Waktu berjalan sangat cepat, ia sudah melalu perkuliah hingga jam ketiga. Kali ini mereka bertiga tidak mempunyai kegiatan bersama klub nya. Namun, mereka diminta datang ke ruangan Jonathan untuk membantunya sesuatu. Dengan langkah pasti mereka berjalan menuju ruangan Jonathan yang berada di lantai 3.
KNOCK... KNOCK... KNOCK... Syahquita mengetuk pintu ruangan Jonathan.
"Kakek, apa kami boleh masuk?" tanya Syahquita menyumbulkan kepalanya sedikit.
"Ya, masuklah." kata Jonathan.
Syahquita membuka pintu secara lebar, kemudian mereka masuk satu per satu.
"Apa yang bisa kami bantu, kakek?" tanya Jessie.
"Kakek hanya ingin kalian menemani kakek di sini, karena kakek ingin pulang bersama kalian." jawab Jonathan.
Syahquita tertawa kecil saat mendengar jawaban Jonathan yang nyeleneh. Mereka saling bertukar pandangan satu sama lain. Mereka mengira kalau mereka akan melakukan sesuatu ya misalnya memeriksa jawaban atau apapun.
"Baiklah." jawab Syahquita sembari duduk di sofa yang ada di dalam ruangan Jonathan.
Keusilan mereka satu per satu keluar, Syahquita mulai mengacak-acak berkas yang ada di meja di sampingnya. Jessie mulai dengan membaca segala laporan mengenai kampus ini dan Martha memulai dengan memilah-milah buku koleksi Jonathan yang ada di ruangannya.
Tak berapa setelah itu Jonathan sudah selesai dengan tugasnya, "Baiklah, ayo. Kakek sudah selesai."
Mata ketiga wanita itu segera tertuju pada Jonathan yang sedang merapikan berkas di atas meja kerjanya. Mereka segera merapikan barang yang mereka berantaki.
Setelah semuanya beres mereka semua keluar dari ruangan Jonathan menuju parkiran kampus. Ketika Jonathan ingin pulang bersama, maka inilah kesempatan bagi Syahquita untuk menyetir mobil. Terkadang Syahquita berharap bahwa Jonathan akan tinggal satu rumah bersama dengan semua keluarganya agar ia bisa menyetir mobil setiap hari.
Jonathan memberikan kunci mobilnya kepada Syahquita dan dengan senang hati wanita itu menerimanya. Mereka semua masuk ke dalam mobil, Syahquita memasang seat belt terlebih dahulu barulah menyalakan mesin mobilnya.
Perlahan tapi pasti Syahquita menjalankan mobil Jonathan keluar dari parkiran, melewati lobby dan keluar dari area kampus. Saat ia melintasi gerbang tanpa sengaja ia melihat Devian yang sedang menunggunya di depan gerbang kampus. Syahquita seakan-akan tak melihat Devian, padahal ia amat sangat terkejut dengan kehadiran Devian. Dengan wajah datar ia melihat Devian yang sedang berdiri di depan mobilnya.
Sungguh Syahquita tak peduli dengan pria itu, wajar saja jika ia marah toh kemarahannya disebabkan oleh pria itu. Mobil Jonathan pergi begitu saja melewati Devian yang masih melihati kepergian mobil itu.
Syahquita menarik nafas dalam lalu menghembuskannya cepat, ia harus berfokus pada jalanan karena ia menyetir bukan untuk dirinya sendiri melainkan untuk kakek dan kedua sepupunya. Dan keselamatan mereka tergantung pada Syahquita, maka dari itu ia harus menyetir sebaik mungkin.
Setelah menempuh perjalanan selama empat puluh lima menit untuk sampai di rumahnya, mereka segera turun dari mobil. Syahquita memberikan kembali kunci mobilnya kepada Jonathan.
"Terima kasih, Kakek." ucap Syahquita penuh kebahagian.
"Sama-sama, Nak." jawab Jonathan.
Mereka semua masuk ke dalam rumah, "We home." teriak Jessie ketika memasuki rumah.
"Hii, Nak. Bagaimana kuliah kalian?" tanya Sharon yang kebetulan berada di ruang tamu.
"Seperti biasanya, Mom." jawab Syahquita.
Syahquita sedikit bingung karena di ruang tamunya sudah ada kedua orang tua Devian dan kedua orang tuanya. Meski ia kesal dengan Devian tapi ia tak mempunyai kekesalan terhadap kedua orang tuanya, Syahquita menyapa kedua orang tua Devian.
"Selamat siang Mommy, Daddy." sapa Syahquita kepada kedua orang tua Devian.
"Selamat siang, Nak."
Syahquita memperhatikan semua orang di ruangan tamu ini, kedatangan kedua orang tua Devian menjadi hal yang sangat aneh bagi Syahquita. Ini menjadi satu pertanyaan besar. Tiba-tiba saja Jonathan datang ke rumahnya dan di rumahnya ada kedua orang tua Devian.
Apakah ini sebuah kebetulan atau memang ada hal lain? batin Syahquita.
Syahquita menepis segala hal yang negative dari kepalanya agar tidak menjadi sebuah pikiran, "Mom, aku ke atas dulu. Permisi semuanya."
Syahquita mengunci dirinya dalam kamar agar tidak ada yang bisa mengganggunya karena ia benar-benar ingin istirahat. Sebelum itu ia mengganti pakaiannya, lalu membersihkan area tubuhnya yang terkena udara luar agar tidak menimbulkan gatal-gatal. Barulah setelah itu, ia menghempaskan tubuhnya ke atas tempat tidurnya. Menutup mata dan tertidur.
***
Aktivitasnya di kampus membuatnya lelah belum lagi dengan pikirannya yang masih terpacu pada Devian, untuk sesaat ia ingin wajah pria itu lenyap dari pikirannya agar ia bisa tenang dan berkonsetrasi penuh pada semua hal.
Syahquita tertidur hingga petang. Ketika ia tersadar waktu sudah menunjukkan pukul 18.00 waktu setempat. Dengan langkah gontai ia berjalan menuju ke kamar mandi untuk membersihkan dirinya dan menyegarkan badannya. Tidur terlalu lama membuat kepalanya sedikit pusing, ia tak berlama-lama di dalam kamar mandi.
Selesai membersihkan diri dan berpakaian, ia segera keluar dari kamarnya lalu turun ke bawah untuk bertemu semua orang. Saat menuruni tangga ia mendengar suara-suara orang yang sedang berbincang-bincang, ia berpikir bahwa itu kedua orang tua Devian bersama keluarganya namun itu hanya pemikirannya.
Ketika Syahquita mencari tahu dari sumber suara itu bukanlah kedua orang tua Devian melainkan keluarganya yang sedang berbincang-bincang dengan pria menyebalkan itu, Devian.
Rasanya Syahquita ingin kembali saja ke dalam kamarnya dan menahan laparnya hingga pagi, namun saat ia ingin melangkah mundur Sharon menahannya dan menyuruhnya untuk makan bersama.
"Syah, kau mau ke mana? Duduklah dan temani Devian." pinta Sharon.
Syahquita melirik pria itu dengan tatapan yang sangat kesal.
Aku tidak peduli, Mom, batin Syahquita saat Sharon menyuruhnya untuk ikut bergabung.
Dengan amat sangat terpaksa Syahquita duduk tepat di samping Devian, ia harus berpura-pura tidak terjadi masalah apapun antara dirinya dan Devian. Untuk sekarang ini ia harus memasang topeng agar mampu bersikap baik.
Pada pukul 19.30 mereka makan malam bersama, Syahquita menghabiskan makanannya dengan cepat agar ia bisa terbebas dari semua sandiwara ini. Namun, harapan tak sesuai kenyataan, keluarganya seakan mengulur-ulur waktu agar ia tetap berada di ruang makan.
Syahquita tak mengerti harus melakukan apa supaya ia bisa pergi dari ruang makan secepat mungkin. Charlie dan Jonathan secara bergantian menanyakan pertanyaan demi pertanyaan kepada Devian dan Syahquita, dan wanita itu mulai bosan dengan semua ini.
"Permisi, aku harus ke kamar lebih dulu karena ada tugas yang harus aku selesaikan." ucap Syahquita dengan terpaksa sebab ia sudah tak tahan lagi berdekatan dengan Devian.
Seketika semua mata langsung tertuju pada Syahquita, "Tugas apa Syah? Bukankah minggu ini belum ada tugas yang harus di selesaikan?" tanya Jessie selektif.
ZONK... Syahquita lupa atau memang tak memikirkan bahwa dirinya satu kelas dengan kedua sepupunya itu, ia memutar otaknya agar bisa melarikan diri dari ruang makan.
"Hmm tugas itu, hmm tugas dari Club pecinta alam. Ya itu dia, kemarin aku dan Drake mengikuti club pecinta alam. Dan bahkan kemarin Drake yang mengantarkan aku pulang." jelas Syahquita.
Devian terlihat geram saat mendengar jawaban dari wanitanya itu. Devian tak mengerti mengapa pria aneh itu selalu menempel pada Syahquita padahal Drake sudah mendapat teguran keras dari Devian untuk menjauh dari Syahquita.
Devian menahan tangan Syahquita agar wanita itu tidak pergi, Syahquita memberikan tatapan tajam kepada Devian namun pria itu memberi suatu isyarat kepada Syahquita melalui matanya yang menyuruh wanita itu untuk duduk kembali.
Syahquita kembali duduk tapi tangannya tak dilepaskan oleh Devian. Syahquita berusaha untuk melepaskan genggaman Devian mulai dari memukul, mencubit bahkan memaksa dengan kasar agar ia mau melepaskannya tapi tenaga pria itu sangat kuat.
Acara makan malam menyebalkan itu akhirnya selesai, Syahquita ingin sekali berlari sekencang mungkin menuju kamarnya dan kembali mengunci dirinya. Namun, saat ini ia seperti tawanan sebab tangannya masih digenggam erat oleh Devian.
Devian mengajak Syahquita keluar dari rumahnya, mereka duduk di salah satu bangku taman yang ada di halaman belakang rumah Syahquita. Devian sudah melepaskan tangannya, ini kesempatan bagi Syahquita untuk lari sekencang mungkin meninggalkan pria itu sendirian namun ia mengurungkan niatnya sebab ia tahu bahwa Devian ingin berbicara dengannya.
Devian mengajak Syahquita keluar dari rumahnya, mereka duduk di salah satu bangku taman yang ada di halaman belakang rumah Syahquita. Devian sudah melepaskan tangannya, ini kesempatan bagi Syahquita untuk lari sekencang mungkin meninggalkan pria itu sendirian namun ia mengurungkan niatnya sebab ia tahu bahwa Devian ingin berbicara dengannya. Jujur saja meski kesal tapi Syahquita sangat merindukan pria ini.
Syahquita tak ingin bicara lebih dahulu so dia akan menunggu Devian untuk bicara lebih dahulu tapi sepertinya pria itu berpikiran yang sama seperti Syahquita. Devian tak kunjung berbicara dan hal itu membuat Syahquita merasa geram karena membuang-buang waktunya saja. Syahquita bangkit dari duduknya berniat meninggalkan Devian.
"Aku tahu kau benar-benar marah padaku. Tapi tolong jelaskan padaku apa kesalahanku?" kata Devian saat Syahquita hendak pergi.
Syahquita menoleh ke arah pria itu, "Tanpa harus aku jelaskan kau sudah tahu apa kesalahanmu!"
"Mengapa kau pulang bersama pria aneh itu?" tanya Devian yang terdengar sangat aneh karena untuk sesaat tadi ia menanyakan apa salahnya dan dalam sekejap ia menanyakan hal lain.
Syahquita tertawa nyeleneh, "Apa ada masalah akan hal itu? Bukankah kemarin kau ingin menjemputku tapi hampir dua jam aku menunggumu, kau tak juga datang! Aku bersyukur mempunyai teman seperti Drake yang setia di sampingku."
"Entah bagaimana nasibku jika Drake tidak ada kemarin, mungkin aku akan menunggu seperti orang bodoh hingga tengah malam." lanjut Syahquita.
Syahquita ingin meluapkan segala emosinya tapi ia tak bisa. Syahquita memilih untuk pergi namun dengan cepat Devian menarik tangan Syahquita karena ia masih ingin mendengar penjelasan dari Syahquita dan begitupun dengannya yang ingin menjelaskan sesuatu.
"Aku minta maaf atas kejadian kemarin. Aku benar-benar minta maaf. Aku tidak tahu kalau kau ada pertemuan bersama klub, aku sudah menunggumu dari jam kuliah selesai tapi kau tak juga keluar maka dari itu aku kembali lagi ke kantor karena ada meeting bersama ayahku." jelas Devian.
Syahquita menghela nafas jenuh, ia melepaskan tangannya secara kasar "Yaph, sudah aku duga. Lain kali jika kau memang tak bisa menjemputku maka lebih baik tidak usah dan jangan dipaksakan untuk menjemputku karena itu membuang-buang waktumu yang sangat padat dan berharga."
Devian menarik nafas dalam lalu menghembuskannya perlahan, "Aku tidak pernah berpikiran seperti itu, kau tunanganku. Sudah menjadi tugasku melakukan hal itu. Kemarin memang diluar dugaanku, aku pikir tugas kantorku sudah selesai makanya aku memberitahumu akan menjemputmu di kampus."
"Saat aku di kampusmu, aku diberitahu bahwa ada meeting dadakan mau tak mau aku harus datang. Aku ingin memberitahu padamu tapi ponselmu tidak aktif." lanjut Devian.
Syahquita terdiam, memikirkan kalimat terakhir yang Devian katakan. Ia hampir lupa karena sempat menon-aktifkan ponselnya saat selesai membalas pesan dari Devian. Syahquita tetap tenang karena ia tak merasa bersalah sama sekali, yang ada di pikirannya ialah mengapa pria itu tidak mengirimkan pesan jika ponselnya tidak aktif saat di telepon.
"Oke, aku rasa semua alasanmu cukup karena aku tidak ingin mendengarkan apapun dan aku tidak ingin berdebat denganmu." kata Syahquita sinis.
"Please. Jangan bersikap seperti ini. Aku tahu aku salah, aku tahu aku terlalu sibuk dengan pekerjaanku dan aku tahu aku jarang sekali menghubungimu. Aku sangat ingin bicara denganmu, apa kau akan meninggalkan aku?" tanya Devian penuh harapan.
"Apa lagi yang ingin kau bicarakan? Apa ada hal yang menarik untuk didengar?" Syahquita balik bertanya pada Devian.
"Ada, hari pernikahan kita. Enam bulan dari sekarang." jawab Devian.
Syahquita menatap Devian penuh kebingungan, entah apa yang pria itu katakan langsung membuatnya kaget luar biasa.
"Jangan mengada!! Apa kau benar-benar ingin aku marah padamu?" geram Syahquita.
Devian menggeleng cepat, "Tidak, tidak sama sekali. Aku mengatakan hal yang benar dan tidak ada bohong sama sekali."
Syahquita terdiam lalu duduk kembali di bangku taman, pikirannya mendadak nge-blank begitu saja ketika Devian mengatakan pernikahan mereka enam bulan lagi.
"Oh My God! Mengapa? Bagaimana bisa hal itu terjadi?" kata Syahquita sedikit panik.
Seketika Syahquita teringat akan kedatangan orang tua Devian dan kakeknya yang ia kira hanya kebetulan saja namun firasat awalnya terbukti. Pasti ada sesuatu di antara pertemuan orang tua mereka tadi dengan Jonathan.
"Mengapa? Apa kau tak ingin menikah denganku?" tanya Devian.
Syahquita menatap nanar wajah Devian yang terlihat sangat polos, ia memukul d**a Devian pelan, "Mengapa kau melakukan ini? Apa kau tak ingat bahwa aku tidak mau menikah sebelum kuliahku selesai."
Devian mengangguk mantap, "Ya, tentu saja aku mengingatnya. Orang tuaku berpikir bahwa menunggumu hingga lulus terlalu lama dan mereka sangat ingin kau segera menjadi bagian dari keluargaku."
Syahquita menutupi wajahnya dengan kedua tangannya, ia tak pernah menduga hal ini sebelumnya karena Devian sudah menyetujuinya bahwa mereka akan menikah setelah Syahquita lulus dari kuliah.
"Hey, ada apa, sayang?" tanya Devian penasaran karena reaksi Syahquita yang luar biasa membingungkan.
"Aku tidak mau menikah sebelum aku lulus, kau pasti akan melarangku untuk kuliah." jawab Syahquita frustrasi.
Devian tersenyum kecil, ia menarik kedua tangan Syahquita dari wajahnya, "Aku tidak akan melarangmu untuk melanjutkan pendidikanmu. Aku juga tidak akan melarang kau untuk bekerja, tapi jika memang pada saatnya aku pasti akan melarangnya."
"Itu sama saja, Dev. Ada banyak impian yang harus aku kejar." geram Syahquita.
"Maka akan kita kejar bersama." jawab Devian.
Syahquita terdiam memandangi Devian, pembicaraan tentang pernikahan mampu membuat Syahquita lupa dengan amarah yang sempat membendung dirinya.