Jason dan ibunya hanya tinggal berdua. Rumah mungil di pinggir sungai yang terbuat dari kayu itu terlihat sangat alami. Di bagian dalamnya hanya berisi satu kamar tidur kecil nan mungil. Di bagian tengahnya ada ruang yang langsung terhubung dengan dapur.
Rumah kayu tersebut dilengkapi area terbuka di halaman depan yang diperuntukkan sebagai tempat Jason bermain. Sedangkan kamar mandi sendiri berada di luar tepat di samping rumah kayu itu berdiri.
Malam itu, Jason terbangun dari tidurnya. sayup-sayup ia mendengar suara ibunya sedang berdebat entah dengan siapa. Kaki mungil anak itu akhirnya memberanikan diri turun dari ranjang yang terbuat dari kayu itu.
Anak laki-laki itu melangkah dengan mengendap-endap menuju ke arah suara Ibunya. Ia mengintip dari balik tirai dengan sepasang mata mungilnya. Jason lagsung tersentak dan membekap mulutnya sendiri kala melihat sosok bayangan hitam berjubah dan bertudung itu sedang berada di hadapan Ibunya.
"Kau tak bisa menggunakan anakku! dia belum siap untuk itu!" seru Diane.
Tak ada jawaban suara dari sosok bayangan hitam itu selain berputar di sekeliling wanita itu. Namun, Diane masih saja berbicara dengan berteriak ke arah sosok hitam tersebut.
Tiba-tiba, seseorang menepuk bahu anak kecil itu.
"Apa yang kau lakukan di sini, Nak?" tanya Diane yang tanpa terduga sudah berdiri di belakang Jason.
“Ba-ba-bagaimana, bagaimana Mommy bisa ada di sini?" tanya Jason dengan nada gugup dan ketakutan.
"Apa yang kau katakan, Mommy tak mengerti," sahut Diane.
"Tapi, barusan aku lihat Mommy ada di sana, kenapa sekarang--"
Ucapan anak itu terhenti kala sosok tadi sudah tak ia temui dan menghilang.
"Mommy tak mengerti dengan apa yang kau katakan, ayo lekas kembali ke kamarmu, besok kan hari pertamamu di sekolah, ayo kita tidur!" ajak Diane.
"Oke."
Kaki anak itu mengikuti langkah sang ibu dengan pikiran masih berkecamuk. Setelah sampai di atas ranjang kayunya, ia mencoba untuk memjamkan mata sampai ia kembali terlelap.
***
Pantulan hangatnya sinar mentari menyapa anak laki-laki itu. Ia segera bangkit untuk membersihkan tubuhnya dan memakai pakaian terbaik yang sudah disiapkan ibunya.
"Tampannya anak Mommy…”
Diane tersenyum hangat pada putra tercintanya itu. Ia sangat bersyukur mendapatkan anak laki-laki seperti Jason. Meskipun anak itu dilahirkan tanpa kehadiran seorang ayah, akan tetapi anak itu tak pernah mengeluh dan merasa iri terhadap kawan sebayanya yang selalu bermain dengan ayah mereka. Sang ibu mengatakan kalau ayahnya sudah meninggal
Diane juga tak pernah menceritakan kisah sedihnya pada anak itu. Ia hanya ingin anaknya bahagia tanpa harus mengetahui tentang masa lalunya. Pekerjaannya sebagai petani cukup membantu memenuhi kebutuhan ekonominya. Ladang luas di samping rumah kayunya itu pun dijadikan kebun apel yang bisa ia jual ke pasar. Terkadang, ia juga membuat kue pie apel yang terkenal kelezatannya.
“Kita sarapan dulu, oh iya, Mommy buatkan menu makan siang untukmu, sudah ditaruh dalam tas sekolahmu ya, Nak.”
“Terima kasih, Mommy.”
“I love you, Jason.”
Wanita itu mengecup pucuk kepala putranya.
“Mommy manis sekali hari ini,” ucap anak itu seraya mengunyah roti tawarnya.
“Entahlah, hanya saja… Kau tumbuh sangat besar Mommy merasa rindu dengan Jason bayi hehehe…” ucap Diane.
Setelah selesai sarapan keduanya bergegas pergi berdua menuju halte bus sekolah. Sesampainya di sana, Diane memeluk putranya dengan erat. Ia merasakan keharuan yang teramat sangat kala itu.
“Mommy kenapa, sih, aku kan hanya akan pergi ke sekolah, bukan pergi berperang?” tanya Jason.
“Hahaha… kau menggemaskan sekali.”
Setelah melepas pelukan ibunya, anak kecil itu melambaikan tangan pada wanita yang masih mentap lekat ke arahnya saat menaiki bus sekolah yang sudah hadir itu. Jason memilih duduk di kursi paling belakang agar masih dapat melihat ke arah ibunya yang masih melambaikan tangannya. Sayangnya, senyum hangat wanita tersayang itu adalah senyum terakhir yang dapat ia lihat hari itu.
***
"Halo, Jason Smith! Selamat datang di Sekolah Kebahagiaan," sapa seorang wanita paruh baya yang memakai seragam para guru dengan model stelan jas berwarna hijau botol.
"Halo," sahut Jason.
"Perkenalkan aku kepala sekolah di sini, namaku Madam Elena, kau terlihat sangat tampan.”
Wanita itu mengusap kepala Jason dan membuat anak itu merasa risih. Madam Elena lalu pergi menyapa para murid lainnya.
"Baiklah, anak-anak. Kalian lihat daftar nama siswa yang ditempel di papan pengumuman depan kelas, jika ada nama kalian, berarti itu adalah kelas kalian, silakan kalian boleh pergi mencari kelas kalian sekarang!" ucap salah satu guru laki-laki memberi perintah.
Para murid pun langsung berhamburan mencari kelasnya yang dipandu oleh wali kelas mereka masing-masing. Sekolah Kebahagiaan, begitulah nama yang diberikan oleh Madam Elena dan rekan kerjanya yang telah meninggal dunia.
Visi dan Misi mereka adalah menciptakan para murid yang bahagia dalam menjalani pendidikan di sekolah tersebut. Sayangnya, tindakan perundungan acap kali terjadi tanpa diketahui oleh pihak sekolah.
Bangunan sekolah itu tidak tampak seperti sekolah pada umumnya, melainkan berbentuk seperti sebuah kastil tempat raja dan ratu tinggal. Oleh sebab itu, bangunan sekolah itu sering disebut sebagai “The Black Castle" karena dinding bata bangunan tersebut yang berwarna hitam.
Ketika sinar mentari menerpa, dindingnya tampak berkilau seperti ada serpihan berlian di permukaannya. Sungguh pemandangan yang unik dari sekolah tersebut. Tampilannya yang unik membuat siapapun yang ada di dalamnya merasa seperti di negeri dongeng yang penuh kilauan.
Di bagian dalam gedung sekolah itu pun dilengkapi dengan perapian dan terowongan bawah tanah yang menjadi penghubung antar ruangan. Layaknya sekolah pada umumnya, di dalam gedung ini pun terdapat ruang kepala sekolah, ruang guru, ruang kelas, kamar mandi guru, kamar mandi para murid dan juga ada dua kantin yang berbentuk lingkaran.
Dua kantin tersebut di peruntukan untuk murid yang masih di tingkat sekolah dasar dan satu lagu untuk murid di tingkat menengah pertama. Di dua kantin tersebut, terdapat meja penyajian makanan yang sehat dan bergizi, di pasang melingkar di tepi ruang kantin tersebut. Sementara meja kantin dan kursinya berada di tengahnya. Di luar gedung sekolah itu terdapat taman dan fasilitas olahraga berupa lapangan sepak bola dan juga lapangan untuk permainan kasti.
Terdengar bel istirahat di gedung sekolah tersebut. Para murid berhamburan menuju kantin sesuai tingkatan sekolahnya. Fasilitas makanan yang sehat dan bergizi sudah disiapkan setiap harinya sehingga para murid tak usah membawa bekal ke sekolah tersebut.
Jason tak sengaja menyenggol baki alumunium yang dibawa salah satu murid kelas enam yang merupakan kakak kelas yang berada di tingkat terakhir sekolah dasar itu. Makanan yang ada di atas baki itu jatuh berserakan ke lantai.
"Hei anak baru, kau tak punya mata, ya?" hardiknya.
"Maaf, Kak, maafkan saya," ucap Jason seraya membersihkan makanan yang terjatuh ke lantai.
Anak itu berjongkok di hadapan Jason dan mulai merundungnya.
"Makan nasi ini!" seru anak lelaki itu mengancam Jason.
“Tapi, Kak—“
“Jangan banyak alasan! Kuperintahkan kau makan nasi ini!” serunya lagi seraya menundukkan kepala Jason sampai mencium lantai.
*
To be continue…