemput gue dan mengantar gue pulang," kikikku, geli.
Tak butuh waktu lama pemuda yang di hubungi Jovanka mengiyakan permintaan nya dengan senang hati.
Karena rumah pemuda itu yang letaknya di perkotaan, tak memerlukan waktu lama baginya untuk sampai di depan kontrakan Jovanka.
"Jov, apa kau sudah siap?" Tanyanya dengan senyuman menawan.
Jovanka segera memasang wajah polos sok sucinya, jika kalian tau. Itu lah daya tarik yang dimiliki gadis tersebut.
"Em, kau cepat sekali datang. Maafkan aku harus merepotkanmu," tuturku lesu, aku sengaja menarik simpatinya.
"Aku malah senang bisa mengantarkanmu pulang," ucap pemuda yang bernama Very tersebut.
Tentunya aku sudah bersorak girang dalam hati. Hah, tidak ada seorang pun yang bisa menolak seorang Jovanka Lovata.
"Aku sudah siap, ayo kita berangkat sekarang," ajakku.
Very pun mengangguk dan memberikan helmet keluaran terbaru untukku. Karena ia tau, jika aku pasti akan malu jika tidak memakai sesuatu yang kekinian.
"Sini biar aku pakaikan," pintanya.
Aku hanya menurut saja, dari baunya benda yang ku pakai ini, masih baru.
"Apa kau baru saja membelinya?" Tanyaku.
"Iya, aku tidak mau kau memakai bekas orang lain. Jadi aku membelikannya khusus untukmu,"
"Terima kasih," ucapku, karena memang seharusnya begitu. Jika kau masih berharap bisa menjadi teman dekatku. Aku tertawa nista dalam hati.