Curiga

2415 Words
Tuhan tidak mungkin sedang mengantuk dan salah menaruh Sena pada sebuah tempat baru yang sama kejinya dengan rumah lama. Mungkin, Sang Penguasa hanya tengah mengajaknya bercanda, dengan sketsa lelucon drama percintaan kacangan semacam ini. Bisa jadi juga, Tuhan sedang menunjukkan bakat terpendam wanita cantik itu. Seperti seorang ahli yang mampu berakting bahagia dan menyunggingkan senyum sepanjang malam, sekali pun dalam dirinya tengah sekarat. Atau Sang Pencipta tengah bosan dengan urusan-urusan lainnya dan kini ingin sedikit ‘bersenang-senang’ dengan hidup seorang Senandung Arimbi. Tidak. Tuhan hanya ingin menguji kesabaran perempuan cantik itu. Lagi-lagi, Sang Penguasa mau melihat bagaimana wanita pemilik bibir penuh itu bisa bertahan dalam situasi yang mungkin tidak lebih sulit, bila dibanding dengan usahanya untuk bertahan hidup selama ini. Terkadang, banyak tanya membanjiri pikiran dan hati Senandung Arimbi. Semua tentang apa alasan jantungnya itu masih saja berdetak, padahal ia berulang kali merasa sekarat. Seolah-olah, ada seseorang di luar sana yang tengah menunggunya untuk memberikan berjuta kado spesial dan kehidupan nan indah. Sulit dipercaya memang, terlebih lagi selama ini ia hanya merasa sebatang kara dalam mengarungi arus hidupnya yang terus bergejolak dan mendidih. Begitu juga saat ini, sesuai dengan prediksinya, monster dari konsep lain kembali menyakiti hatinya dengan cara yang berbeda. Jika di dalam keluarga sebelumnya, ia sering dikasari secara fisik, tetapi kali ini lebih kepada mental. Dalam sunyi malam, terdengar langkah tergesa-gesa dari anak tangga menuju ke ruang operasi. Mata tuan Wibowo dan putranya pun beralih, ke arah langkah cepat tersebut. Rupanya, nyonya Wibowo lah yang hadir bersama kecemasannya. "Pa ... gimana?" "Sena, Ma. Dia harus segera mendapatkan tindakan saat ini juga?" "Di malam pengantin?" tanya nyonya Mila sambil memegang dadanya. "Hm," gumam tuan Wibowo dalam keluh. Nyonya Mila memperhatikan putranya yang hanya duduk di sudut kursi dan menatap ke arah lantai berwarna putih. Rasa kecewa membuatnya mengurungkan niat, untuk menyapa Raden seperti biasanya. Setelah lima belas menit tidak dipedulikan, Raden mendekati sang mama dan mengajaknya berbicara. "Ma ... ." "Apa yang sebenarnya terjadi?" Raden menceritakan segalanya, tanpa ada kebohongan. Ini merupakan salah satu sifat pria tampan itu, yaitu jujur. "Raden nggak ada maksud apa-apa, Ma." "Kata-kata yang seperti itu, lebih menyakitkan daripada kamu menggorok lehernya," kata nyonya Mila tampak kecewa. "Apa jangan-jangan ... kamu memang tidak menyukai perempuan, Nak?" tanya wanita baya itu, sambil menyorot tajam ke arah putranya. Tuan Wibowo menarik pundak istrinya agar lebih tenang. "Mama jangan keterlaluan!" pintanya yang juga tak ingin menyakiti anaknya dengan kata-kata seperti itu. "Papa juga sedih dan terkejut, tapi ... jangan mengatakan hal yang tidak-tidak! Ingat, Ma! Perkataan Mama merupakan doa." "Mama mau gimana lagi, Pa? Sudah sangat malu sama semua keluarga dan teman-teman. Sekarang ini, coba Papa bayangkan! Apa yang akan Mama dengarkan lagi? Ejekan yang bagaimana lagi? Tawa menghina seperti apa lagi?" tanya perempuan cantik paruh kebaya tersebut, tanpa jeda. "Suuut ... cukup, Ma!" Tuan Wibowo menurunkan emosi dan memutuskan untuk memeluk istrinya sangat erat. Melihat reaksi sang mama yang terbilang, jarang sekali mengeluh apalagi marah, Raden mulai melemah. Ia tidak menyangka, dampak ucapannya akan sejauh ini. Awalnya, ia sama sekali tidak merasakan sakit ataupun ada yang salah pada lidahnya. Namun setelah melihat mamanya terluka dan menangis tersedu, pria tampan itu pun tak mampu mengabaikan apa yang telah terjadi di hadapannya. Enam jam lebih menanti di depan ruang operasi, keluarga Wibowo tampak semakin cemas. Pada saat yang bersamaan, lampu berwarna merah yang sebelumnya menyala, kini kehilangan sinarnya. Tak lama, dokter keluar dari ruangan steril tersebut dan menemui keluarga baru Senandung Arimbi. Nyonya Mila berdiri dan langsung mengejar dokter. "Dokter, tolong berikan kami kabar baik!" ucapnya, sembari menggenggam kerah depan cardigan batik yang ia kenakan. "Operasinya berjalan lancar," kata dokter bersama senyum, namun tetap menghela napas panjang. Tuan Wibowo melipat dahi, menyadari ada yang tak beres dengan ekspresi wajah dokter tersebut. "Apa ada masalah lainnya?" "Terus terang saja, ini merupakan operasi besar dan sangat sensitif. Berhasil memang, tapi ... kondisi pasien sangat buruk. Sena mengalami pendarahan hebat dan kini dalam kondisi kritis. Kami sudah berusaha dan saat ini kita hanya bisa mendoakannya saja. Permisi!" "Silakan, Dokter." "Papa ... ," ratap nyonya Mila dengan tubuh yang bergetar. "Kasihan sekali, dia masih terlalu muda." Nyonya Mila memeluk tubuh tuan Wibowo dari samping. Masih dalam posisi hati yang tersesak, terdengar suara cukup ramai dari roda-roda kecil ranjang perawatan yang membawa tubuh muda Senandung Arimbi. Tanpa memperdulikan putranya, sepasang suami-istri ini mengikuti langkah para medis ke ruang ICU. "Sus, sebentar!" panggil nyonya Mila. "Iya?" "Bisa kami meminta satu ruangan khusus buat Sena?" tanyanya penuh harap. "Berapa pun biayanya. Tolonglah!" pinta nyonya Mila sambil menyatukan kedua tangan di depan d**a, bersama mata yang basah. "Baiklah, kami akan mengaturnya. Silakan tunggu sebentar!" "Iya, baiklah. Terima kasih." Setelah proses administrasi yang cukup panjang, akhirnya Senandung Arimbi mendapatkan kamar terbaik. Saat ini, tuan dan nyonya Wibowo memutuskannya untuk menginap di rumah sakit karena keluarga Sena belum juga datang untuk menjenguk. Detik ini, mulai terlihat bagaimana belang keluarga besan yang sejak awal memang sudah diprediksi oleh keluarga Wibowo. Subuh pun terlewati dengan rasa lelah akibat tekanan hati yang berat. Tanpa sadar, mereka tertidur dan hanya nyonya Mila lah yang masih terbangun. Paginya, beliau menyiapkan banyak makanan dan berharap Sena segera bangun. Mulai dari roti manis aneka rasa, hingga buah-buahan segar yang ia beli di sekitar rumah sakit. Seperti mengurus putrinya sendiri, wanita baya yang terlihat cantik itu, merapikan wajah Sena. Rupanya bukan hanya tuan Wibowo saja yang terkesan dengan gadis cantik pemilik bibir penuh tersebut, tetapi istrinya juga. Semua karena sikap lembut, gigih, dan ulet yang selama ini ia tunjukan. Pukul 09.45 WIB, tuan Wibowo yang sudah bangun, mengingatkan istrinya untuk pulang. Bukan tanpa alasan, beliau harus menyiapkan keberangkatan putra kedua mereka yang kini masih menempuh pendidikan di luar negeri. Mendengar hal tersebut, Raden pun menyanggupi untuk menjaga Sena agar kedua orangtuanya bisa mengurus Ragil seperti seharusnya. "Kamu yakin mau menjaga Sena? Ingat, jangan sampai dia mati di tanganmu!" Tuan Wibowo memperingati dengan kasar, seolah Sena adalah putrinya. "Raden tidak sejahat itu, Pa. Come on!" Tuan Wibowo memasang wajah sangar. "Kita lihat saja nanti," ucapnya yang langsung meninggalkan sang putra bersama Sena. Setelah hanya tinggal seorang diri saja, Raden memijat dahinya berulang. Baginya, Sena seperti mimpi buruk apalagi setelah melihat reaksi kedua orangtuanya. Ia merasa menjadi anak yang durhaka dan laki-laki paling kejam di dunia. Padahal selama ini, ia tak pernah menyakiti wanita. "Jangan menertawakanku!" kata Raden berbicara pada dirinya sendiri, sembari menatap wajah Sena yang pucat. Siang menjelang sore, perawat meminta kepada Raden untuk menembus beberapa obat suntik dan juga infus yang akan digunakan malam nanti. Tanpa banyak pertanyaan, pria tampan itu pun langsung menuju ke apotek yang berada di samping rumah sakit. "Senandung Arimbi!" panggil apoteker dengan suara yang kuat. "Ya?" "Ini obatnya, nama yang bagus," puji pria yang berada di balik kaca buram sambil tersenyum ramah. "Oh, iya. Thanks," jawab Raden pura-pura tersenyum. "Nama yang bagus ... hah!" Raden mengulangi kata-kata tersebut, sambil menyunggingkan bibirnya, dan terus mengejek. Setelah melewati beberapa kamar perawatan, Raden pun tiba di ruangan istrinya. Baru saja ingin masuk ke dalam, ia melihat keluarga Sena sudah berkumpul di dalam sana. Namun anehnya, mereka tidak seperti memiliki ikatan yang kuat terhadap wanita itu. Bahkan kedua saudaranya hanya menikmati makanan yang disajikan oleh punya Mila sebelumnya, dan duduk menjauh seolah tidak terjadi hal yang buruk di hadapan mereka. "Hanya satu yang aku takutkan, Ma," kata tuan Dani dengan suara yang tipis, namun terdengar jelas di telinga Raden. Nyonya Dina menatap tajam. "Mama tahu apa yang Papa pikirkan," sahutnya terdengar penuh rahasia. "Hm ... semoga tidak!" Doa laki-laki yang lebih terkesan seperti orang lain, saat di hadapan Sena. Sebab ia sama sekali tidak tampak terluka, ataupun bersedih. Padahal tuan dan nyonya Wibowo sampai tersesak dan begitu emosional terhadap Raden, akibat luka yang menyakiti Senandung Arimbi. "Pa, Ma! Masih lama ya?" Terdengar suara seorang wanita muda lainnya yang tengah duduk di kursi sofa. "Bosan ni," rengeknya yang jika diprediksi baru saja tiba. Nyonya Dina berbalik arah, memperhatikan putrinya dan Raden langsung bersembunyi. "Kita tunggu Raden datang dulu, baru pulang." "Buat apa sih?" Omelan Chika yang sama sekali tidak terlihat suka pada Sena. "Aku nggak perduli, Ma." "Setidaknya ... kamu harus mengucapkan kata selamat kepada Raden untuk menunjukkan rasa simpatimu itu!" "Ya ampun, Ma ... ." "Sudah, jangan mengeluh terus!" Lalu suara-suara berisik tersebut menghilang. Dalam hening, Raden berpikir keras seorang diri. Ia merasa apa yang dikatakan oleh papanya sama sekali tidak salah. Meskipun awalnya ia mengira bahwa tuan Wibowo hanya mengatakannya karena ingin menarik simpati dari dirinya untuk Sena. Raden menghela napas panjang, memutuskan untuk masuk ke dalam ruang perawatan istrinya. "Selamat sore!" sapanya yang berusaha untuk ramah. "Raden?" Nyonya Nurmadinah langsung menyambut dengan hangat dan memperlihatkan senyuman palsu nan matikan. Jantung Raden terhenti sejenak, ia merasa seperti dipukul keras karena sikap palsu dari ibu mertuanya. Walaupun begitu, ia tidak ingin membuat suasana semakin buruk. Untuk itu, Raden segera membalas senyuman tersebut dengan ramah. "Ya," jawab pria bertubuh proporsional tersebut dengan rahang yang mengeras. Mendengar suara Raden yang berat dan jantan, pandangan Chika pun langsung tertuju kepadanya. Mata wanita itu terbuka lebar, seolah telah melihat idolanya yang sempurna. Sepertinya ia benar-benar tak menyangka, bahwa pria yang awalnya dijodohkan dengan dirinya adalah laki-laki tampan nan memiliki segala kelebihan yang ia suka dari seorang pria dewasa. "Waw ... ," gumamnya terdengar menyukai apa yang sedang ia lihat saat ini. "Hai! Aku Chika," sapanya sambil melambaikan tangan dengan tatapan menggoda. Raden tersenyum simpul, sambil menganggukkan kepalanya. "Ya, thanks sudah datang." "Nggak masalah kok, tapi ... dia pasti menyusahkanmu, kan?" tanyanya mulai memprovokasi. "Emh ... tidak juga. Silakan duduk, Pa, Ma!" "Nggak apa-apa, kita di sini saja. Jadi bisa puas melihat Sena." 'Heh, dasar pembohong.' Kata Raden jauh di dalam hatinya. "Oke," jawab Raden yang pura-pura menerima kehadiran mereka semua. Padahal ia merasa tidak nyaman dengan keluarga ini. Sebab, dari mata mereka, terlihat jelas ada sesuatu yang rancu. Cara mereka tersenyum pun, jauh berbeda jika dibandingkan dengan Senandung Arimbi. "Emh ... Raden, Papa minta maaf ya! Soalnya, belum apa-apa saja, Sena sudah menyusahkan seperti ini." "Itu bukan salahnya Sena kok, Pa. Raden yang lalai," kata Raden yang tiba-tiba malah bersikap membela wanita yang tak pernah ia inginkan tersebut. "Hmmm, Mama harap ... kamu nggak bosan loh ngadapin dia. Dari dulu ya begitu, sakit-sakitan terus. Anaknya juga ceroboh dan ingin menang sendiri, jadi ya gitu deh." 'Oh ... jadi mereka tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi kepada Sena? Dan mereka juga sama sekali tidak ingin bertanya mengenai faktanya?' Tanya Raden di dalam hati. 'Tidak disangka, mereka malah menyalahkan Sena.' "Sekarang ini yang paling penting adalah kesehatan Sena, Pa, Ma. Raden harap, luka di kepalanya bisa segera pulih dan dia dapat beraktivitas seperti biasanya!" "Iya, semoga aja," timpal wanita itu, terdengar tidak seantusias yang seharusnya. "Papa ada urusan, Raden. Mungkin besok akan kembali lagi untuk menjenguk Sena. Kamu nggak apa-apa kan, ditinggal sendirian?" "Emh ... kalau Papa sibuk, biar Chika aja yang nemani Mas Raden untuk menjaga Sena. Chika bisa kok, sempat," tukas wanita yang mengenakan dress minim, hingga memperlihatkan sebagian pahanya. "Gimana, Mas?" tanyanya semakin ingin mencari simpati dari Raden Wibowo. Padahal, sebelum bertemu dengan pria tampan tersebut Chika selalu berbicara tergesa-gesa dan meminta untuk segera pulang. "Kebetulan kalau gitu, aku juga ada urusan sebentar. Kalau kamu di sini, aku bisa keluar untuk menyelesaikan tugasku." Raden mencoba mengelak dengan cara yang cerdas. "Kalau tinggal sendiri, kayaknya nggak deh. Aku phobia dengan rumah sakit." Chika memberi alasan yang dipaksakan, demi ingin bersama Raden. "Kalau ada temannya, ya it's oke." "Sebentar aja kok, paling Mama juga akan datang untuk menjaga Sena." Raden mengangkat tangan kirinya, pura-pura memperhatikan jam tangan. "Jadi, kamu nggak sendirian juga." Chika mengernyitkan dahi, memberi kode kepada mamanya agar dapat membantunya, segera keluar dari urusan ini. "Emh, gini aja. Chika lain kali saja jagain Sena nya ya! Mama butuh bantuan kamu juga nih, soalnya." "Iya, Ma. Kalau gitu, Chika ikut Mama pulang aja," kata wanita yang terlihat genit tersebut. "Lain kali, kita atur lagi waktunya." "Baiklah kalau begitu," timpal Raden spontan, karena ia lebih tidak menyukai Chika, dibandingkan Sena. "Kita pamit dulu ya, Raden," ujar tuan Dani sambil melipat tangan di belakang punggungnya. "Oke, Pa. Makasih sudah datang, kalau ada perkembangan tentang Sena, Raden akan segera menghubungi kalian semua." "Oh iya ... memang harus seperti itu," kata tuan Dani yang tiba-tiba merasa tak enak hati. Sepertinya ia menyadari keanehan dari tatapan mata Raden untuk dirinya dan keluarganya. "Selamat sore!" ucap Raden seperti mengusir, dan ingin segera terpisah dari keluarga ini. "Sore," jawab tuan Dani dan yang lainnya, sembari meninggalkan ruangan. "Hmh!" keluh Raden, sambil memperhatikan istrinya yang malang. "Sepertinya Papa benar tentang dia," sambungnya, lalu menundukkan kepala. Di luar ruangan, terdengar rasa kesal dari mulut Chika kepada papa dan juga mamanya. Ia mulai menyalahkan keduanya karena memberikan Raden untuk Sena. Padahal saat itu, dia lah yang langsung menolak perjodohan ini, bahkan sebelum bertemu dengan Raden. Semua karena Chika ingin bebas menentukan siapa suaminya dan bagaimana bentuk fisiknya. Namun ketika melihat ketampanan dan kemapanan Raden Wibowo, jiwa gila nan agresif miliknya meronta-ronta. "Chika, jangan berisik ya! Mama sudah pusing ini." "Mama gimana sih, cowok setampan Raden kok diberikan kepada Sena? Mama bilang sayangnya cuma sama Chika?" "Bukannya kamu sendiri yang menolaknya? Kan Papa sudah bilang sebelumnya, Ka. Supaya kamu bertemu dulu dengan Raden. Tapi apa? Kamu langsung bilang nggak mau, ini bukan zaman Siti Nurbaya!" Tuan Dani mengulangi kalimat pedas yang keluar dari bibir putri kandungnya, padahal ia sudah membujuk begitu keras selama beberapa hari. "Papa benar, lagian Mama juga sudah menjelaskan kalau dia itu anak konglomerat. Sayang dong kalau jatuh ke tangan orang lain. Makanya Mama dan Papa memaksa Sena untuk menikah." "Ini nggak adil," timpal Chika sambil menghentak langkahnya dan pergi meninggalkan kedua orang tua serta adiknya. "Menyebalkan! Aku benci kalian semuanya." Chika semakin tidak sopan dan terus saja berbicara dengan membentak. "Heh, anak itu?" keluh nyonya Dina sambil menggelengkan kepala. "Dia yang salah, malah menyalahkan orang lain. Kebiasaan!" "Sudahlah, Ma! Itukan hasil didikan Mama sendiri," kata tuan Wibowo yang langsung cuci tangan karena melihat sikap egois dan kekanak-kanakan dari putri kandungnya. Nyonya Dina tersulut amarahnya, ia menarik tangan kiri suaminya cukup kuat. "Papa bisa ngak sih, tidak menyalahkan Mama?" tanyanya dengan kedua mata yang terbuka lebar. "Lalu harus menyalahkan siapa?" Tuan Dani membalik pertanyaan dari bibir istrinya. "Tugas Mama di rumah, kan? Anak-anak itu urusan Mama!" tunjuknya tepat di depan wajah nyonya Dina. "Ma, Pa! Ini rumah sakit loh, jangan malu-maluin lah!" Si bungsu mengecam sikap kedua orang tuanya saat ini. "Nyesal banget deh ikut hari ini. Rusak kan moodku." Kemudian si bungsu jalan lebih dulu menyusul Chika dengan wajah yang kesal.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD