Tiga hari berlalu, Sena sudah menunjukkan peningkatan stamina. Bahkan, siang ini ia sempat sadarkan diri dan meneteskan air mata dalam jumlah yang cukup banyak. Untungnya ada nyonya Mila di sana dan selalu menemaninya, semua itu membuat Sena menjadi kuat dan memahami situasi pernikahan ini.
Mau tidak mau, suka tidak suka, akhirnya kedua orang tua Raden menceritakan kepada Sena tentang kekhawatiran mereka terhadap sang putra. Oleh karena itu, tuan dan nyonya besar tersebut mencarikan pasangan hidup bagi putranya.
Saat ini, Sena juga mulai menerima tentang pemikiran kedua orang tua yang baik hati dan berada di hadapannya. Meskipun tak pernah diperlakukan dengan penuh kasih sayang selama ini, tetapi ia percaya bahwa seharusnya seorang ayah dan ibu memang harus memperhatikan dan memikirkan anak mereka, serta membantu untuk mencapai kebahagiaannya.
Kali ini, Sena memilih untuk mempertimbangkan hati tuan Wibowo dan nyonya Mila. Apalagi di dalam tatapan keduanya, tampak jelas kasih sayang dan perhatian untuk dirinya. Setidaknya, ini merupakan salah satu yang ia harapkan sepanjang usia. Meskipun tak pernah mendapatkan semua itu dari papa dan juga mamanya, mungkin ia akan menerima dari sepasang orang tua milik Raden Wibowo.
Nyonya Mila menggapai tangan Sena dan mengelusnya lembut. "Kamu itu satu-satunya harapan Mama, Sena," ucapnya sambil memaksakan senyum. "Sebenarnya ... Raden itu anak yang baik dan penurut. Tapi kalau soal wanita, sikapnya memang agak berbeda. Mama sudah mencoba untuk mengajaknya berbicara, tetapi tidak bisa menemukan alasannya. Dia benar-benar menutup rapat hatinya, dan Mama tidak bisa membongkarnya."
"Kamu adalah orang yang Papa percaya, Sena. Hanya kamu saja. Jangan tanya kenapa! Sebab hati Papa lah yang mengatakannya, bukan bibir ini, Nak." Tuan Wibowo menambahkan kekuatan kepada Sena agar bisa bertahan dan membantu Raden untuk menjadi pria dewasa yang sempurna. "Papa nggak minta yang muluk-muluk sama kamu, Sena. Bertahan, hanya itu saja," harap lelaki baya yang terus menatap hangat.
Sena menelan air liurnya yang terasa pahit. "Papa dan Mama sangat baik dan sudah membantu Sena," katanya mengingat kembali tentang kebaikan tuan dan nyonya besar ini. "Sena nggak tahu kalau semua ini, rencana Papa dan juga Mama. Bahkan Sena pikir ... setelah menikah, akan sangat menderita karena sikap mas Raden. Apalagi Sena tidak memiliki siapa pun untuk berkeluh kesah. Namun Sena salah, makasih ya, Pa, Ma. Sena akan berusaha untuk bertahan," janji Sena yang dapat merasakan hangatnya hati tuan dan nyonya Wibowo.
"Syukurlah ... ," ungkap nyonya Mila sambil mengusap wajah dan menangis bahagia. "Terima kasih, Sena. Kamu memang anak yang baik."
Tuan Wibowo tersenyum hangat. "Pokonya apa pun yang terjadi, cerita sama Mama dan Papa ya! Kita akan selalu ada buat kamu, Sena. Bersama-sama, kita akan membantu Raden untuk kembali tersenyum dan hidup layak dalam kebahagiaan."
"Sena nggak janji untuk itu, Pa. Tapi ... Sena akan berusaha!"
"Emh ... iya. Terima kasih, Sena."
"Sama-sama, Pa."
"Kalau kamu ingin rehat, pejamkan saja matamu! Jangan merasa tidak enak dengan Mama dan juga Papa."
"Iya, Ma. Maaf ya! Sena masih pusing banget."
"Iya, Sayang. Nggak apa-apa, tidurlah!"
Hingga detik ini, Sena tidak mengingat apa pun tentang jati diri yang sesungguhnya. Ia hanya kembali pada masa dirinya menjadi Senandung Arimbi. Tetapi, di dalam tidurnya ia pernah bermimpi, berjalan bersama wanita asing yang begitu hangat ketika menatap dirinya. Dia adalah ibu kandungnya Sena yang telah tiada dan begitu mencintai anaknya.
Entah bagaimana dunia ini akan menyuguhkan kebahagiaan bagi wanita baik seperti dirinya. Yang jelas, Sena masih bersedia berpacu dengan waktu dan keadaan. Malah, ia merasa bodoh dan rendah, akibat keputusan gila yang sempat ia ambil beberapa hari yang lalu.
Menurut Sena, seharusnya ia tampil prima dalam menghadapi Raden. Namun semua itu telah terjadi dan ia berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak lagi berpikir dan bertindak bodoh, serta pengecut. Lagi pula, rasa pahitnya kehidupan bukanlah baru kali pertama ini ia rasakan. Terlebih lagi, kini dirinya telah memiliki dua malaikat yang siap membantu dan menjaga jiwa raganya.
Sore harinya, Raden datang untuk melihat perkembangan kesehatan Sena. Tak lama, dokter spesialis saraf pun masuk untuk memeriksa dan mengganti perban. Karena area sensitif, dan mengkhawatirkan, tuan Wibowo langsung meminta agar Sena dirawat oleh ahli, maka dokter tidak memberikan tanggung jawab ini kepada para.
"Bagus ya," puji nyonya Mila saat melihat jahitan yang rapi dan tampak kering. "Semoga tidak infeksi, jadi Sena bisa cepat pulih," doanya dalam harap.
"Asalkan jangan terkena air, saya rasa pasien bisa pulang dalam waktu satu dua hari ini." Dokter tiba-tiba tersenyum sendiri. "Saat mengoperasi, kami cukup kesulitan dengan rambut Sena. Lebat sekali, dan rasanya sayang kalau harus dipangkas habis. Dia cocok untuk model iklan shampo di televisi."
Rupanya, ketika pujian dilontarkan, Raden Wibowo telah tiba di pintu ruang perawatan. Ia pun mendengarkan setiap kata-kata ataupun kalimat percakapan yang terdengar terus saja memberikan pujian kepada istri yang tidak ia inginkan.
Pujian dari dokter tersebut pun, membuat Raden penasaran dan ingin mengintip. Dari sela-sela tubuh orang-orang yang mengelilingi Sena, ia memperhatikan helaian rambut panjang, berwarna hitam pekat, dan tampak sehat. 'Hm ... .' Gumamnya tanpa suara.
"Anda bisa saja, Dok," timpal tuan Wibowo sambil melengkungkan bibirnya. "Tapi Anda tidak salah."
"Terkadang, ada saja hal unik terjadi di meja operasi. Ya ... itu cukup menghibur dan mampu menghilangkan stres berlebih." Dokter meletakkan gunting steril pada wadah dan kembali menutup jahitan dengan perban. "Kulit kepala ini terlihat sangat buruk (Cacat). Wajar saja, ini seperti lengkungan yang telah terjadi, dan terkorek kembali. Untungnya dia punya rambut itu dan untuk sementara, tolong jangan berikan obat penumbuh rambut, sampai kulit kepalanya benar-benar kokoh!"
Nyonya Mila mengangguk-angguk kepalanya. "Kami akan menunggu persetujuan dari Anda, sebelum memberikan tindakan apa saja kepada Sena." Lalu terdiam sejenak. "Dokter, apakah ada kemungkinan kalau Sena akan kehilangan sedikit memori?"
"Iya, itu bisa saja terjadi. Mengingat beban luka yang parah seperti ini. Bukan hanya lupa atau kehilangan saja, tetapi ada kemungkinan memori lama yang mungkin hilang juga dapat kembali."
"Apa maksud Anda, Sena pernah kehilangan ingatannya?" tanya nyonya Mila, terdengar memburu.
"Saya tidak tahu pasti, sebab berkasnya belum ditemukan. Kita tunggu saja, sampai perawat pilihan saya datang dan memberikan laporannya."
"Seandainya Sena tidak pernah melakukan perawatan di rumah sakit ini, apakah masih bisa mencari tahu riwayat kesehatannya?"
"Tidak bisa, kecuali kita memiliki kolega."
"Apa semua itu penting?" tanya Raden memecah pembicaraan serius tersebut. "Menurut Raden tidak, untuk apa? Kecuali jika dia mendapatkan kekerasan dan itu terbukti secara sah, atau ada laporan khusus darinya tentang kecurigaan ataupun sesuatu yang janggal di dalam kehidupannya." Raden mengemukakan pendapatnya yang tak mendukung rencana sang papa untuk mencari tahu mengenai Sena dan kehidupannya yang dirasa cukup misterius.
Tuan Wibowo berbalik arah, memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana yang berarti bahwa beliau berada pada mode serius. "Biarkan Papa yang bekerja, Raden! Kalau kamu ikut campur, kamu harus bertanggung jawab penuh atas Sena," ucapnya tegas. "Dengar! Papa hanya ingin memberikan yang terbaik untuknya dengan tujuan agar tidak salah dalam penanganan dan perawatan lukanya. Ini bagian kepala loh, very sensitive."
"Papamu benar, Raden. Kami tidak mau kecolongan sekali lagi. Apa yang terjadi pada Sena saat ini, tidak boleh semakin menyakitinya. Paham?" timpal nyonya Mila agar tidak terjadi perdebatan secara terus-menerus.
Dokter kembali angkat bicara. "Begini, jika dilihat dari bekas lukanya yang sangat cekung, saya berani menyimpulkan bahwa pasien tidak mendapatkan perawatan yang layak saat luka pertama itu terjadi. Jika diperhatikan dengan seksama, bekas jahitan saat ini malah mampu mengangkat kulit kepalanya. Tapi ... kami khawatir tindihan luka bagian dalam tidak sesehat yang bagian luar, dan bisa terjadi kering di luar tetapi bonyok di dalam," beber dokter dan itu mampu menutup mulut pria berbadan atletis itu. "Besok, kita akan memeriksanya sekali lagi. Saya harap, hasilnya tetap bagus dan memuaskan!"
"Amin. Iya, Dokter, semoga saja."
"Kalau begitu saya pamit dulu!"
"Silakan, Dokter."
"Mama dan Papa seperti memiliki seorang bayi baru saja," celoteh Raden dengan wajah tidak senang. "Hm ... ."
"Amin ... Papa harap perkataanmu akan segera dikabulkan Tuhan. Papa yakin, bayi baru akan segera mengisi rumah kita yang sunyi."
"Apa?" Raden menganga, tak menyangka bahwa jawaban sang papa adalah hal yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya. "Tidak mungkin," tukasnya yang memutuskan untuk keluar dari ruangan karena merasa kesal.
Melihat ekspresi wajah putranya yang kian tertekan, tuan Wibowo terkekeh mulus di dalam hatinya. Sekarang beliau tahu, bagaimana cara menghentikan omelan dari putra sulungnya tersebut.
"Papa ini, ada-ada saja," timpal nyonya Mila sambil menahan tawanya. "Tapi ... cara itu ternyata berhasil menutup mulutnya," bisik wanita baya yang terlihat lembut.
"Itu harapan Papa, Ma. Jadi, sambil menyelam minum air."
"Hahahaha, amin. Mama juga mengharapkan hal yang sama dengan Papa. Semoga Sena mampu meruntuhkan tembok Berlin di dalam hati Raden dan kita segera mendapatkan banyak cucu yang lucu," doa nyonya Mila dan wajahnya terlihat memerah.
"Wah ... tidak terbayangkan oleh Papa, Ma. Dan saat itu, putra bungsu kita akan pulang untuk memimpin perusahaan."
"Ehe ... itu artinya Papa bisa benar-benar beristirahat dan menghabiskan waktu bersama Mama, serta cucu kita."
"Ya Tuhan ... alangkah bahagianya. Papa menggantungkan banyak harapan kepada Sena, Ma."
"Mama juga, Pa."
Tuan dan nyonya Wibowo melepaskan senyum mereka, apalagi di dalam sana tidak ada Raden. Sebab demi menjaga perasaan putranya, kedua orang tua ini tidak boleh membahas sangat dalam mengenai rumah tangga anaknya. Dengan begitu, Raden tidak akan semakin menjauh dan marah.
Setelah puas berkeliling rumah sakit demi menumpahkan rasa yang ia sendiri tidak ketahui, Raden memutuskan untuk kembali ke ruang perawatan Sena. Melihat putranya telah hadir kembali, kedua orang tua tersebut memutuskan untuk pulang dengan mengatakan bahwa saat ini sudah waktunya berganti shift.
Tanpa banyak menjawab, Raden pun membiarkan papa dan mamanya meninggalkan ruang perawatan. Kemudian ia duduk di kursi sofa, sambil melipat tangan dan memeluk dirinya sendiri.
'Heh ... setidaknya aku harus memiliki sedikit alasan untuk peduli kepadanya.' Kata Raden tanpa suara, dan tampak bosan.
Sementara di sisi Sena, di dalam tidurnya yang lelap, wanita pemilik bibir penuh ini kembali bermimpi tentang wanita cantik yang sebelumnya terasa dekat dan begitu menyayangi dirinya. Namun kali ini, perempuan tersebut dalam kondisi berlumuran darah. Air mata pun tampak membasahi wajah indahnya. Kemudian, berteriak begitu kencang seolah memanggil nama Sena.
Sontak hal tersebut membuat Sena terkejut hingga ia terbangun dan terduduk, sambil berteriak hebat. Bahkan seluruh tubuhnya bergetar kuat, dan peluh pun langsung membanjiri wajahnya yang pucat.
"Aaa!" pekiknya tanpa jeda, sambil membingkai wajahnya sendiri.
Raden yang terkejut, segera berdiri dan memeluk untuk menenangkan wanita yang tidak ia inginkan itu. 'Tidak mungkin dia sedang berakting.' Katanya di dalam hati. 'Apa yang sudah membuatnya histeris seperti ini?' Tanyanya sambil menatap darah yang mengalir dari pergelangan tangan Sena, akibat jarum infus yang terlepas, ketika mengangkat tangan untuk menutupi sebagian wajahnya.
"Dokteeer, Sus!" panggil Raden sembari menekan tombol berwarna putih yang berada di bagian atas kepala ranjang perawatan Senandung Arimbi.
"Tidaaak!" pekik Sena kian histeris dan berguncang. "Ya Tuhaaan ... tidaaak!" Tangisnya pecah, bersama guguhan hebat yang tidak bisa dihentikan meskipun dengan dekapan hangat dari tubuh kekar milik pria tampan tersebut.
"Tenanglah!" pinta Raden dengan mata yang kebingungan sehingga pupilnya terus bergerak ke kiri dan ke kanan, seolah mencari jalan agar wanita yang berada di dalam dekapannya tidak lagi menangis hebat sambil bergetar kuat.