MDU 05

1534 Words
Di tempat kerja Tristan. "Fiq, gue ngerasa keknya gue perlu pindah kerja." ucapnya tiba-tiba. Sosok pemuda-Rofiq yang diajak bicara sontak menegakkan kepalanya. "Elo mau pindah kerja?! Kemana?!" sahutnya. "Tempat abang gue kerja." "Jangan bilang kalau lo mau buka kedok!" "Gua enggak kuat, gue ingin tau gimana keseharian Jovanka di sana. Jangan sampai tiga cowok kucrut itu ngedeketin cewek inceran gue." "Sampek segitunya lo, gila ama cewek. Kalau lo pergi dari tempat ini, gue juga ikut." putusnya kemudian. Tristan tersenyum, ia tak percaya jika pemuda yang sudah beberapa bulan ini menjadi teman kerjanya, saat ini rela berkorban demi dirinya. "Lo serius? Tar nyesel." "Kagak. Gue mah santai orangnya." *** Sedang di tempat kerja Jovanka. Terlihat tiga sosok pemuda aneh itu tengah bercengkrama di atas loteng. Tempat pribadi ketiga pemuda itu, lebih tepatnya sudah mereka klaim sebagai markas. Wajah mereka begitu terpampang serius, sepertinya ada sesuatu hal penting yang mengusik kediaman mereka bertiga. "Anjir, adek lo tadi ngubungin gue." "Kenapa?" tanya yang bersangkutan-Dino. "Dia mau pindah kerja di tempat kita Bro!" "Wah! Bisa kesaing dong tampang keren kita. Emangnya Napa sih, dia pakek ada acara pindah segala!" jengah Mico, yang merasa tersaingi tingkat ketampanan sejatinya. "Jovanka." sahut sosok pemuda yang sedari tadi nerocos-Yhosi. Kedua sosok yang ia ajak bicara sontak terjengit kaget. "What!!! Jovanka?! Gue aja belom berhasil mepet tuh cewek, dah ada lagi saingan. Bilangin, kagak nerima pekerja baru." tukas Mico. "Iya, gue juga nggak rela kalau adek lo ikut-ikutan mepet si Jovanka." Dino hanya terdiam, tak ingin ikut membicarakan sosok pemuda yang merangkap sebagai adiknya tersebut. Yah! Tristan adalah adik kandung dari Dino, hanya saja Dino dirawat oleh neneknya. Sedang Tristan dirawat oleh orang tua kandung mereka. Hal itu yang membuat hubungan Tristan dan Dino menjadi canggung. Tak selayaknya seperti hubungan keluarga pada umumnya. Dan masalah itu tak banyak diketahui oleh khalayak, hanya sahabat dan keluarga mereka saja yang tau. *** Malam ini, Jovanka merasa begitu kesepian. Ingin mengajak Bela menginap, anak itu malah sibuk dengan urusannya. Hah! Jovanka menghembuskan napas lelahnya. Menekan layar phoneselnya random. Tanpa memperhatikan apa yang jemarinya tekan. Hingga! "Hallo ...," Suara sosok lelaki terdengar dari phonsel Jovanka. Jovanka segera meraih benda pipih tersebut. Melihat nama sosok yang terdengar dari benda itu. "Tristan?" gumamnya, menatap terkejut layar phonselnya. Sedikit malas sebenarnya bicara pada sosok pemuda menyebalkan di sebrang sana. "Apa!" ketus gadis itu. "Kangen ya?!" tanya Tristan, dengan mimik suara menggoda. "Najis." "Gitu amat sih sama calon suami." "Bisa diem nggak?!" Jovanka mengepalkan tangan kanannya, dengan pose ingin memukul. Meski yang ingin ia pukul tak melihatnya. "Jov." "Apaan sih?!" "Jadian yuk! Kita coba aja beberapa hari, kalau kamu tetap nggak bisa Nerima aku, aku janji bakalan mundur." ucap Tristan serius. Jovanka merasa di lema, haruskah ia menerima tawaran Tristan? Tapi, ia tak menyukai lelaki tersebut. "Jov, aku bakal nurutin semua keinginan kamu. Asal kamu mau jadi cewek aku," tegasnya lagi. Seutas senyum tergambar di bibir Jovanka. Boleh juga tawaran nih cowok! Gumamnya. "Boleh! Janji ya, lo bakal nurutin semua keinginan gue. Dan kalau gue tetep nggak bisa cinta ama lo, kita putus!" "Serius nih, kamu mau jadi pacar aku?! Kita jadian sekarang?!" tanya Tristan menggebu. "Iya!" malas Jovanka. "Udah matiin, tar kouta lo abis, gue tau elo kagak punya duit." remehnya. "Jov! Coba deh lihat, siapa yang nelpon!" Sontak Jovanka menjauhkan phonselnya dari telinga. Dan menatap layar benda tersebut, seketika kedua matanya membola lebar. "Mampus! Lha. Dari tadi, gue yang telphone elo?!" syoknya. "Lha iya, kenapa emang?" tanya Tristan bingung. "Sekarang matiin! Gue nggak mau tau, ganti kouta gue sekarang juga!" teriak Jovanka, seraya mematikan panggilan telphonenya sebal. Tristan hanya terkekeh, memandang layar gelap di layar ponselnya. "Dasar konyol," kekehnya. Jovanka mengerjapkan kedua iris bulatnya. Memikirkan kejadian buruk yang baru saja ia alami. Seakan merasa begitu bodoh, bisa-bisanya ia menerima cinta dari pemuda gesrek itu. Bagaimana ini? Apa yang harus Jovanka lakukan. Sedang dirinya saja tak mencintai pemuda tersebut. Namun beberapa detik kemudian, seutas senyum tergambar di bibir manis gadis tersebut. "Tidak ada kata cinta dalam kamus gue, yang gue butuhin cuma duit mereka," kekehnya dalam hati, dan kemudian memilih memejamkan matanya. Masa bodoh tentang hari esok. Sedang Tristan sudah bagaikan bak orang hilang akal, pemuda itu berguling di atas kasurnya. Sembari memeluk erat ponsel di telapak tangannya, seakan tengah memeluk sosok kekasih. "Akhirnya, gue bisa dapetin lo, Jov! Yesss ... gue harus ngubungin Rofiq, gue mau nagih duit hasil taruhan." ucapnya, dengan cepat ia mendial nomor sang sahabat dan mengajaknya untuk bertemu. Beberapa menit kemudian. Kini Rofiq sudah ada di tempat kos Tristan. Di temani para sahabat yang lain tentunya. "Elo serius udah jadian ama si Jovanka?!" tanya Rofik tak percaya. "Yo'i ... lo nggak percaya ma gue? Besok gue bukti'in ama lo pada!" tantangnya. "Elo nggak ada perasaan, suka banget mainin cewek!" cerca salah satu teman yang lainnya. Tristan terdiam. Jujur saja, Tristan sesungguhnya mencintai Jovanka, tapi ia terlalu gengsi. Gelar playboy sudah tersemat di namanya, mana mungkin ia bilang kalau mau mencintai satu gadis. Mati-matian Tristan mengejar gadis tersebut hanya untuk memenangkan taruhan, bukankah itu sangat tidak manusiawi?. "Ck, gue nggak bisa hidup dengan satu cinta, Bro!" tawanya, sambil mengibaskan puluhan lembar uang berwarna merah di tangan kanannya. *** Pagi ini, Jovanka berjalan lesu menuju ke tempat kerjanya. Bayangan tentang kejadian semalam membuat moodnya hilang seketika. Hah! Menyebalkan. "Sayang ...," Gadis itu terjengit kaget, karena tiba-tiba saja sosok yang ia pikirkan sudah berdiri tegak di hadapannya. Jangan lupakan senyuman cerah melebihi cerahnya cahaya matahari di pagi ini. Bahkan mungkin matahari seakan malu, karena merasa kalah cerah dengan senyuman pemuda di bawahnya. "Geli gue, jangan panggil gue dengan sebutan menjijikkan itu!" ketusnya. "Lhah? Emangnya ada yang salah? Kita kan udah pacaran. Apa kamu mau, aku panggil Honey, Babe, Swetty?" "Cukup! Elo bisa diem nggak, gue tabok mulut lo, kalau lo berani ngomong sekali lagi!" "Mau dong ... di tabok pakek bibir manismu." Tristan justru mencondongkan tubuhnya, dengan bibir mengerucut. Siap menerima ciuman manis dari yang terkasih. PLAKK!!! "Noh! Cium telapak tangan gue!" Setelah memberi tamparan sayang di bibir Tristan, Jovanka melenggang pergi begitu saja. Tanpa menghiraukan sosok pemuda yang tengah mengeluh sakit di belakangnya. "Anjir, sakit banget," rintih Tristan, membekap mulutnya yang kini terasa perih, sedikit pecah. Karena tamparan Jovanka tidaklah main-main kerasnya. "Cie ... yang abis cium.n bibirnya ampek jontor! Ganas amat yak pacar lo, Tan!" ejek Rofiq. "Bacot lo! Bisa diem nggak?!" "Kagak!" Disambut gelak tawa dari yang lain. Jovanka melakukan aktifitas kerjanya seperti biasa. Bahkan sekarang para teman-temannya sudah tak lagi bersikap acuh padanya, justru terkesan biasa. Begitu pula dengan ketiga pemuda si trio playboy cap kaki buaya. Mereka bahkan secara blak-blakan menggoda Jovanka. Membuat Jovanka sedikit tertarik dengan ulah konyol pemuda tersebut, lebih tepatnya pada Yhosi, dan juga Mico. "Jov, jadian yuk. Kita pacaran diem-diem." pinta Yhosi, yang kini sudah berada dalam ruang istirahat bersama Jovanka. "Elo mau jadiin gue cewek yang ke berapa?" "Berapa ya?" Yhosi menggaruk tengkuknya, tak dapat dipungkiri jika semua cowok di sana sudah terkenal memiliki banyak cewek di segala tikungan. "Gue nggak mau ada hubungan apapun ama cowok-cowok di sini." "Kenapa? Apa gue nggak menarik di mata lo? Gue tau, elo juga suka kan ama gue?" "Iya gue suka ama elo, tapi gue nggak mau ada ikatan di antara kita." "Backstreet aja kalau gitu." "Nggak mau. Kalau elo mau pacaran ama gue, elo putusin semua pacar-pacar elo!" tantang Jovanka. "Gue nggak bisa, gue nggak bisa setia." lirih Yhosi, tersirat kebimbangan di dalam hatinya. Jovanka menyunggingkan senyum evilnya, sudah ia duga. Semua cowok di dunia ini nggak ada yang waras. Berakhir meninggalkan sosok Yhosi di dalam ruang istirahat sendirian. Keadaan berubah canggung antara Jovanka dengan Yoshi, yang mana justru dimanfaatkan oleh Mico, untuk mendekati sosok gadis tersebut. "Jov, elo kenapa?" "Nggak ada apa-apa. Cuma lagi males ngomong doang." "Nanti malam kita jalan ya!" ajaknya. "Boleh," sahut Jovanka dengan entengnya. Bela yang memang menyimpan rasa dengan pemuda yang bernama Mico itu, hanya terdiam. Melirik sengit ke arah gadis di sampingnya. Yang terlihat begitu menyebalkan. Kenapa semua lelaki mendekatinya? Apa istimewa dari gadis itu?. "Jov!" panggil Bela. "Em," Jovanka tersenyum dan menoleh sekilas ke arah Bela. "Elo tau nggak, elo tuh dah kayak gadis murahan di mata para cowok!" Cercanya tiba-tiba, yang mana membuat atensi semua orang tertuju padanya. Tak biasanya Bela berucap demikian pada Jovanka. Apa mungkin karena terbakar api cemburu, hingga membuatnya hilang kesabaran?. "Apa maksud elo?!" kaget Jovanka, berdiri dari tempat duduknya. Menatap penuh tanda tanya ke arah gadis di hadapannya. "Elo tuh mauan jadi cewek. Gampang banget dirayu cowok. Cewek murahan aja lebih berharga dibanding sama lo. Mereka dibayar, sedang elo gratisan." Jovanka sudah hilang kesabaran, harga dirinya seakan diinjak-injak di sini. "Denger ya Bel. Gue emang deket ama banyak cowok. Tapi gue masih tau batesan, gue masih jaga harga diri gue. Elo jangan seenaknya nyamain gue ama cewek murahan. Hati-hati sama omongan elo sendiri, Bel. Ingat! Kita nggak tau, jika Tuhan sudah berkehendak, ucapan elo bisa balik nimpa hidup lo sendiri!" murka Jovanka. "Udah ... udah, cukup. Ini bukan waktunya buat bertengkar. Kita lanjutin kerja, jangan sampai bos tau, bisa-bisa kita kena hukuman nanti." lerai para pekerja yang lain. Jovanka dengan malas mendudukkan tubuhnya kembali. Begitu juga dengan Bela. Mereka awalnya bersahabat baik, sejak dari orok. Tak menyangka jika hanya karena hal sepele, hubungan mereka jadi renggang.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD