NAVIA POV
Damn!
Aku yang ketakutan karena kejaran pengawal ayahku masuk ke dalam sebuah mobil yang kebetulan tidak di kunci oleh pemiliknya. Aku baru tersadar, ada seorang lelaki yang duduk di belakang kemudi dan menatapku dari kaca.
"Tolong, izinkan aku sembunyi. Aku tidak tahu lagi harus berlari kemana." Aku memohon, agar lelaki itu mau berbaik hati menerima kehadiranku yang mendadak masuk ke dalam mobilnya.
Tanpa berkata-kata lagi, pria yang juga pemilik mobil itu tancap gas dan membawaku pergi. Aku tidak memiliki pilihan, selain pasrah dan tidak meronta untuk keluar atau meminta pria itu menghentikan mobilnya.
"Siapa namamu?" Tanyanya datar.
"Namaku Navia.Kalau kamu?" Aku sangat gugup saat berbicara dengan orang asing. Bagaimana kalau lelaki itu berniat jahat padaku? tanyaku dalam hati pada diriku sendiri.
"Aku Jatmiko, kamu cukup panggil aku Miko saja." ujar lelaki itu dengan dingin.
"Miko? Baiklah, aku akan memanggilmu dengan nama itu. Namamu bagus." Aku mencoba berbasa-basi. Menurutku nama Miko bagus, itu membuatku mengingat boneka kesayangan sahabat lamaku.
"Tidak perlu banyak tanya. Cukup kamu ikuti apa kataku. Aku tidak akan membahayakanmu kalau kau mampu menjaga rahasiaku." kalimat yang Miko ucapkan bukan ancaman, tapi terdengar mengerikan di telingaku.
"B-baiklah. Aku mengerti. Aku akan memanggilmu Miko. Aku tidak akan memberitahu pada siapapun nama panjangmu. Aku janji." Aku mencoba meyakinkan Miko, bahwa diriku mampu menjaga rahasia pria asing itu.
"Bagus. Sebagai imbalan, aku akan mengantarmu ke tempat yang kamu inginkan. Sebutkan, kemana kamu akan pergi." Miko sedikitpun tak ramah, tapi itu masih termasuk baik bagiku. Sialnya, aku tidak tahu akan tinggal dimana.
"A-aku tidak tahu. Kamu boleh menurunkan aku di jalan depan sana. Aku pasti sudah aman." Tidak ada pilihan selain turun dari mobil itu. Seluruh rumah sahabatku sudah di ketahui oleh anak buah ayah dan kakekku.
"Aku tidak bisa meninggalkanmu di tempat asing. Kalau begitu, ikutlah ke rumahku." Masih dengan nada dingin Miko berbicara kepadaku.
"Tapi... aku.." Aku sejujurnya takut pada Miko. Aku takut pria itu adalah komplotan pembunuh berdarah dingin. Aku juga takut kalau sampai di jual olehnya pada om-om m***m.
"Tidak perlu takut. Aku tidak pernah kasar pada perempuan. Asal kamu menuruti perkataanku, kamu akan baik-baik saja." seakan Miko dapat membaca pikiranku, ia berusaha menenangkanku. Meskipun perkataannya masih tampak menyeramkan menurutku.
Aku berpikir sejenak dan bimbang. keputusan apa yang akan aku ambil. Kalau aku menolak ajakan Miko, malam ini aku akan menjadi gelandangan, tetapi, jika aku mengikuti ajakan Miko, aku takut lelaki itu akan berbuat jahat kepadaku.
"Jangan buat aku lama menunggu, mobilku melaju semakin jauh. Aku tidak akan melukai atau menyentuhmu, sedikitpun. Tidak perlu khawatir, aku tidak akan memandangmu sebagai wanita. Kamu bukan tipeku." Miko memberikan penegasan padaku bahwa dirinya tidak tertarik untuk menggoda atau berbuat jahat.
"Baiklah, aku ikut denganmu, Miko." meski sedikit ragu, Aku menghimpun sisa keberanian yang ku punya untuk menerima ajakan Miko.
Setidaknya, aku bisa melarikan diri dari perjodohan yang merupakan ide dari kakekku itu. Tujuannya memang benar, agar aku segera menikah dan mempunyai kehidupan yang layak di usiaku yang sudah dua puluh lima tahun.
Awalnya, aku ingin coba menerimanya, tetapi aku tidak terima saat tahu yang di jodohkan denganku adalah seorang lelaki berumur, seusia dengan papaku.
Perkenalkan, nama lengkapku adalah Navia Larasati dan pemuda yang ku sebut Miko itu ku ketahui bernama lengkap Sujatmiko.
Aku adalah seorang anak pengusaha kaya yang tidak bisa menentukan apapun tentang hidupku sendiri. Semuanya serba di atur. Sekolah, pekerjaan bahkan jodoh, aku tidak bisa memilih. Ya, itu cukup kejam untukku, tetapi aku tak bisa berbuat apa-apa.
"Apa yang membuatmu kabur dari rumah?" Miko melembutkan suaranya, tidak ingin aku jadi salah paham.
"A... aku di jodohkan," jawabku tak kalah pelan. Aku takut Miko akan menertawakan apa yang aku alami sekarang.
"Orang tua terkadang egois. Aku juga benci perjodohan." ucapnya dingin. Aku dapat melihat raut wajah Miko berubah di kaca. Sepertinya, Miko juga memiliki kenangan tidak mengenakkan yang berhubungan dengan perjodohan.
"Kamu juga..." Aku tidak berani melanjutkan kalimatku. Aku takut pertanyaanku akan menyinggung Miko dan membuatnya yang sudah sedikit ramah kembali bersikap acuh.
"Ya. aku pernah mengalami apa yang kamu rasakan saat ini. Setelah aku setuju, wanita itu mengkhianatiku dan menghancurkan hidupku. Karena itu, aku menutup hatiku untuk siapa saja." penjelasan Miko membuatku mengerti, dia berada dalam lingkaran trauma akibat di sakiti oleh orang yang mungkin telah menyentuh hatinya.
Aku terdiam sejenak. Tidak tahu apa yang harus aku ucapkan. Aku tidak bisa mengatakan apapun karena takut, itu salah.
Miko sangat fokus menatap jalan yang ada di hadapannya. Aku dapat merasakan kecepatan mobilnya di atas rata-rata.Kami berdua terjebak dalam kesunyian.
"Rumahmu masih jauh?" aku mencoba mencairkan kembali kebekuan di antara kami berdua. Perjalanan yang cukup panjang ini, tentu saja sangat membosankan bagiku jika hanya di lalui dengan saling diam dan tanpa bicara.
"Sebentar lagi." dua kata itu yang terlontar dari bibir Miko. Pelit kata sekali dia, tapi biarlah, yang penting aku malam ini bisa tidur nyenyak.
Lagi-lagi aku dan dia terjebak dalam aksi diam. aku sesekali melirik ponselku, aku baru ingat, aku pakai mode pesawat. Pantas saja aku merasa mama dan papaku tidak perduli dengan kepergianku karena sejak aku keluar rumah, mereka belum juga telepon.
"Kenapa kamu terlihat gelisah? Merindukan keluargamu?" tanyanya penuh selidik. Aku segera memasukkan ponselku ke dalam tas kecilku, membenarkan letak dudukku dan mencoba tersenyum. Meskipun sedikit terpaksa.
"Aku sejak kecil selalu manja pada mama. Ada hal aneh yang terjadi di dalam perasaanku, saat jauh darinya. Mungkin bagimu aku cengeng," Aku tidak keberatan jika Miko menganggapku cengeng atau anak mama, tetapi itu adalah kebenaran yang tidak bisa aku ingkari.
"Tidak. Meskipun aku seorang lelaki, aku juga sering rindu belaian mama. Beliau tidak pernah ada waktu untukku. Sibuk memikirkan dunianya sendiri," ungkap Miko perlahan.
Aku tidak menyangka, lelaki itu menyimpan beberapa kisah kelam dalam hidupnya, trauma cinta, wanita, dan juga memerlukan pelukan hangat dari mamanya. Seperti aku yang setiap hari di peluk mama, tapi tidak mulai hari ini.
"Aku turut bersedih untuk itu. Aku tidak menyangka kalau kamu juga mengalami broken home. Padahal kamu terlihat begitu tegar," Aku memujinya. Dari tatapan matanya, aku tidak bisa menemukan setitikpun kesedihan.
"Tidak perlu, Navia. Aku tidak sedih. Sejak aku paham apa yang sebenarnya terjadi, sejak itu aku coba hapus satu per satu lembaran hitam dalam hidupku. Aku tidak ingin di remehkan." ucapnya tegas. Entah kenapa, aku suka caranya berbicara.
Aku dan Miko mulai bercerita dan membahas beberapa hal. Kadar ketakutanku menurun. Miko ternyata tidak seseram yang aku bayangkan.