#R – Peduli Tidak Perlu Alasan

1801 Words
            “Jadi bisa jelaskan kenapa Kakak bisa tiba – tiba ada di dalam kamar Vanila, dan bagaimana cara Kakak bisa masuk, karena setahu aku kalau sedang di dalam kamar Vanila selalu mengunci pintunya” tanya Anya, masih penasaran setelah dia melihat keberadaan Rama yang tiba – tiba berada di dalam kamar Vanila.             Setengah jam lalu, Anya berhasil di buat kaget dengan keberadaan Rama yang sedang merawat Vanila. Saat itu, tidak ada yang bisa Anya lakukan selain diam mematung dengan berbagai pikiran negative yang mulai membisiki telinganya. Namun, saat melihat keadatangan Anya, bukannya menjelaskan bagaimana cara dia bisa masuk ke dalam kamar Vanila, atau kenapa dia bisa tiba – tiba berada di dalam kamar Vanila. Rama justru langsung memerintahkan Anya untuk mengganti pakaian Vanila dengan pakaian yang lebih mudah menyerap keringat. “Udah kompres aja yang bener” ujar Rama, dengan nada dingin dan tatapan datarnya. Melihat tanggapan yang Rama berikan, Anya hanya mampu menatapnya dengan sinis. Karena rasa penasaran yang Anya rasakan masih sangat tinggi, tapi laki – laki itu tidak mau membantu meringankan rasa penasarannya sedikitpun. “Saya tunggu di luar ya, kalau saya tunggu di dalam enggak enak dan enggak baik juga, pintunya saya tutup tapi jangan di kunci saya janji gak bakal macem – macem” ujar Rama, sambil menatap Anya penuh peringatan. Sesaat dahi Anya berkerut heran saat dia mendengar kata saya tunggu di luar  yang baru saja Rama katakan. Karena, Anya pikir setelah dia datang Rama akan pulang, tapi sekarang Anya merasa jika Rama akan menginap dan akan tidur di luar. Dia masih tidak percaya dengan apa yang Rama lakukan, kenapa dia bisa bertindak sangat begitu baik kepada Vanila, apa sebenarnya tujuannya. “Kakak enggak pulang ? Kakak mau tidur di luar ?” tanya Anya, sambil menatap Rama yang sudah berdiri hendak pergi keluar. Saat itu, Rama hanya menganggukan kepalanya tanpa mengucapkan kalimat apapun, kemudian dia berlalu keluar dan menutup pintu, menyisakan Vanila dan Anya di dalam kamar. Rama mendudukan tubuhnya di sebuah kursi santai yang ada di depan kamar Vanila. Dia menyandarkan punggungnya yang sudah terasa sangat pegal pada sandaran kursi, dia membiarkan matanya terpejam menikmati sisa – sisa rasa lelah yang tubuhnya rasakan karena setelah satu harian bekerja. Kemudian, Rama membuka matanya kembali, menatap langit – langit kamar dengan pikiran menerawang memikirkan suatu hal yang sebenarnya tidak di pahami oleh dia sendiri. “Kenapa aku bisa sepeduli ini kepada dia Ya Allah, apa yang sebenarnya terjadi dengan ku” gumam Rama, sambil mengacak rambutnya frustasi, karena saat itu sebenarnya dia juga bingung kenapa bisa sapeduli ini kepada Vanila yang jelas belum dia kenal dengan baik. “Apakah karena tatapan Vanila yang sangat mirip dengan tatapan dia yang membuat aku bisa melakukan semua ini kepadanya” lagi – lagi batin Rama kembali bertanya – tanya. Saat itu, dalam kesunyian malam, dengan hembusan angin yang berhembus Rama seakan sedang mengintrogasi dirinya sendiri, dia seakan mempertanyakan semua sikap dan kepedulian yang dia tunjukan kepada Vanila, karena nyatanya Rama sendiri masih bingung kenapa dia bisa sepeduli ini kepada Vanila. “Kakak mending jujur sama aku sekarang, apa sebenarnya tujuan Kakak bersikap seperti ini kepada Vanila ?” tanya Anya, yang tiba – tiba keluar dari dalam kamar dan menatap Rama yang saat itu sedang duduk diatas kursi. Sesaat Rama menatap sosok gadis remaja yang baru akan beranjak dewasa yang sedang menatap kearahnya, kemudian Rama menghela nafasnya. Apa yang gadis itu tanyakan sedang Rama tanyakan juga pada hatinya, karena dia benar – benar tidak bisa memahami dirinya sendiri, kenapa dia bisa bersikap sebaik itu kepada Vanila, padahal kepada sherly saja yang sudah cukup Rama kenali dan mereka sering berinteraksi, Rama tidak bisa bersikap sepeduli dia pada Vanila. “Kenapa kakak diem aja, apa yang sebanarnya Kakak rencanakan dan apa sebenarnya tujuan Kakak” tanya Anya, semakin mentuntut jawaban kepada Rama. “Aku mohon Kak, jangan pernah mempermainkan perasaan Vanila, jika Kakak datang hanya ingin membuat dia terluka lebih baik Kakak pergi saja dari sekarang, gak papa gak usah peduli lagi sama dia, karena di sini ada aku yang akan selalu ada untuk dia, kalau kakak datang hanya ingin membuat dia menangis, aku mohon lebih baik jangan pernah muncul lagi di hadapan dia, karena aku gak mau melihat Vanila kembali terluka” ujar Anya, sambil sesekali menengadahkan kepalanya, berusaha menghalau air mata yang ingin jatuh dari pelupuk matanya. “Selama ini sudah cukup luka yang keluarganya berikan, sudah cukup derita yang keluarga dia lakukan, selama ini Vanila selalu banyak mengalah demi kebahagiaan keluarganya, tapi jika Kakak datang untuk mengulurkan sebuah kebersamaan yang indah di masa depan dengan dia, maka aku hanya ingin Kakak membuat dia benar – benar merasa bahagia, tolong jangan membuat dia kembali terluka” lanjut Anya, sambil menatap Rama penuh keseriusan. “Jangan penah macam – macam sama Vanila Kak” ujar Anya, tegas. Setelah itu, Anya langsung kembali masuk ke dalam kamar. Sedangkan di luar, Rama kembali di buat penasaran dengan apa yang sebenarnya terjadi kepada Vanila, Rama juga baru menyadari, jika rumah keluarga Vanila ada di Jakarta, rumah orang tuanya juga cukup besar dan bisa dikatakan mewah. Namun, kenapa Vanila bisa hidup sendirian seakan dia orang yang tidak memiliki siapa – siapa. *** Vanila sedang berada di sebuah padang rumput yang terlihat sangat luas, meskipun saat itu dia tidak tahu sedang berada dimana tapi tidak tahu kenapa di tempat itu Vanila merasa tenang dan bahagia. Semua kesakitan dan beban yang selama ini selalu berat karena dia tahan sendirian, seakan hilang berganti dengan kebahagiaan yang rasanya tidak pernah dia rasakan sebelumnya. “Nak, apa yang kamu lakukan di sini ? kenapa kamu bisa sampai di sini ? pulanglah, di sini bukan tempat kamu,” Vanila menoleh saat dia mendengar suara yang tidak asing masuk ke dalam telinganya. Matanya menatap sosok dua wanita yang teramat dia cintai. “Vanila sedang apa di sini ? pulang ya Nak, pulang” ujar sosok perempuan, yang sudah melahirkan dia ke dunia dan tidak pernah Vanila tatap langsung wajahnya selama dia hidup, karena sejak lahir Vanila hanya pernah melihat wajah ibunnya melalui sebuah poto saja. “Aku di sini saja Mah, dunia terlalu sering membuat aku lelah, aku ingin berada di sini bersama Mamah dan Nenek, aku tidak ingin pulang karena aku tidak ingin terus di salahkan sebagai orang yang harus bertanggung jawab atas kematian Mamah oleh Papah, aku tidak ingin pulang, karena kehadiran ku hanya akan membawa masalah” ujar Vanila, yang tiba – tiba terisak menangis. “Jangan pernah berpikir begitu sayang, kembalilah, pulanglah, Nak” ujar mamah Vanila, sambil menggenggam tangan Vanila. “Mamah … Mah …” Anya terbangun dari tidurnya saat Vanila mengigau memanggil – manggil mamahnya, saat itu Anya sempat terdiam selama beberapa saat, matanya menatap jam dinding yang baru menunjukan pukul 03.40. Kemudian, Anya berniat membangunkan Vanila, tapi niatnya urung saat dia merasa jika suhu tubuh Vanila semakin terasa lebih panas dari sebelumnya. “Kak Rama, suhu tubuh Vanila semakin tinggi” ujar Anya, sambil terburu – buru keluar melapor kepada Rama yang masih terjaga menunggu di luar rumah. Mendengar perkataan Vanila, dengan terburu – buru Rama langsung masuk ke dalam dan memeriksa suhu tubuh Vanila. Rama langsung meminta Anya untuk mengganti air kompresan sedangkan dia mempersiapkan beberapa obat yang sengaja dia bawa dari rumah sakit. “Kalau sampai Subuh suhunya masih setinggi ini, lebih baik kita bawa saja ke rumah sakit, ini bahaya” ujar Rama, sambil mengompres Vanila. Sedangkan Anya, gadis itu hanya berdiri mematung dengan ke khawatiran yang sangat besar terhadap keadaan Vanila, bahkan dia sampai gagal fokus seakan linglung dengan apa yang harus dia lakukan. Sementara itu, Rama sedang berusaha membangunkan Vanila, karena dia berniat memberi Vanila obat penurun panas, tapi saat itu Vanila tidak kunjung bangun, tidak tahu saat itu karena Vanila sangat nyenyak tidur atau karena Vanila benar – benar kehilangan kesadarannya. Melihat Vanila yang tidak kunjung bangun, tentu membuat Rama yang sudah cemas semakin cemas, kemudian dia melihat jam yang menempel di dinding kamar. Saat itu, Rama berniat membawa Vanila ke rumah sakit, tapi di sisi lain dia juga merasa tidak mungkin jika harus membawa Vanila yang sudah tidak sadar menggunakan motornya, selain itu Taxi juga akan sangat sulit di jam yang masih terlalu pagi bahkan Subuh saja belum. “Gimana Kak, Vanila kenapa gak bangun – bangun Kak ?” tanya Anya, saat gadis itu juga menyedari jika Vanila tidak kunjung membuka mata saat Rama berusaha membangunkannya. “Coba kamu cari taxi online, apa jam segini ada ?” Mendengar perintah Rama, dengan cepat Vanila langsung mencarinya. Namun, beberapa kali mencari Taxi itu tidak ada, hal itu tentu berhasil membuat Rama dan Anya merasa kebingungan. “Mama …” gumam Vanila di sela tidurnya. Rama dan Anya langsung saling bertatapan saat mendengar Vanila mengigau memanggil mamahnya. Pasalnya, Rama yang sempat di beri tahu Anya tahu jika ibu kandung Vanila sudah meninggal sejak Vanila dilahirkan. “Gimana dong Kak, aku takut Vanila kenapa – kenapa, mobil ku lagi di bengkel, Taxi juga susah, gimana dong Kak ?” ujar Anya, dengan rasa khawatir yang sudah tidak mampu dia sembunyikan lagi. Saat itu, tidak ada jawaban yang Rama katakan, dia hanya diam sambil berpikir mencari jalan keluar. Sampai akhirnya, Rama teringat pada seseorang, seseorang yang dia yakin mau dan bisa menolong dia untuk membawa Vanila ke rumah sakit. Kemudian, Rama langsung mencari nomor seseorang yang baru saja dia ingat bisa menolongnya. Tidak sampai menunggu lama, panggilan telepon Rama langsung di angkat oleh seseorang di sebrang telepon. “Tumben lo telepon gue jam segini … kenap …” “Lo harus tolong gue ini masalah nyawa orang …” ujar Rama, memotong ucapan seseorang yang sedang bicara di sebrang telepon. “Lo masih ingetkan kossan Vanila, jarak rumah lo sama kos dia cuma setengah jam kan, gue minta tolong, sekarang lo dateng ke kosan dia kalau bisa cepet, gue tunggu, cepetan !” ujar Rama, sambil mematikan sambungan telepon secara sepihak tanpa menunggu persetujuan dari seseorang yang saat itu dia hubungi.  Setelah itu, Rama langsung meminta tolong kepada Anya untuk memakaikan jaket pada Vanila. Kemudian, mereka kembali menunggu seseorang yang sudah Rama hubungi untuk segera datang. Tidak sampai setengah jam, sosok yang sudah dia tunggu akhirnya datang, Rama tidak tahu bagaimana cara dia bisa sampai lebih cepat ke kossan Vanila, tidak tahu dia mencari jalan pintas, atau membawa mobilnya dengan kecepatan tinggi, karena yang penting bagi Rama dia sudah sampai dengan cepat. Rama langsung masuk dan membopong tubuh Vanila membawanya masuk ke dalam mobil seseorang yang baru saja datang. Sadar jika pagi itu masih sangat dingin, akhirnya Rama membuka jaket yang saat itu dia gunakan dan selimutkan pada tubuh Vanila. Setelah itu, dia di temani Anya yang duduk di kursi penumpang belakang bersama Vanila yang masih menutup mata, dan di temani Angga seseorang yang sudah dia paksa sebagai pemilik mobil sekaligus supirnya, langsung membawa Vanila menuju rumah sakit 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD