Setelah menyanggupi dan menyetujui permintaan dari sang kakak, Sena terdiam sejenak di pinggir jalan. Ia memang tidak menyukai pernikahan ini, tetapi juga tak siap jika harus menyerahkan status yang baru saja ia sandang beberapa hari kepada orang lain. Menurutnya, selama ini ia telah gagal menjadi seorang anak dan saudara. Makanya tak ingin kembali hancur sebagai istri.
Namun di sisi lain, sejak dulu, Sena juga tak pernah bisa menolak semua urusan yang berhubungan dengan Chika. Terkadang, ia merasa aneh apalagi setelah membandingkan kondisi dan situasinya dengan orang lain. Sebab biasanya, adik selalu semena-mena terhadap kakak dan mendapatkan perlindungan dari kedua orangtuanya. Tetapi Sena, situasi hidupnya selalu berbeda. Seakan-akan, dialah seorang kakak tertua di dalam keluarga mereka. Bahkan, tak sekalipun telinganya pernah mendengar kata 'sayang' keluar dari mulut papa dan juga mamanya.
'Sekarang, bagaimana caranya?' Tanya Senandung Arimbi tanpa suara, sembari mengarahkan langkah kembali ke kampus. 'Aku jadi bingung sendiri.'
Sena terlihat gusar pada permasalahan baru yang diciptakan oleh Chika. Di sisi lain, dia akan berurusan dengan si raja hutan. Tetapi dilain tempat, dirinya sudah ditunggu oleh si ratu lebah. Hidup yang sulit, dan masalah seakan benar-benar tak ingin meninggalkan wanita pemilik bibir penuh tersebut.
"Awas!" pekik Lio, seraya menarik tangan kanan Sena yang hampir bersinggungan dengan kendaraan roda empat yang melintas dari sisi kanan.
Sena terperangah, mundur beberapa langkah bersama pelukan Lio. "Ha?"
"Kamu nggak apa-apa, kan?" tanya Lio, sambil menatap wajah Sena yang tiba-tiba menjadi pucat. "Sena?" Lio memegang kedua pundak wanita kesayangannya, sambil terus memperhatikan. Tanpa peduli akan kendaraan yang melengos tak berhenti, sekedar mempertanyakan keadaan wanita yang hampir ditabrak olehnya.
Sena menggeleng tanpa menjawab, Bahkan ia seperti kehilangan nyawanya sesaat tadi.
Lio melihat dengan sepasang mata cemas dalam-dalam, hatinya bergetar akibat rasa takut akan kehilangan Senandung Arimbi. Kini, ia kian yakin akan perasaannya sendiri. Bahwa jiwa itu telah jatuh cinta kepada wanita sederhana yang dirasa sempurna.
"Sekarang aku mengerti," ucap Lio sambil menatap hangat. "Kamu ... apa butuh teman bicara yang sesungguhnya? Jika iya, aku akan menjadi pendengar yang hebat untukmu," tawar Lio dan sikapnya itu terlihat sangat dewasa.
"Tidak!" tolak Sena yang memang ingin menjaga jarak. "Ini hidupku, dan aku akan menjalaninya dengan baik." Sena membuang muka, lalu menundukkan kepala seraya menenggelamkan air matanya yang hampir menetes.
Lio mengintip wajah Sena yang tertunduk. "Yakin?" tanyanya kembali menatap penuh kasih sayang. "Bahkan sesaat tadi, kamu hampir mati."
"Aku hanya lelah, cuma butuh istirahat, dan ... ." Sena menghentikan ucapannya.
"Ya?" tanya Lio yang sudah percaya bahwa Sena merupakan korban yang sesungguhnya. "Sena?" panggilnya dengan suara lembut, seperti merayu.
"Sandaran," bisik wanita cantik itu, dengan pundak yang bergetar begitu juga suaranya.
"Hah ... ," keluh Lio yang mampu merasakan penderitaan Senandung Arimbi. Pada saat yang bersamaan, kedua tangannya langsung memeluk tubuh mungil Sena dan menyanbarkannya.
Bukan tanpa sebab, sejak awal ia sering membantu wanita ini secara diam-diam dengan memberikan tips lebih, ketika meminta bantuannya saat mengangkut barang dari pasar. Sambil menyamar, Lio juga kerap kali mengikuti langkah Sena saat bekerja. Kapan pun wanita ini membutuhkan bantuannya, disitu akan ada Lio.
"Pulang dari kampus, kita ngobrol di taman yuk?" Lio berbisik di telinga Sena. "Kalau hanya es krim, uangku masih cukup," sambungnya ingin menggoda.
Sena mengangguk berulang, ia suka dengan cara Lio kali ini.
'Rupanya Sena tak suka dipaksa, dia harus diajak dengan cara yang lembut. Jadi ... selama ini, aku salah cara?' Tanya Lio tanpa suara karena dirinya kerap kali memaksakan keinginan karena merasa memiliki segalanya.
"Siap ke kelas?" tanya Lio seraya mengusap punggung wanita kegemarannya. "Jangan menangis lagi!"
"Ya."
"Emh, iya," sahut Sena, seraya menyeka air mata dan melangkah bersama pemuda yang semula ingin dijauhinya. "Lio, makasih ya!"
"Untuk apa?"
"Semuanya ... ."
Lio melengkung bibir, merasa telah mampu menyentuh hati Senandung Arimbi yang selama ini telah ia perjuangkan. "Ayo kita jalan, let's go!" ujar Lio, memberi semangat kepada wanita yang tak pernah ia benci.
Sena dan Lio melangkah bersama dengan jarak yang cukup dekat. Mereka kembali memulai tawa, menjadikan apa saja sebagai materi lelucon dan percakapan diantara keduanya. Bahkan Lio mengatakan bahwa Sena adalah putri air mata yang cantik jelita. Semua itu membuat Sena merasa kembali percaya bahwa masih ada orang lain yang menganggap dia ada.
Waktu berlalu begitu cepatnya, Sena yang merasa bahwa Raden tidak membutuhkan dirinya, memilih untuk menyegarkan otak dengan cara yang sederhana. Ia pun mengikuti kata-kata Lio untuk bersantai di taman, bersama satu cup es krim rasa vanila dan coklat chip yang begitu nendang rasanya.
Begitu banyak cerita yang mengalir dan tercipta diantara Sena dan Lio. Mereka jadi begitu akrab dalam waktu yang singkat. Padahal selama ini, hanya Lio sajalah yang terlihat terus mengejar dan mencari keberadaan hati wanita itu, tetapi kali ini Sena juga terlihat antusias dan menerima setiap gombalan dari bibir pemudanya.
"Aku suka melihatmu tertawa lepas seperti itu, Sena. Maaf ya! Selama ini ... rupanya aku salah. Aku yang merasa dekat denganmu, malah ternyata tidak tahu apa pun soal hidupmu. Sekarang, mari kita berteman dan anggap saja aku tidak pernah datang di hari pernikahanmu!"
Spontan, wajah Sena langsung mencari kedamaian di wajah Lio. Ia merasa, ucapan itu begitu tulus. Sebab, bulu-bulu halus disekitar rahangnya berdiri dan memberi sensasi penerimaan yang baik. "Setuju, mari kita berteman!" sahut Sena dalam bingkai senyum nan manis. Lalu keduanya melanjutkan tawa yang mampu menyeka air mata.
Kapas langit yang menggantung di latar berwarna jingga, menyadarkan Senandung Arimbi tentang kenyataan bahwa dirinya memiliki tanggung jawab lain di kediamannya. Dengan terpaksa, ia harus berpamitan kepada Lio dengan mengatakan jika waktu seperti harus memisahkan mereka. Namun di sisi lain, Sena juga memperlihatkan wajahnya yang ceria hingga mampu membuat Lio merasa nyaman dan bahagia.
"Janji, kamu akan terus tersenyum dan melupakan hal-hal yang menyakiti dirimu?"
"Ya."
"Em, semangat." Lio kembali menularkan kekuatannya kepada wanita kesayangannya.
"Semangat," jawab Sena dan kali ini ia benar-benar terlihat bersemangat.
Bersama senyum, Sena meninggalkan Lio seorang diri di bangku taman. Sebenarnya pemuda itu ingin mengantarkan Sena ke rumah barunya, tetapi tidak mungkin. Sebab semua ini hanya akan menjadi bumerang bagi Senandung Arimbi.
'Dia baru saja tertawa, jangan sampai membuatnya menangis kembali!' Perintah hati kepada otak Lionel Andreas.
Setelah menempuh perjalanan kurang lebih 35 menit, Sena tiba di depan pagar estetik yang menghiasi rumahnya. Ia tampak terdiam sejenak di dalam mobil, kemudian menghela napas panjang bersama senyum yang sejak tadi ia bawa.
'Semangat!' Wajah Lio yang memberikannya kekuatan, terbayang jelas detik ini.
"Ini, Pak. Kembaliannya ambil saja," kata Senandung Arimbi kepada sopir taksi yang berada di depannya.
"Makasih ya, Mbak."
"Sama-sama." Sena membuka pintu mobil dan keluar dengan wajah cerah.
Sena melangkah seperti kapas yang ringan, tanpa beban. Ia benar-benar merasa lega setelah perbincangan seru bersama Lio, sebelumnya. Sepertinya beban itu berkurang banyak dan ia merasa dunianya kembali berwarna merah muda. Ini bukan cinta, tetapi Sena sudah merasa bahagia.
Sepanjang langkah, ia merasa rumah ini begitu sunyi. Seperti tidak ada tanda-tanda kehidupan di dalamnya. Bahkan lampu yang biasanya menyala tepat waktu, kini terbiarkan begitu saja. Khawatir akan sesuatu yang buruk, Sena bergegas menaiki anak tangga menuju ke kamar di mana Raden beristirahat.
Tanpa mengetuk, Senandung Arimbi menerobos masuk ke dalam kamar tidur Raden. Ketika matanya melihat lurus ke depan, tiba-tiba napasnya seperti tertahan di tenggorokan.
Bukan tanpa sebab, pemandangan mengejutkan di hadapannya benar-benar membuat sesak nafas. Mata Sena pun terpaku kepada otot-otot tubuh suaminya yang terlihat keras dan peluk-able. Tiba-tiba ia merasa setengah gila, tatkala melihat suaminya tanpa busana.
Bibir Sena menganga, menggambarkan jumlah ketakjubannya. Matanya juga tak berkedip, seolah bukan milik Sena. Ditambah lagi dengan detak jantung yang tak merata, seakan bukan dia yang mengaturnya.
Raden melipat dahi, sambil menatap tajam bak elang yang tengah melihat mangsa buruannya. "Apa?" tanyanya membentak dan terdengar penuh percaya diri atau mungkin dia lupa akan keadaannya yang polos, tanpa sehelai benang pun yang menutupi tubuhnya.
"A ... a ... ." Sena tak mampu membuka mulutnya lebih dari itu.
"Cacat!" gerutu Raden semakin kesal karena melihat wanita yang ia nikahi tidak bertindak dengan memberikan jawaban cepat atas pertanyaannya. Entah bagaimana, hingga detik ini ia masih merasa bahwa Sena itu gadis yang lugu dan bodoh. "Agh!" gumamnya seperti tak ingin ambil pusing, lalu berbalik arah untuk melupakan kebodohan Senandung Arimbi.
Namun tiba-tiba, tubuh Raden membeku. Di hadapannya, sebuah cermin ukuran raksasa, memantulkan bayangan tubuhnya yang terpampang nyata. Sementara Sena masih tak mampu menggerakkan tubuh moleknya untuk menjauh. Hingga pria ini dapat melihat dirinya yang memalukan, bersama Senandung Arimbi tepat di belakangnya.
"Aaa! Apa yang kamu lihat? Apa yang kamu lakukan kepadaku?" pekik Raden sambil menutupi bagian sensitif miliknya dengan kedua tangan. Sadar akan bokongnya yang masih terekspos, Raden kembali berbalik arah agar Sena tidak melihat setiap bagian dari dirinya.
Pada detik yang sama, Sena juga ikut menjerit seperti habis melihat hantu air yang menghanyutkan. Sampai-sampai, seluruh tubuhnya kaku dan tak dapat bergerak. Namun di akhir dari teriakan keduanya, Sena dapat mengaktifkan kedua kelopak mata yang sempat membatu.
"Aaah ... ," teriak Sena tanpa jeda, namun kali ini matanya tertutup rapi.
"Kau!" Raden terdengar marah kali ini. "Apa yang kamu lakukan di sini?" tanyanya yang kian membentak karena sangat malu hati. "Hah, gadis ini, dia ... agh!" ucapnya geram, sambil berputar-putar di tempat.
"Tu-tutup pakai bantal, Mas! A-atau selimut!" Sena memberikan petunjuk dengan suara yang terbata-bata.
"Hah ... dasar gadis nakal, bisa-bisanya kamu melihatku seperti ini. Keluar sekarang juga!"
"Nggak ... nggak bisa, Mas. Kakinya nggak bisa gerak," jawab Sena terdengar lugu.
"Apa?" gumam Raden yang tiba-tiba merasakan sensasi geli di hatinya.
'Ah ... gadis ini, ternyata dia sangat lucu.' Kata Raden sambil mengulum senyumnya.
Tanpa banyak kata, Raden bergerak ke arah Sena sambil menutupi bagian sensitif miliknya dengan bantal. Lalu ia menjepit banyak itu, lalu memegang kedua lengan Sena dan memutar tubuh wanita itu. Kemudian Raden mendorong Sena agar keluar dari dalam kamarnya.
"Sudah, pergi sana! Aku akan membahas ini dengan papa dan juga mama. Mereka akan membantuku kali ini untuk mengeluarkan kamu dari hidupku!" ucap Raden masih terpancing untuk memarahi Sena. Namun lagi-lagi, ia tersenyum simpul disaat melihat telinga istrinya yang memang memerah karena menahan rasa malu nan berat.
'Hah, aku yang bugil tapi dia yang malu. Wanita aneh.' Raden kembali berkata-kata pada dirinya sendiri.
"Permisi, Mas!" ucap Sena santun seperti biasanya, lalu ia berjalan sangat cepat dengan punggung yang terlihat menegang.
"Ya ampun ... sekarang dia cosplay menjadi pinguin yang sedang mabuk," gumam Raden dengan suara tipis, sambil menggelengkan kepalanya.