Ayo Menikah Denganku!

1106 Words
Navia berusaha memasukkan makanan ke dalam mulutnya. Bukan nasi, hanya satu lembar roti tawar tanpa selai atau apapun. Ia merasa di awasi oleh Hiro. Lelaki itu tidak kunjung beranjak dari tempat duduknya dan terus memandangi Navia, seakan gadis itu adalah tawanannya. "Apa kamu bisa berhenti menatapku?" Navia berkata dengan sinis. Dia tidak suka terus di pandangi oleh pria itu. "Apa aku salah, memandangi gadis yang nantinya akan selalu berada di sampingku? Bahkan, setelah kita menikah, kamu juga akan tidur di sisiku." Kalimat ini Hiro ucapkan dengan perlahan. Terdengar ringan dan tanpa beban. "Jangan mimpi, deh. Siapa juga yang mau menikah sama kamu!" sahut Navia ketus. Dia berencana akan meminta ayahnya membatalkan pertunangannya dengan Hiro. "Bagaimana bisa, kamu tunanganku, sudah pasti kamu akan menikah denganku." kata pria itu dengan penuh penekanan. Hiro seolah mengatakan bahwa Navia hanya bisa menikah dengannya. "Kamu bisa menikah dengan siapa saja, kan? Kenapa harus menikah denganku? Aku masih ingin bebas. Aku belum mau terikat dengan siapapun." protes Navia. Gadis itu sungguh-sungguh ingin lepas dari perjodohan ini. "Aku hanya mau menikah denganmu, tidak ingin menikah dengan gadis yang lain." lagi-lagi Hiro menatap Navia dengan tatapan yang sulit diartikan. Pernyataan Hiro membuat kepala Navia di penuhi banyak pertanyaan. "Apa alasanmu? Kenapa harus aku? Asal kamu tahu, aku tidak ada perasaan sedikitpun padamu. Jadi aku mohon, bantu aku bicara pada ayah, kalau perjodohan kita harus di batalkan." Navia terus berusaha melepaskan diri dari perjodohannya dengan Hiro. Pria itu tidak menjawab, ia bangkit dari duduknya kemudian berjalan mendekat ke tempat dimana Navia duduk. Hiro menarik kursi dan memposisikan dirinya di dekat Navia. Gadis itu merasa jengah berdekatan dengan Hiro, tetapi ia berusaha tetap tenang. "Menikahlah denganku, Navia. Dengan begitu, tanggung jawab atas kamu akan jatuh ke tanganku. Aku janji, tidak akan pernah mengekang kamu, kamu akan tetap bebas melakukan apapun yang kamu inginkan." Hiro berusaha meyakinkan Navia untuk menikah dengannya dan sepertinya perkataannya itu mampu mempengaruhi pemikiran Navia. "Kamu serius?" mata Navia berbinar, bahkan gadis itu tanpa sadar memegang pundak Hiro dan menggoyang tubuh itu beberapa kali. Gadis itu berusaha mencari keyakinan atas apa yang baru saja ia dengar. Sejurus kemudian, Navia melepaskan pegangannya dan kembali ke posisi semula. "Aku serius. Mulai sekarang, kamu jangan berontak lagi. Jalani perjodohan kita dengan sebaik mungkin.Oh ya, untuk keseharian, kamu bisa membawa mobil sendiri dan juga kartu kredit. Aku percaya, kamu gadis baik-baik dan bisa di andalkan." setelah mengatakan itu, Hiro merogoh kantongnya dan menyerahkan satu buah kunci mobil dan kartu kredit. "Kamu percaya padaku?" kali ini Navia menatap Hiro dengan tatapan terharu, ia hampir tidak percaya, seseorang yang tidak satu atap dengannya bisa mempercayai dia sepenuh hati. "Navia, aku percaya dengan semua perkataanmu. Aku tahu, kamu tidak akan berbohong. Aku harap kamu menjaga kepercayaanku. Kalau begitu, aku pergi dulu. Jam kerjaku sebentar lagi akan di mulai." Hiro beranjak dari duduknya dan meninggalkan Navia yang masih menatap kedua benda yang di tinggalkan lelaki itu untuknya dengan tatapan kagum. "Kenapa Hiro mengingatkanku pada Kak Bram? Dulu, saat papa memarahiku, dia pasti datang menghiburku dan bilang kalau dia percaya padaku. Tapi, tidak mungkin Hiro itu Kak Bram, nama mereka jelas-jelas beda." gumam Navia pelan sambil memperhatikan gantungan kunci mobil Hiro yang baru ia sadari berbentuk RJ, salah satu karakter BT21 favoritnya. *** Tujuh tahun yang lalu... "Hiks...hiks..." Navia terisak sambil mengamati kertas tugas yang ada di tangannya. Terpampang jelas nilainya di sana, angka lima yang di tulis menggunakan spidol berwarna merah. "Navia, apa yang membuatmu menangis?" Bram datang menghampiri Navia yang duduk menekuk kedua kakinya di bawah rumah pohon tempatnya biasa belajar. "Papa, Kak. Papa tidak percaya aku sudah belajar karena nilaiku jelek. Papa memarahiku. Dia memotong uang jajanku sebagai hukumannya. Hiks...hiks.." Navia menceritakan apa yang ia alami pada Bram, seorang pemuda yang merupakan tetangganya. Bram yang duduk di bangku kuliah sering membantu Navia belajar, meskipun saat itu Navia masih duduk di bangku sekolah dasar. Tidak jarang mereka selalu menghabiskan waktu bersama di rumah pohon untuk mengulang pelajaran masing-masing. "Jangan sedih, aku tahu kok kamu tidak berbohong. Aku percaya kamu sudah berusaha semaksimal mungkin untuk ujianmu kali ini. Nanti, uang jajanku aku bagi sama kamu, gimana?" Pernyataan Bram membuat Navia segera menghapus air matanya. Ia melonjak senang, Bram tersenyum melihat kepolosan gadis itu. "Hore! Kak Bram Baik. Makasih Kak, Kak Bram sudah percaya pada Navia." gadis itu berlarian mengitari Bram yang tertawa melihat tingkah gadis kecil itu. "Sudah, berhenti berputar. Kamu pasti lapar, ayo makan bakso bersamaku." ajak Bram setelah ia berhasil membuat Navia kembali ceria. "Ayo, Kak." Navia menarik tangan Bram sebagai tanda ia tidak sabar ingin menikmati bakso bersama orang yang telah di anggapnya sebagai kakak tersebut. *** Navia yang tengah asyik mengingat kembali masa kecilnya bersama Bram mendadak terbelalak saat tanpa sengaja ia menatap ke arah jam dinding yang berada tidak jauh dari tempatnya duduk sekarang. "Gawat, gara-gara teringat Kak Bram, aku jadi terlambat. Kenapa pas Jadwal kelas Pak Jordi, sih? Dia kan galak, seperti macan beranak." omel Navia seorang diri. Ia segera berlari menuju kamarnya untuk berganti pakaian. Hari itu ia tidak sempat mandi. "Tidak perlu mandi. Cukup cuci muka lalu gosok gigi. Pakai parfum yang banyak biar wangi." Navia bermonolog sambil mondar-mandir mencari segala sesuatu yang harus ia bawa. Belum lagi ia harus mencari barang-barangnya yang masih ada di dalam kardus, gadis itu panik sendiri. *** Di kelas, Delia, sahabat baik Navia tampak begitu gelisah. Berulang kali ia memeriksa jam yang melingkar di pergelangan tangannya dan sesekali menatap ke arah pintu menanti kedatangan Navia. "Beno, Navia mana?" Delia menanyakan Navia kepada Beno, tetangga samping rumah gadis itu. "Mana aku tahu, memangnya aku maknya." jawab Beno datar tanpa ekspresi. "Setiap nanya sesuatu sama kamu, bawaannya bikin kesel, tahu nggak? Bisa nggak sih, bicara sedikit manis?" Delia memprotes cara bicara Beno yang terkesan kaku. "Tidak bisa." sahutnya singkat. Beno segera mengalihkan pandangannya pada buku yang ada di tangannya saat melihat Pak Jordi, dosen mereka telah memasuki ruangan. "Ish!" umpat Delia kesal. "Ada apa Delia?! Kamu tidak suka saya masuk ke dalam kelas?!" Pak Jordi melayangkan teguran pada Delia yang langsung membuat gadis itu salah tingkah. "Maaf, Pak. Bukan bapak, tadi ada seekor kecoa di meja saya dan saya mencoba untuk mengusirnya. Bapak jangan salah paham." Delia mencoba beralasan, beruntung Pak Jordi tidak memperpanjang masalah tersebut dan meneruskan proses belajar mengajar di kelas mereka. Navia, kamu kemana? Berani sekali kamu membolos mata pelajaran Pak Jordi, bisa-bisa nilai kamu jelek semester ini. Batin Delia tidak tenang. Ia masih menatap ke arah pintu berulang kali, berharap Navia muncul di sana. Sementara di perjalanan, Navia sedang mempercepat laju kendaraannya. Dia yakin, sekarang pak Jordi pasti sudah berada di dalam kelasnya dengan ekspresi wajah yang menyeramkan. Dia sudah pasrah kalau harus menerima hukuman.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD