17

3291 Words
Pada siang yang baru Faith duduk di beranda dengan sepiring tart rasberi kesukaannya sembari menatap ke dalam mata Juan. Kylee duduk di seberang, tampak bimbang dengan situasi tang terjadi. Tidak sama seperti Faith yang tampak begitu sedih dan haru, Juan kelihatan tenang dan santai. Meski duduk di kursi roda, Juan masih sanggup menunjukkan wibawanya sebagai seorang ayah di hadapan ibu dan putri tunggalnya itu. Sesekali Juan menatap taman di halaman rumahnya dan tersenyum puas sebelum tatapannya kembali pada Faith. Juan menggertakkan giginya ketika Faith masih membisu disana, merasa kesal dengan perhatian berlebih yang diberikan Faith dan istrinya. "Kenapa kalian menatapku begitu?" Juan menunjuk ke arah tart rasberi di meja. "Apa kau tidak menyukainya lagi? Jika memang begitu aku bisa menghabiskannya untukmu. Rasanya manis dan menyenangkan," ujar Juan krmudian meraih sepotong kue dan melahapnya dengan antusias. Faith mengacuhkan pertanyaan itu dan memilih untuk mengajukan pertanyaan lain. "Apa kau merasa sakit? Kau mengalami kontraksi selama aku pergi? Bagaimana dengan obatmu? Kau meminumnya sesuai resep, kan? Apa aku perlu membawamu ke dokter lagi? Atau kau lebih suka aku memanggilnya kemari untuk memeriksa keadaanmu? Juan bergeming dan Kylee mengangguk, menyetujui usulan Faith. "Bisakah kita membicarakan hal lain selain kondisiku?" Juan menatap Kylee, tatapannya hangat dan bersahabat. "Aku yakin kau ingin sekali mendengar cerita putrimu. Dan.. Faith, mungkin kau bisa menceritakan bagaimana pengalaman pertamamu bersama Ian." "Ya," Kylee menyusul dengan antusias. "Ceritakan semua pada mom, Faith!" Faith mengangkat kedua bahunya dengan tidak acuh. "Semuanya menyenangkan." Senyum Juan pudar. "Hanya itu?" "Ya." "Kau pergi berhari-hari dan hanya itu yang bisa kau katakan?" tanya Kylee dengan kernyitan di dahi. Faith mengangguk dan Juan mendesah. Kylee cepat-cepat bicara. "Oh, nak, kau tentu tidak berniat mengecewakannya, kan?" "Siapa? Ian? Dia pria yang baik dan menyenangkan. Kenapa aku harus mengecewakannya." Wajah Kylee bersemi. Menatap istrinya, Juan mengerling, memilih untuk tidak teribat dalam pembicaraan itu. "Apa yang dia katakan tentangmu kalau begitu?" tanya Kylee kemudian. Faith diam sebentar, berusaha memilin kata yang tepat dan tentunya tidak mengecewakan. "Bagus. Luar biasa. Sempurna!" Kylee membeliakkan matanya. "Dia bilang begitu?" Faith mengangguk. "Ya." Pekikan keras membuat Juan tersentak. Istrinya meraih kedua tangan Faith dan mendekapnya di d**a. Pancaran mata Kylee memperlihatkan kebahagiaan yang tulus. "Oh, dia pasti menyukaimu." Faith tersenyum, meringis atas fakta yang ada. Namun, ia hanya berani untuk mengangguk. Faith tidak berniat mengecewakan orang tuanya, tidak sedikitpun. Ia bertanya-tanya akan seperti apa reaksi mereka begitu tahu bahwa Faith tidak pernah menghabiskan malam bersama Ian sekalipun? Mungkin itu akan menjadi pernyataan terakhir yang ingin didengar Juan dan Kylee. "Apa dia juga mengatakan kalau kau yang terbaik?" Faith ragu sejenak, sebelum menimbang dan berkata, "umm.. Sejujurnya dia bilang, tidak ada yang lebih baik dariku." Kylee memekik lagi. "Itu pertanda baik, Nak. Apa lagi yang dia katakan?" "Dia menbantuku untuk memulai hortikulturaku sendiri." Setidaknya, untuk yang satu itu, Faith tidak berbohong. "Dia juga mengajakku bersepeda, berlayar dan melihat petasan. Semuanya sangat indah. Itu liburan yang menyenangkan." "Aku senang mendengarnya," kata Kylee dengan mimik wajah haru. "Aku harap cinta Ian bisa seperti ayahmu." Faith menoleh ke arah Juan, tersenyum hangat ketika pria itu menatapnya dan diam-diam berharap bahwa apa yang dikatakan Kylee benar adanya. Semoga saja begitu. Malam setelah merasa puas bercengkrama dengan Juan, Faith memutuskan untuk kembali. Awalnya ia berniat untuk bermalam disana, namun Juan menolak dan atas desakan Kylee, Faith terpaksa harus mengurung niatnya. Ia mengendarai jeep melintasi jalan raya dan berputar di tikungan. Jalanan tampak padat dan ramai. Ketika merasa bosan, Faith memutar musik dan berhenti saat pandangannya terpusat pada secarik kertas yang digulung dengan pita merah di atas dasbor. Faith bertanya-tanya sejak kapan kertas itu ada disana dan bagaimana ia bisa tidak menyadarinya? Tanpa kehilangan fokusnya pada jalan raya, Faith meriah gulungan tersebut, membuka ikatan pitanya dan membaca tulisan familier yang tertera disana. Maafkan aku.. Cokelat? Ian Jauh di luar kehendaknya, bibirnya mengulas senyum lebar. Ia meletakkan kembali gulungan kertas itu ke tempat semula sebelum mencengkram setir lebih erat. Pikirannya hanya terpusat pada Ian dan benaknya terus bertanya-tanya akan apa yang dirasakan oleh pria itu? Bagaimana Ian berpikir Faith akan terbujuk untuk memaafkannya dengan secarik gulungan kertas di dalam jeep. Dan bagaimana mungkin Ian masih memendam hasrat untuk melucuti pakaiannya di tengah perseteruan mereka? Apa pria itu sudah gila? Sebesar itukah hasrat yang dimiliki Ian padanya? Lalu mengapa Ian tidak mau mengakui kebenarannya pada Faith? Mengapa Ian harus khawatir? Apa yang sebenarnya disembunyikan pria itu? Tentu saja, bukan hal yang sederhana jika Ian menolak untuk mengatakannya, dan Faith semakin penasaran saja. Jeep-nya tiba lebih cepat dari yang ia perkirakan. Sebelum turun, Faith sempat melihat SUV hitam milik Ian di sisi halaman rumah yang lain. Pagi ini Ian pergi untuk melanjutkan aktivitasnya bekerja di klinik setelah sepekan berlibur, dan lelaki itu pasti baru saja tiba di rumah. Faith segera turun dari jeep-nya, bergerak masuk ke dalam rumah sembari melepas mantel dan bot hitamnya. Faith menggantung mantelnya di tiang besi kemudian bergerak untuk meletakkan bot dan melepas ikat pinggangnya. Akhir-akhir ini Faith merasa jauh lebih rentan dari yang sudah-sudah. Emosinya jauh lebih kentara dan semangatnya menurun drastis seiringan dengan perseteruannya bersama Ian dan perpisahannya dengan Mike. Faith menghela nafas ketika mengingat Mike, tapi ia tidak berniat untuk menjadi lemah hanya karena fakta memilukan itu. Bagaimanapun, kehidupan akan terus berlanjut. Merasa penat, Faith beralih pada lemari pendingin, mendesah ketika tidak menemukan sebatang cokelat atau tar rasberi disana. Disaat-saat seperti itu, Faith hanya merindukan makanan dengan gula tinggi yang menjadi kegemarannya. Ia menyesal karena tidak mencicipi tar rasberi buatan Kylee siang tadi. Faith terlalu menghawatirkan kondisi Juan. Meraih sebotol soda, Faith meneguknya sebelum beranjak menuju ruang pribadinya. Ian ada di meja makan ketika Faith melintasi dapur. Lelaki itu tampak berbeda dari biasanya. Tatapannya kosong dan yang dilakukan Ian hanya mengaduk makanannya sambil melamun. Ketika mendengar suara entakan kaki Faith, Ian segera sadar. Mereka bertemu tatap sejenak sebelum Ian melambaikan tangannya pada kursi di seberang kemudian mendorong sepiring kentang rebus dengan saus mayones ke arah Faith. "Duduklah!" pinta Ian. "Habiskan makanan ini untukku!" Faith hendak menolak tapi perutnya yang dibiarkan kelaparan tidak bekerjasama. Jadi, ia tidak berpikir panjang ketika mengerahkan kakinya lebih dekat, menarik kursi di seberang dan duduk berhadapan dengan Ian. Faith tidak berniat bicara pada Ian dan menatap pria itu terlalu lama, jadi ia menyibukkan dirinya dengan santapan yang ada, merasa puas karena rasa laparnya terpenuhi. Sementara Faith menghabiskan makanannya, Ian menatap di seberang, menunggu wanita itu menatapnya sebelum bicara, "aku baru saja menghubungi Lucy siang ini. Dia menyetujui usulanmu dan dia bersedia membantu untuk usaha hortikulturamu." Perhatian Faith teralih sepenuhnya. Tidak ada senyum di wajahnya, namun antusiasme terlihat jelas dalam pancaran matanya. Faith tidak bicara namun memberi perhatian penuh terhadap semua yang dikatakan Ian. "Lucy bilang dia tidak bisa berkunjung ke New York karena itu dia menghubungi seorang relasi yang dia kenal disini. Namanya Gorgie, dia wanita paruh baya yang berpengalaman di bidangnya. Gorgie yang akan membantumu dan Lucy juga sudah berjanji akan mensuplai bantuan bibit yang kau butuhkan." Faith mengangguk. "Terima kasih." "Kau bisa menemui Gorgie besok. Aku akan mengantarmu." "Kau harus bekerja, kan?" "Jadwalku ditunda hingga siang, sementara itu aku bisa mengantarmu. Mungkin besok aku akan pulang lebih larut." Anggukan selanjutnya menyusul, kemudian tidak ada percapakan yang terjadi lagi. Faith mengangkut semua piring di atas meja dan meletakkannya di bak pencuci. Ia membenahi peralatan porselen itu. Begitu usai, ia kembali dengan segelas kopi panas. Faith mendorong cangkir kopinya pada Ian dan lelaki itu menerimanya tanpa banyak bicara. Kemudian Faith berdiri lagi dan bersiap untuk pergi. "Aku rasa aku akan istirahat sekarang." Faith menatap Ian dan lelaki itu tidak berusaha mengatakan apapun selain memutar cangkir kopinya saja. Setelah merasa bahwa tidak ada lagi yang perlu dibicarakan, Faith segera beranjak menuju ruang pribadinya. Ia baru sampai di ambang pintu ketika Ian memanggilnya dengan lembut. "Faith!" Faith segera berbalik untuk menatap pria yang masih bersandar pada tepian meja makannya, tidak menjawab namun menunggu Ian menyelesaikan kalimatnya. Awalnya Ian meragu, hal itu terlihat jelas pada kernyitan di dahinya, namun keraguan itu sirna seiring berjalannya waktu. "Apa jawabanmu?" Dan pemahaman segera melintas dalam benak Faith. Dalam usaha yang gagal, Faith menyembunyikan senyumannya. Tindakannya membuat ia merasa jengah. Cokelat.. "Kurasa keberuntungan belum berpihak padamu," jawab Faith kemudian memutar kenop pintu, beranjak masuk dan menutup pintu kembali dengan rapat. Samar-samar Faith mendengar bagaimana Ian mendesah kecewa di luar sana dan lagi-lagi, Faith tidak sanggup menghentikan senyumnya. Faith beralih pada toilet untuk membenahi dirinya sebelum bergelung di atas ranjang empuk berbau cendana. Kamar yang ditempatinya pasti milik Ian karena hanya kamar itu yang dirancang secara khusus dan memiliki detail yang sempurna. Semua peralatannya bersih dan tertata dan wangi tubuh Ian yang dikenali Faith, masih melekat jelas pada beledu di atas ranjang. *** Ian mengendarai SUV-nya melintasi jalanan yang padat pada pagi yang baru. Di kursi penumpang, Faith duduk dengan tenang. Wanita itu mengenakan kemeja putih dan celana denim yang nyaman. Dengan menggelung rambutnya dalam ikatan ekor kuda seperti biasa, keanggunan Faith tampak begitu natural di tambah lagi Faith tidak mengenakan riasan wajah sedikitpun. Diam-diam Ian memerhatikan Faith melalui spion dalam mobil. Sejak lima belas menit SUV bergerak menembus lalu lintas tak satupun dari mereka ada yang bicara. Faith kelihatan sibuk memperhatikan sekitar melalui kaca mobil sementara Ian sendiri berusaha fokus pada jalan raya. Ian membawanya menuju sebuah bangunan yang di rancang khusus untuk bisnis baru yang akan dijalani Faith. Bangunan itu sudah dilengkapi dengan fasilitas yang memadai dan Gorgie, rekan mereka, sudah menunggu disana. Ian juga sudah berencana akan meninggalkan Faith begitu ia selesai memastikan wanita itu berada di tempat yang semestinya. Ian tidak berharap membiarkan Faith pergi tanpa pengawasannya. Setidaknya Ian akan jauh lebih tenang jika ia yang mengantar Faith langsung untuk menemui Gorgie. Mobilnya sampai di depan bangunan lima menit kemudian. Faith memerhatikan sekitar dan tatapannya menangkap sosok wanita berusia paruh baya yang sudah berdiri menunggu mereka dengan sebuah celemek yang melekat di tubuh sintalnya. Ketika Ian turun, Faith kemudian menyusul, berjalan membututi pria itu hingga mereka tiba di hadapan Gorgie. Ian dan Faith menjabat tangan Gorgie secara begilir kemudian memperkenalkan diri dengan hangat. Gorgie adalah wanita ramah berdarah latin. Aksennya terdengar khas, dan senyumnya yang hangat mampu membawa kesan menyenangkan bagi siapapun yang melihatnya. "Senang rasanya bisa bertemu dengan kalian," kata Gorgie pada Ian dan Faith. Ia menatap Ian dan mulai menimbang sebelum bertanya, "kau yang menghubungiku pagi ini, bukan?" "Ya," sahut Ian sambil tersenyum. "Ah, beruntung kau menghubungiku karena aku bisa membuat kesepakatan dengan penjual bangunan ini lebih cepat. Aku sudah memeriksa semua fasilitasnya dan semua dalam keadaan baik." Ian mengagguk, "terima kasih." Gorgie tersenyum kemudian beralih pada Faith. "Apa kau Faith?" Faith mengangguk dengan cepat. "Ya." "Jadi kita akan mulai bekerja sama untuk bisnis ini sepertinya. Aku senang sekali kalian orangnya. Lucy sudah menjelaskan semuanya dan kita bisa memulainya sekarang," Gorgie tertawa kecil ketika tersadar akan celemek yang masih membungkus tubuhnya. Ia cepat-cepat melepas celemek tersebut sembari bergumam, "oh maafkan aku. Aku tidak bisa berdiam diri tanpa melakukan apapun jadi aku mencoba memastikan peralatan dapur semua berfungsi. Dan omong-omong aku baru saja membuat pie. Perjalanan kemari pasti menyita banyak waktu dan kalian tentu merasa lapar. Aku akan merasa senang jika kalian mau mencoba pie buatanku.” Ian menatap Faith sejenak menunggu hingga Faith mengangguk dengan senyum ramahnya. "Aku akan senang sekali untuk mencobanya." Gorgie mengajak pasangan itu masuk. Sejenak, mereka berbincang-bincang dengan secangkir teh hangat yang dibuat Gorgie. Ian telah menghabiskan dua satu porsi penuh pie yang dibuat Gorgie. Rasanya sungguh lezat dan Ian memuji keahlian wanita itu. Selain ramah, Gorgie adalah wanita yang hangat dan mudah diajak bicara. Mereka tidak butuh waktu lama untuk menjadi lebih akrab. Disela perbincangan mereka wanita itu menceritakan banyak hal tentang dirinya: tentang suaminya tercinta yang bertugas dikepolisian lokal, tentang kecintaannya pada hortikultura dan asam garam dalam berusaha. Sesekali Gorgie juga meminta Faith menceritakan dirinya dan ketika wanita itu bertanya tentang pernikahan mereka, tidak banyak yang dapat dijawab Faith. Tiga puluh menit kemudian Ian berpamitan untuk bergegas menuju klinik. Ian meninggalkan Faith untuk mulai melakukan perencanaan bisnisnya bersama Gorgie. Hatinya merasa lebih baik ketika ia mengendarai SUV menuju klinik. Begitu sampai, Ian segera memeriksa beberapa dokumen pasien yang belum sempat ditangani. Ia menggantung jaketnya pada tiang besi dan mengenakan jas putih sembari berjalan untuk duduk di atas kursi. Ian memeriksa arlojinya dan dengan segera menyelesaikan semua pekerjaannya hingga ia bisa tiba lebih cepat di rumah. *** Gorgie menemukan Faith tengah berkutat dengan alat panennya ketika ia tiba dengan segelas jahe hangat. Kehadirannya menyita perhatian Faith yang segera membenahi diri dengan melepas sarung tangan dan masker yang ia gunakan. "Apa semuanya baik-baik saja?" tanya Gorgie kemudian. Dahi Faith mengerut. "Aku tidak tahu, ada banyak benalu yang harus ku singkirkan dari tanaman yang ada." Gorgie melirik pada tanaman yang dimaksud sebelum tersenyum. "Ah, Nak. Masalah seperti ini sudah sering kuhadapi. Biar ku tunjukan padamu bagaimana cara menanganinya dengan cepat tapi sebelum itu, kau harus mencoba ini. Sudah tiga jam kau bekerja, kau butuh istirahat." Faith juga merasakan kepenatan yang sama, jadi ia tersenyum sembari meraih cangkir yang diberikan Gorgie dan meneguk isinya. Aroma jahe yang direbus menyeruak dalam indra penciumannya. "Bagaimana kau membuatnya? Rasanya menyenangkan." "Kubuat khusus untuk pengantin baru," goda Gorgie dan Faith tertawa. "Mari duduk sebentar sebelum kita melanjutkan lagi." Faith tidak menolak ketika Gorgie membimbingnya menuju dua kursi yang disediakan di depan taman hortikulturanya. Wanita itu meletakkan sepiring kue kering dan menawarkannya pada Faith. "Makanlah!" Faith menurut. Menilai dari masakannya Faith segera tahu bahwa Gorgie bukan hanya wanita yang andal dalam bidang hortikultura namun wanita itu juga piawai memainkan peranannya di dapur. Masakan Gorgie tidak pernah mengecewakan dan Faith berharap ia bisa belajar banyak dari wanita itu. "Apa kau selalu memasak di rumah? Semua makananmu menyenangkan." Gorgie tertawa. "Mungkin itu yang membuat suamiku mengeluh padaku karena tidak pernah memberinya kesempatan untuk makan di tempat lain." Faith segera tertarik. "Sudah berapa lama kalian menikah?" "Dua puluh lima tahun," jawab Gorgie, matanya menerawang ke depan dan senyumnya semakin lebar ketika wanita itu mulai bernostalgia. "Dulu sekali aku bertemu dengannya pada sebuah momen yang tak terlupakan." "Oh ya?" "Ya. Saat usiaku dua puluh tiga tahun, aku bekerja sebagai petugas transaksi tiket sebuah gedung pameran yang menampilkan beragam seni pertunjukan. Gedung itu dibuka setiap minggu dan pada suatu saat aku menemukan seorang pria dengan raut wajah masam sedang berdiri di antrean barisanku. Orang-orang memesan tiket dan begitu tiba gilirannya, dia tidak pernah berhenti menatapku. Saat pertama aku melihatnya aku berpikir bahwa dia adalah pria yang aneh karena saat aku bertanya berapa banyak tiket yang akan dia pesan, dia tidak menjawab dan hanya memandangiku saja. Tapi kemudian seorang pria lain datang untuk menyelanya dan mengumpat kasar pada pria yang masih memandangiku. Pria yang datang itu segera memesan tiket kemudian menarik temannya masuk ke dalam gedung. Saat itu aku tertawa, Nak. Aku tidak pernah menjumpai pria yang sikapnya lebih bodoh dari itu dan aku segera tahu bahwa pria yang menariknya adalah karibnya sendiri." Gorgie menatap Faith dan tersenyum ketika melihat bagaimana Faith memberi perhatian penuh padanya. Kemudian ia melanjutkan dengan tenang, "kemudian pada minggu berikutnya aku mendapati pria yang sama sedang mengantre di barisanku untuk memesan tiket. Aku merasa sangat risih ketika harus berhadapan kembali dengannya, Nak, tapi kali ini dia jauh berbeda dari saat pertama aku bertemu dengannya. Dia kelihatan lebih percaya diri dan dia menjawab ketika aku bertanya berapa tiket yang dia pesan. Pada minggu-minggu berikutnya, dia selalu datang dan berdiri pada barisan antrean yang sama. Sejujurnya dia bisa saja berdiri di barisan lain tapi saat itu aku tidak tahu apa yang membuatnya memutuskan untuk selalu berdiri di barisanku. Kami menjadi semakin akrab, Nak, dan aku semakin mengenalnya. Pernah sekali dia menyelipkan secarik kertas ketika menesan tiket dan aku segera memahami isyaratnya. Aku baru berani membacanya saat aku tiba di rumah. Aku tidak berhenti tersenyum ketika membaca tawaran yang dia ajukan untuk pergi berkencan. Awalnya aku ragu tapi pria ini membuatku penasaran, jadi aku mencoba menerimanya. Pada malam kencan pertama kami semuanya terasa canggung. Aku ingat betul ketika dia membawaku ke lantai dansa dan mengakui semuanya. Dia membuatku terkejut dengan semua pengakuannya, Nak. Dia tidak pernah menyukai pertunjukan seni, itulah mengapa raut wajahnya masam saat pertama kali aku melihatnya. Dia juga mengatakan bahwa dia segera jatuh cinta padaku sejak pertemuan pertama itu dan karena itu dia selalu datang setiap minggu untuk memesan tiket yang ia beli secara cuma-cuma, hanya agar ia dapat melihatku dalam satu kesempatan. Di malam kencan kedua kami, dia menciumku dan mengungkapkan hasratnya untuk memilikiku. Kami tidak lama menjalin hubungan dan dia segera menikahiku. Aku tidak pernah menyesal setelahnya karena dia adalah cinta sejatiku. Sampai saat ini aku kasih mencintainya dan dia juga begitu." Faith merasa terenyuh setelah mendengarnya. Menatap Gorgie membuat hatinya mencelos. Kebahagiaan wanita tampak jelas di depan matanya dan Faith merasa miris dengan nasib pernikahannya sendiri. Kebahagiaan seperti yang dimiliki Gorgie-lah yang ia impikan. Sejak dulu Faith selalu berharap ia bisa memiliki kebahagiaan seperti itu, menikah dengan pria yang dicintai dan mencintainya dan hidup dalam kebahagiaan yang nyata. Dan bukannya hidup dalam kebahagiaan absurd yang dibuat-buat. Faith memandang lurus ke arah Gorgie ketika wanita itu bicara sekali lagi. "Kau tahu, Nak? Aku sempat berpikir bahwa pernikahan kami akan menjadi pernikahan yang bahagia. Aku selalu mengimpikan seorang anak dan cucu ketika aku mulai tua. Tapi menjelang tahun pertama pernikahan kami, aku merasa putus asa begitu dokter memvonis kista dalam rahimku. Aku tidak akan pernah melahirkan seorang anak dan fakta itu menyakitiku," mata Gorgie berkaca ketika mengatakannya, wanita itu tampak berusaha mengendalikan kesedihannya dengan menghela nafas. Gorgie tersenyum lagi ketika Faith meletakkan satu tangannya di atas punggung tangan Gorgie untuk memberi penenangan. "Saat itu aku tahu bahwa pernikahan kami tidak akan jadi pernikahan yang sempurna tanpa seorang anak. Selama tiga tahun penuh, aku merasa sangat sedih dan kecewa. Telah berulang kali aku keluar masuk rumah sakit hanya karena kondisi kesehatanku dan depresi ringan yang kualami, tapi suamiku tidak pernah meninggalkan aku, Nak. Dia dengan setia menemaniku melewati masa-masa sulit itu. Pernah sekali aku memintanya untuk menceraikan aku dan mencari wanita yang mampu memberinya keturunan tapi kemudian dia marah besar dan aku segera tahu bahwa Tuhan memang menakdirkannya untuk hidup bersamaku. Sejak saat itu aku menemukan gairah hidupku lagi, Nak. Aku mulai menghidupkan bakat dan kecintaanku pada hortikultura, aku dan suamiku juga menyelingi waktu untuk mengunjungi panti anak dan saat-saat seperti itu saja sudah mampu membuat kebahagiaan kami sempurna. Sampai saat ini, dia masih bersamaku dan.. Oh Tuhan.. Aku sungguh mencintainya, Nak. Dia adalah segalanya." Faith berharap ia mampu merasakan hal yang sama, tapi fakta membuatnya meringis pilu. Ketika Gorgie menatap ke dalam matanya, Faith memaksakan sebuah senyuman. "Kau memiliki pernikahan yang sempurna," ujar Faith dan Gorgie mengangguk setuju. "Aku juga berharap kau memiliki kebahagiaan yang jauh lebih sempurna dari itu. Kulihat kalian pasangan yang serasi dan aku segera tahu bagaimana suamimu memberi perhatiannya padamu dari caranya menatapmu. Aku yakin dia akan melakukan hal apapun untukmu." "Menurutmu begitu?" Gorgie mengangguk, yakin. "Ya. Kalian hanya perlu melengkapi pernikahan ini dengan seorang atau dua orang bayi yang cantik dan tampan." Faith tertawa rendah. "Kau tentu sudah merencanakannya, kan?" Sayangnya belum, tapi Faith menolak untuk mengatakan itu. "Aku berharap semuanya akan jadi lebih sempurna dengan itu." "Benar," Gorgie menjadi semakin antusias ketika sekelibat pemikiran tentang bocah-bocah polos melintas dalam benaknya. "Oh, Nak, kau akan jadi seorang ibu dan suamimu akan jadi ayah yang luar biasa." "Aku harap begitu." "Tentu saja. Pernikahan kalian akan jadi sempurna." Gorgie terdengar meyakinkan, tapi Faith meragukan klise itu. Gagasan untuk melahirkan sosok bocah Landon membuatnya bergidik dan disatu waktu merasa sangat bahagia. Faith sudah menikah namun sampai sejauh itu ia tidak pernah memikirkan soal anak dan menjadi seorang ibu. Dalam benaknya, ia hanya sanggup membayangkan ketika seorang bocah berlari di taman dan Ian berusaha mengejar bocah itu, menangkapnya kemudian merangkulnya secara posesif. Bayangan ketika ia menghunjami wajah bocah itu yang penuh cokelat dengan kecupan membuat Faith tersenyum. Kemudian semua menjadi semakin gila saja.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD