Lebih dari empat puluh menit Raden berada di dalam ruang kelas bersama dosen senior yang memberikan banyak wejangan, terutama kepada para mahasiswa. Beliau ingin suasana belajar tetap kondusif dan kelas ini selalu menjadi ruang percontohan bagi yang lainnya.
Hingga detik ini, Raden sama sekali belum memeriksa absen maupun mahasiswa yang berada di bawah tanggungjawabnya. Sebab ia hanya fokus kepada dosen senior dan memang kurang peka dengan tatapan kagum dari para gadis lainnya. Sementara Senandung Arimbi, ia lebih memilih untuk duduk diam dengan pundak yang terus membungkuk.
"Di kelas ini, kita memiliki beberapa mahasiswa yang terampil dan aktif. Sebenarnya saya ingin menunjukkannya kepada Anda, Pak. Tapi sebaiknya tidak," ucapnya tampak mengurungkan niat. "Anda harus bisa menemukannya sendiri!"
"Baik, tidak masalah," sahut Raden sambil tersenyum manis.
"Kalau begitu, kita ke kantor dulu!" ajak dosen senior seraya mempersilahkan.
"Hari ini, kita akan jeda beberapa jam dan disambung setelah makan siang!" Raden memberi pengumuman. "Sampai jumpa!" Pria bertubuh atletis tersebut mengangkat tangan kanannya untuk melambai, lalu pergi bersama dosen wanita yang saat ini akan keluar dari kampus tersebut.
Senandung Arimbi yang sejak tadi bersembunyi di belakang tubuh rekannya, kini mulai menegakkan leher dan menatap jauh ke depan. Setelah yakin Raden sudah pergi, wanita itu segera berdiri dan memperhatikan punggung suaminya guna memastikan penglihatannya.
Setelah kedua dosen tak tampak, Sena terhenyak dan terduduk lesu di kursinya. Nyawanya terasa hilang tatkala menyadari fakta baru yang menyulitkan hidupnya. Namun lagi-lagi, ia tak mau hadir dalam kelemahan seperti sebelumnya. Dirinya harus bangkit demi masa depan yang cemerlang.
"Sena!" panggil Dea yang merasa curiga akan sikap aneh temannya. "Kamu kenal beliau?"
"Ha? Nggaklah, mana mungkin," tepis Sena seraya menggeleng kepala. "Bagaimana bisa aku mengenalinya?"
"Ya mana tahu, kamu kan asisten dosen. Bisa aja kan, kenal dengan dosen tampan itu lebih dulu."
"Jangan ngacau kamu, De!" Sena segera menepis pemikiran Dea agar situasinya kembali tenang. "Aku kan asisten pak Harto, bukan beliau." Senandung Arimbi memperkuat alibinya.
Sementara di kursi yang lain, suara bisik-bisik dan obrolan penuh kehaluan, terdengar memenuhi rongga telinga Sena. Rata-rata para gadis membicarakan mengenai Raden dan semua kelebihannya. Mereka seperti terhipnotis akan karisma dari wajah dan kekokohan tubuh yang memiliki kadar lemah hanya 15% itu.
"Aku mau ke depan," kata Sena ingin lepas dari jerat pertanyaan yang kian muncul tiap sepersekian detiknya.
"Tapi, Sena!" panggil Dea terdengar belum puas hati dan masih ingin merongrong dengan hujan pertanyaan.
Sena pura-pura tidak mendengar suara panggilan dari Dea yang sebenarnya terdengar agresif. Bersama langkah terburu-buru, ia pun meninggalkan teman-teman lainnya dan ruang kelas. Rasanya ia ingin pergi begitu jauh agar bisa lepas dari Raden dan semua situasi yang mengikat kenyataan tentang kehidupan barunya.
'Sebaiknya aku mengisi perutku dulu, ya ... biar kuat menghadapi kenyataan.' Gumam Sena tanpa suara.
Namun, baru saja tiba disebuah warung makan dimana ia sering mengisi perut yang kosong setelah bekerja keras dan belajar sangat giat, seseorang menghampiri dan langsung menarik tangannya sangat kuat. Sena tak sempat melihat wajah orang tersebut, tetapi ia cukup mengenali sosok itu dari aroma tubuh dan gelang tangannya.
"Kenapa kamu di sini, bukannya ke kampus?" tanya Sena sambil menarik tangannya dari genggaman Lio, namun gagal.
"Kamu pikir, aku bisa meneruskan kehidupanku yang konyol ini?" tanya Lio terdengar sangat emosional. "Kamu sudah menghancurkan semuanya, Sena!" hujatnya yang sudah terlanjur sakit hati.
"A-apa?" Bibir Sena membentuk huruf 'O' bersama dahi yang dilipat. "Selama ini kita berteman dan hubungan kita baik-baik saja, kan? Lalu, apa yang salah? Apa aku pernah menjanjikanmu sesuatu atau mengatakan hal yang bisa kamu tuntut? Bahkan kita tidak pernah berjanji untuk bersama," balas Sena karena sudah lelah dengan keadaan yang selalu menyalahkan dirinya.
Lio menarik kian keras, agar tubuh Sena menempel padanya. "Bukankah aku sudah mengatakannya?" tanya Lio sambil mengatur napas dan menahan emosinya.
Sena menantang mata pemuda tampan dan cukup populer di kampus. "Lima menit sebelum waktu pernikahanku?" tantang Sena seraya menegangkan rahangnya.
Lio tersadar akan kebenaran perkataan Sena, dengan tangan kiri ia refleks mengurut dahinya yang benar-benar terasa sakit sekarang ini. Tampaknya ia memang sangat menyukai Sena bahkan setelah kejadian pernikahan tersebut ia bagai kehilangan arah dan tidak suka melakukan apa pun, kecuali berjalan kesana kemari tanpa arah.
"Katakan kepadaku! Kok bisa sih kamu menikah secepat itu? Apa kamu hamil? Dan laki-laki itu, apa dia yang melakukannya?" cerca Lio tanpa ampun hingga menimbulkan rasa sakit di dalam sanubari Senandung Arimbi.
Sena menghela napas panjang berulang dan berusaha untuk menekan emosinya. Ia menyadari sesuatu bahwa memang selayaknya sebuah pernikahan menjadi momen yang sangat mengharukan dan membahagiakan. Namun ia sendiri tidak pernah menyangka bahwa pernikahannya akan jadi seperti ini, mendadak, asing, dan menyakitkan.
Bayang-bayang pernikahan ala film kartun Disney pun hancur berantakan, kalimat penutup yang diutarakan sang narator di akhir perjalanan cinta yang diharapkan dalam bunyi 'Akhirnya gadis itu menemukan pangeran sekaligus cinta sejatinya', Tetapi sayangnya semua itu tidak pernah terwujud bagi Senandung Arimbi.
Bahkan Sena belum sempat menemukan pangerannya hingga detik ini, tetapi harus dan dengan terpaksa menerima Raden menjadi pangerannya. Kalau saja perjodohan bodoh yang didasarkan oleh harta tidak pernah terjadi, mungkin ia akan bahagia dengan kehidupan perkuliahan tanpa embel-embel status sebagai seorang istri. Sena merasa, meskipun hidupnya berat dan harus menanggung beban seorang diri, tetapi ia merasa mampu. Sayangnya, kali ini semua berubah drastis dan ia seolah menjadi orang lain dalam waktu singkat dan terkungkung serta tercekik tanpa tali.
Iya, meskipun Raden Wibowo mengizinkannya untuk tetap kuliah, dan yakin bahwa laki-laki itu memang tak peduli tentang apa dan bagaimana dirinya bersama pria lain, namun tetap saja situasi pernikahan telah memberati bahunya. Belum lagi komentar-komentar miring yang akan segera muncul di kepala beberapa orang yang sudah mengetahui mengenai kenyataan tersebut, terutama tentang momongan dan juga hubungan romantis di antara dirinya dan Raden Wibowo.
Sena menatap kedua manik mata Lio, tajam. "Kamu pikir aku suka? Bahagia? Tidak!" tepis Sena menarik paksa tangannya dengan sangat kuat sekali lagi.
"Kalau begitu, ayo pergi jauh bersamaku!" ajak Lio menyusul langkah Senandung Arimbi yang kian jauh meninggalkan dirinya.
"Dengan anak mami yang manja dan pemalas?" ejek Sena sambil melanjutkan langkahnya. "Come on!"
"Jangan mengejekku seperti itu!" Lio mengimbangi langkah Sena dan terus mengejar hingga wanita itu menemukan kursi panjang di taman pada punggung jalan.
Bersama kekesalannya, Sena berjalan ke kursi panjang tersebut dan menggesernya sedikit ke belakang supaya sinar matahari siang ini bisa sedikit berkurang. Setelah cukup tenang, perempuan itu meletakkan punggungnya ke sandaran kursi dan meluruskan tungkai kakinya yang panjang dan ramping, sambil narik napas dalam.
Detik ini, ia membiarkan tubuhnya menyerap sinar matahari nan tajam dan sengit seperti sosok yang putus asa di tengah gurun pasir serta tidak menemukan setetes air pun untuk melepas dahaganya.
"Sena, please!" Lio masih berusaha.
"Suuut! Aku tidak mau mendengarkanmu lagi, Lio. Pergi dari hadapanku, dan teruslah merengek sepanjang waktu! Anak manja seperti kamu yang memiliki segalanya sejak awal, memang tidak akan pernah bisa untuk diandalkan," kata Senandung Arimbi yang sengaja menyayat hati Lio agar ia tersadarkan dan kembali ke kampus.
Lio terduduk dengan posisi seperti memohon. "Apa yang kamu pikirkan?"
Sena menatap tajam dan dalam. "Aku tidak menyukai pria pemalas, dan kamu adalah pria itu."
"Hm ...." Lio menghela napas panjang, wajahnya yang kusut tampak semakin kucel. "Aku akan membuktikannya padamu," ucap pemuda tersebut, lalu ia berdiri dan meninggalkan Senandung Arimbi seorang diri.
'Ah ... Tuhan, kenapa jadi seperti ini?' Tanyanya yang sejak awal juga menyukai Lio, tetapi tidak pernah mengatakannya. 'Sakit sekali melihatnya seperti itu.' Sena membingkai wajah dan menutup wajah dengan kedua tangan yang telah ia buka lebar.
"Hah ...," gumamnya sekali lagi, bersama keluh.
Sembari mengerjapkan mata berulang, Senandung Arimbi mencoba untuk rileks. Ia berupaya membuang semua pikiran yang membuat batinnya gundah gulana. Ya, meskipun hanya dalam waktu yang singkat, setidaknya hingga makan siang berlalu begitu saja.
Sementara di ruangan yang dipenuhi dengan para dosen dari berbagai kalangan dan usia, Raden kembali mendapatkan perhatian yang penuh. Tatapan mata nakal dari para dosen wanita dengan usianya setara dengan Raden, membuatnya tidak nyaman. Apalagi ada yang berani mendekati dirinya tanpa izin, ditambah lagi dengan kebiasaan nyeleneh dari perempuan tersebut, yaitu menjulurkan lidah dan menjilatinya dengan gaya menggoda.
Bukannya terpengaruh dan suka, Raden Wibowo malah merasa risih dan jijik. Bayangan Senandung Arimbi pun muncul. 'Setidaknya dia jauh lebih baik dan memiliki harga diri.' Puji Raden pada istri yang ia abaikan.
"Hai ... ," sapa dosen muda yang suka mengenakan pakaian minim nan modis. "Saya Tias, boleh duduk di sini?" tunjuk ya pada kursi di sebelah Raden.
"Silakan, saya juga ingin keluar sebentar," tukas Raden memperlihatkan ketidaktertarikannya.
"Apa?" gumam Tias tampak terkejut, sebab baru pertama kali ada laki-laki yang menolak peluang darinya.
Raden Wibowo memaksakan senyumnya. "Permisi!" timpalnya dengan gaya angkuh seperti biasanya. 'Hah ... ada-ada saja. Bahkan aku jauh lebih suka yang tertutup.' Ocehannya di dalam hati.
Sepanjang langkah dan terus mundur ke belakang dan menjauh, Tias terus saja memperhatikan punggung Raden yang memiliki bahu lebar dan memukau. Rasa penasaran dan ingin memiliki kian kuat terpancar dari sorot mata tajamnya. Sampai-sampai ia lupa untuk menelan air liurnya sendiri.
'Dia tipeku dan aku harus mendapatkannya!' Tias bersumpah pada dirinya sendiri, kemudian tersenyum aneh seraya memikirkan rencana agar segera dapat memiliki Raden Wibowo. 'Pria sempurna seperti dia, mana boleh lepas begitu saja!'