Begitu sampai di halaman depan rumah, Ian dengan cepat memboyong Faith turun dan menyerukam nama 'Monica'. Hope membuka pintu depan pada seruan kedua. Ocehannya tertahan di tenggorokan ketika Ian masuk dengan Faith terkujur lemah di atas lengannya.
"Apa yang terjadi, Kit?"
Ian mengabaikan pertanyaan Hope, melewati wanita itu di ambang pintu dan bergegas menuju ruang pribadi Faith sambil berseru, "cepat bawakan air dingin dan kain bersih!"
Hope menutup pintu dengan cepat, tidak banyak bicara dan segera menuruti perintah Ian. Ia menyusul beberapa menit kemudian.
Ian membaringkan Faith di ranjang ketika Hope datang dengan sebaskom air dan kain bersih. "Letakkan di meja!" pinta Ian dan Hope segera menurutinya. Hope mendekat begitu Ian melepas jam tangan dan menggelung lengan kemejanya.
"Apa yang terjadi?" Hope mencoba untuk kali kedua.
"Jangan sekarang!" Ian mengambil kain bersih, merendamnya dalam air dan mulai membasuh luka Faith dengan meminta wanita itu untuk tidur menyamping. Ian tidak bicara sampai ia berhasil membasuh seluruh lukanya dan memasangkan perban ke bagian kepala yang terluka. Faith tidak pingsan, namun juga tidak sepenuhnya sadar, wanita itu terkujur lemas disana. Begitu Faith ingin bicara, Ian memberi isyarat yang segera di pahami Hope. Hope pergi dalam hitungan detik, meninggalkan Ian dan Faith disana.
"Ian.." ujar Faith, suaranya lebih rendah dari bisikan. Ian menerima tangan Faith ketika wanita itu menjulurkannya. Ia kemudian mengambil posisi duduk di tepian ranjang, tepat di samping Faith. Satu tangannya yang bebas berusaha menepis helai rambut yang menghalangi wajah Faith.
"Ian?"
"Aku disini, Querida."
Faith merasakan pandangannya mulai normal kembali. Ia memaksakan senyuman walau kepalanya berdenyut kencang. "Terima kasih."
Ian tidak menjawab, hanya diam dan menatapnya. Jemarinya saling bertaut dengan jemari Faith, sementara genggamannya yang terasa lembut mampu membuat Faith merasa lebih tenang.
"Bagaimana kau ada disana?"
Ian berusaha untuk mengabaikan pertanyaan itu. "Kau butuh istirahat untuk meredakan rasa sakitnya. Cobalah untuk tidur!"
"Setelah kau menjawab pertanyaanku."
"Itu tidak begitu penting."
"Aku harus mendengar jawabanmu," kata Faith, bersikeras dengan pendiriannya sebelum Ian menunjukkan reaksi dengan menghela nafas, tahu bahwa dirinya tidak bisa menolak Faith lebih jauh.
"Aku mengikutimu ketika Mike membawamu pergi."
Dahi Faith mengerut. "Kenapa kau melakukannya?"
Ian sendiri tidak punya jawabannya. "Aku hanya merasa perlu memastikan kau baik-baik saja."
"Sudah berapa lama kau melakukannya?"
Ian mengangkat kedua bahu.
"Dan itu berarti, kau juga mengikutiku saat aku hadir di opera, kan?"
Ian tidak bisa berbohong untuk yang satu itu. Ian mampu merasakan emosi Faith yang berkecamuk karena wanita itu menggenggamnya erat.
"Apa aku menyinggungmu?" tanya Ian kemudian.
Faith menggeleng, meringis dalam prosesnya.
"Hati-hati! Lukamu masih basah."
Faith kemudian tertawa kecil. "Aku berutang padamu."
"Lupakan soal itu, querida!"
Faith menghela nafas, berusaha mengatur nafasnya dan senang karena setelahnya, ia merasa lebih baik. "Aku rasa aku akan mulai tidur."
"Ya.. tidurlah! Itu yang kau butuhkan."
"Keberatan kalau kau menemaniku?"
Ian tertegun, menimbang sebelum mengangguk. "Aku akan menunggu sampai kau tidur."
"Terima kasih."
Ian berdiri untuk membantu Faith melepas blus dan sepatunya. Ia mengangkat selimut untuk menutupi tubuh Faith hingga atas d**a dan hanya terdiam disana sampai wanita itu terlelap. Mata Faith terpejam dan wajahnya tampak anggun di bawah cahaya rembulan. Ian mendekat, duduk dalam posisi berlurut dan mulai memerhatikan Faith. Ian tidak menghentikan dirinya untuk menyentuh wajah Faith dan ketika perasaan kalutnya mereda, ia mengecup kening Faith, disela itu, Ian membisikkan kalimat sederhana dalam bahasa Spanyol ke telinga Faith. Kalimat yang selalu ia tahan sampai sejauh ini. 'Te amo. No voy a dejar ir!' Ian membisikan kalimat itu dengan lembut sebelum melepas diri dan pergi keluar melalui pintu kamar.
Begitu sampai di ruang pribadinya, Ian segera menutup pintu rapat-rapat, bersandar pada tepiannya dan mulai memijat dahinya. Belum pernah Ian merasa begitu kalut seperti saat ini. Sebelumnya ia juga pernah mengalami perasaan yang membuatnya sangat tidak nyaman, perasaan yang dialaminya ketika ia gagal mempertahan pasiennya agar tetap hidup, namun perasaan yang dialaminya kali ini jauh dari itu. Melihat Faith tidur dengan luka di kepala nyaris memberinya dampratan keras.
Ian tidak bisa merasa lebih menyesal lagi. Seandainya ia datang lebih cepat, sendainya ia tidak mengizinkan Faith pergi bersama Mike, seandainya ia menemani Faith.. Wanita itu mungkin tidak akan mengalami masa sulitnya. Ian merasa tidak berguna dan penyesalan itu nyaris membunuhnya. Faith mungkin masih sanggup tersenyum, tapi jauh dilubuk hati Ian, ia mampu merasakan rasa sakit yang harus ditanggung Faith karena keteledorannya dengan membiarkan wanita itu pergi menghadapi bahaya seorang diri. Demikian, malam itu menjadi malam yang panjang bagi Ian.
***
Pada hari yang baru, Faith bangun lebih pagi dari biasanya. Kepalanya masih terasa berdenyut hingga nyaris membuatnya mati rasa. Otaknya hanya sanggup menyerap ingatan tentang kalimat sederhana 'Te amo. No voy a dejar ir!' kalimat itu terasa asing dengan aksen yang familier. Faith tidak tahu maksudnya dan rasa berdenyut yang semakin menjadi-jadi membuatnya bergegas untuk mencari pil pereda rasa sakit, di lemari. Begitu menemukan pil yang dicarinya, ia segera meneguk habis pil itu.
Setelah merasa lebih baik, Faith segera keluar dari ruang pribadinya, berharap ia bisa membangunkan Ian. Tapi niatnya segera terurung begitu menemukan Ian sedang duduk di atas kursi, berhadapan dengan laptopnya di atas meja. Jari-jari lelaki itu tampak lihai bergerak di atas keyboard. Faith merasa penasaran hingga ia putuskan untuk melangkah lebih dekat. Ketika tiba di belakang Ian, Faith membaca tiap paragraf ilmiah yang sedang diketik oleh Ian.
Ian merasakan kehadiran seseorang di belakangnya dan segera berbalik untuk mendapati Faith berdiri disana. Ketika Faith tersenyum dan menatapnya, Ian merasa kaku untuk bergerak, bahkan sulit baginya untuk bersikap seperti biasa. Ian menarik sebuah kursi dan memberi isyarat yang segera dipahami Faith. Hal itu terbukti ketika Faith mengambil posisi duduk di sampingnya.
Wajah Faith kelihatan pucat, namun Ian tidak menemukan kegelisahan sedikitpun disana. Faith masih tersenyum dan terlihat seolah tidak pernah terjadi apapun semalam. Mencoba mengabaikan senyuman Faith, Ian memerhatikan luka wanita itu, menyentuh perbannya dan menekankan jarinya secara perlahan.
“Apa rasanya sakit?”
Faith menggeleng. Dan Ian menarik kursinya lebih dekat pada wanita itu. Kedua tangannya tidak pernah berhenti bekerja untuk mengukur kadar luka di kepala Faith. Sesekali ia bergumam, “perbanmu harus diganti. Aku harus memastikan lukamu tidak parah.”
Untuk kali kedua, Faith hanya diam membisu ketika Ian pergi dan kembali dengan peralatan kedokterannya. Ian meminta Faith untuk bicara ketika wanita itu merasa sakit selagi ia meneteskan cairan alkohol dan memasang perban dan Faith segera mengangguk. Ketika Ian membuka perban dan meneteskan cairan alkoholnya, Faith merasa lebih baik. Cara Ian memperlakukannya dengan lembut mampu meredam rasa berdenyut pada lukanya. Tangan Ian terampil ketika pria itu menutup kembali lukanya dengan perban. Begitu Ian selesai dengan pekerjaannya, Faith baru menemukan kembali suaranya.
“Terima kasih. Aku sudah merasa lebih baik.”
Ian membenahi peralatannya sebelum kembali duduk di kursinya, tatapannya menyelidik ketika Faith tertunduk lesu. Sembari menangkup punggung tangan Faith, Ian mengangkat wajah wanita itu dan mulai membaca kesedihan yang terlukis jelas disana.
“Ada apa, Faith?”
“Kau seharusnya marah padaku.”
“Kenapa aku harus marah?”
“Aku mengecewakanmu. Aku benar benar bodoh. Seharusnya aku menolak begitu Mike membawaku ke dalam bar itu. Semuanya tidak akan jadi seperti ini. Kau tidak akan merassa terganggu dengan lukaku.” Faith menduga Ian akan bicara, tetapi lelaki itu hanya diam dan mendengarkannya. “Aku mungkin harus membayar mahal untuk semua ini. Kau sudah membantuku lebih dari yang bisa kulakukan untukmu.”
Dalam beberapa detik sempat terjadi keheningan yang mecekam. Tangan Ian terasa hangat ketika pria itu meletakkannya di atas bahu Faith. “Itu sudah tidak penting lagi sekarang.” Ian mengatakannya dengan sangat ringan hingga nyaris membuat Faith memercamainya dengan mudah.
“Apa yang mau kau lakukan sekarang?”
Melepas dirinya dari Faith, Ian berbalik pada paragraf tesisnya. “Aku akan menulis lagi.”
“Keberatan jika aku menghubungi Juan? Aku pikir aku sudah sangat merindukannya.”
Tatapan Ian terasa hangat ketika pria itu mengatakan, “ya tentu saja. Kau harus menghubungi mereka.”
Faith tersenyum kemudian tidak mengambil waktu lama untuk beranjak menghubungi Juan melalui telepon rumah. Faith menunggu nada sambung sambil sesekali menatap Ian di seberang. Lelaki itu masih tampak kaku dengan senyumnya yang dipaksakan dan sejenak rasa bersalah melintas dalam benak Faith. Seandainya saja semua itu tidak terjadi, mungkin Faith sedang tertawa bebas bersama Ian seperti pagi yang sudah-sudah. Sekarang Faith harus mendapati sikap Ian yang jauh lebih pendiam dari biasanya.
Segala pemikirannya teralih begitu suara familer yang selalu ia rindukan muncul dari seberang.
"Ah, Faith!"
Hati Faith terenyuh. Faith tidak pernah menyadari bahwa dirinya begitu merindukan Juan sampai sejauh itu hingga mendengar suaranya saja mampu meluluhkan perasaanya yang kalut. "Hai Daddy! Bagaimana kabarmu?"
"Seperti yang sudah-sudah. Jangan khawatirkan aku Faith!" ucapan Juan selalu berkesan meyakinkan, meski hal itu berbanding terbalik dengan kenyataan yang ada. Fakta selalu membuat Faith merasa pilu.
"Faith, apa kau baik-baik saja?"
Faith mengangkat wajahnya, merasakan air mata membasahi wajahnya dan berdeham untuk memastikan suaranya tidak bergetar. "Aku baik-baik saja. Aku selalu merindukanmu disini."
"Aku juga begitu, sayang. Apa Ian memperlakukanmu dengan buruk?"
Faith memandang Ian, tersenyum ketika melihat bagaimana fokusnya Ian terhadap paragraf ilmiahnya. "Ian pria yang baik."
"Aku tahu itu. Yang kutanyakan: apa kau bahagia bersamanya?"
Faith tidak tahu, tapi ia tidak berniat mengecewakan Juan. "Aku sangat bahagia."
"Suaramu tidak kedengaran begitu. Apa kau menangis?"
"Aku menangis karena bahagia, Dad!"
"Ya.. Tentu saja. Kau kan selalu melakukannya."
Faith tertawa rendah.
"Dengar! Bersikap baiklah di hadapan Ian, kau mungkin tidak akan mendapatkan yang seperti itu lagi."
"Kau benar. Kau juga harus berjanji untuk menjaga kesehatanmu."
"Aku baik-baik saja."
Ayahnya selalu bilang begitu, jadi Faith hanya mengangguk. "Aku akan menghubungimu di lain waktu." Sebelum mengakhiri percakapannya, ia membisikan sebuah kalimat. "Daddy?.. Tetaplah hidup!"
Juan tertawa keras sebelum mengatakan 'selalu' kemudian memutus sambungan teleponnya.
Tawa Juan berhasil mengembalikan senyum Faith. Entah bagaimana ayahnya selalu berhasil melakukanya lebih baik dari siapapun. Faith menadang Ian dari seberang dan memutuskan untuk tidak mengganggu pria itu. Ia beranjak untuk membasuh tubuhnya setelah itu ia berencana untuk memeriksa hasil panennya dua hari yang lalu.
Segala rasa sakit yang dialami Faith semakin mengikis begitu ia memeriksa kebun hortikultura kecilnya. Rasa puas karena bibit tanaman yang berhasil mampu mengusir segala perasaan buruknya. Faith sudah mengenakan baju berkebun yang dilengkapi dengan sarung tangan dan bot hijau miliknya. Ia menggelung rambutnya di belakang sebelum mulai memanen bibit berikutnya.
Kegiatan panen itu telah menguras keringat Faith, namun disatu waktu juga membuatnya lupa waktu. Faith mempelajari bibit barunya, membongkar semua tanaman kering dan mulai mendaur ulang. Kegiatan itu terus berlangsung hingga tiga jam menjelang.
Dalam kurun waktu yang sama, Ian telah menyelesaikan tesisnya. Setelah merenggangkan tubuhnya, ia segera beranjak menuju konter untuk secangkir kopi panas. Menyesap kopi tidak pernah terasa senikmat itu sebelumnya. Terutama ketika pandangan Ian berhenti pada jendela yang terbelalak di belakang rumah. Dari sana, ia bisa melihat Faith tengah berkebun.
Wajah Faith tampak berkeringat, namun wanita itu tidak kunjung menghentikan pekerjaannya. Ketika Ian semakin tertarik, ia berjalan mendekat ke tepian jendela dan diam-diam tersenyum memerhatikan bagaimana Faith berkerja. Faith tampak sangat serius dan gerakannya begitu anggun hingga nyaris membuat Ian membatu di tempat. Istrinya adalah manifestasi dari segala keindahan dan keanggunan di bumi. Meski perban menutupi bagian kepala Faith, wanita itu tampak sangat cantik dan memesona, bahkan dengan sarung tangan dan bot kumuhnya sekalipun.
Senyum Ian segera pudar ketika ia mendengar suara gemuruh mesin motor yang masuk melalui halaman depannya. Disaat yang bersamaan, Ian mengalihkan pandangannya ke sisi lain dan menemukan sosok Mike tengah berdiri dengan jaket hitam. Faith tampaknya juga berpaling, karena wanita itu segera menghentikan pekerjaannya.
Mike berjalan mendekati Faith sementara Faith hanya diam menunggu di tempatnya. Ian berniat keluar untuk menghalau pria itu, namun ia mengurung niatnya begitu Faith melepas sarung tangan dan memutuskan untuk menghampiri Mike. Jika Ian hadir di tengah-tengah mereka, mungkin Ian hanya akan mengacaukan segalanya, jadi Ian memilih untuk diam. Alih-alih ia mencengkram cangkirnya dengan kuat hingga buku-buku jarinya memutih. Dari tepian jendela, Ian sanggup melihat dan mendengar apa yang mereka katakan.
"Faith," Mike mendekat, meletakkan kedua tangannya pada lengan Faith dan mulai memerhatikan perban yang membungkus luka di kepala Faith. "Apa lukamu parah?"
"Tidak separah yang kau pikirkan. Ian sudah memberi penawarnya. Ini hanya luka ringan, aku akan segera sembuh."
"Ini kesalahanku."
Faith menggeleng, dengan cepat membantah. "Bukan kesalahanmu. Semuanya sudah terjadi, tidak ada yang perlu disesali."
"Kalau aku datang lebih cepat, Aaron mungkin tidak akan menyakitimu."
"Sudahlah Mike. Semuanya sudah selesai."
"Faith, izinkan aku merawatmu."
Buku-buku jari Ian semakin memutih, cengkramannya semakin kuat dan Ian sanggup merasakan darahnya mengalir deras.
Faith sepertinya tidak mengerti isyarat yang diberikan Mike. "Apa maksudmu?"
"Ikutlah bersamaku, Faith. Apa kau tidak merasa lelah dengan semua sandiwara konyol ini? Kau punya kesempatan untuk memilih. Aku tidak bisa selamanya seperti ini. Aku akan menikahimu dan kita akan hidup bersama. Kau dan aku bisa bahagia."
"Mike, apa yang kau bicarakan?"
"Aku bicara dengan sangat jelas, Faith. Aku memberimu penawaran. Kau bisa ikut aku kalau kau mau. Ini kesempatanmu."
"Aku masih tidak mengerti. Mengapa kau ingin.. Secepat itu?"
"Aku akan pergi ke Baltimore. Aku akan memulai kehidupan baruku dengan pekerjaan baru. Aku akan memulainya dari awal. Aku akan bekerja di kantor sebagai petugas keamanan lokal dan aku ingin kau ikut bersamaku. Ini tawaran menarik Faith, aku tidak bisa menolaknya, tapi aku juga berharap kau ikut bersamaku. Kita tidak punya kesempatan yang lebih baik lagi. Tinggalkan Ian, tinggalkan semua sandiwara gila ini dan ikutlah bersamaku! Aku akan menikahimu, aku bersumpah kita akan hidup bahagia."
Faith merasa sulit menemukan kata-kata yang tepat. Pandangannya tidak fokus dan otaknya berusaha keras agar tetap pada alur berpikirnya. "Mike, aku tidak bisa. Tidak secepat itu. Aku dan Ian harus menyelesaikan semua ini. Aku tidak bisa meninggakan semuanya begitu saja. Aku tidak bisa meninggalkan keluargaku, aku tidak bisa meninggalkan Ian. Aku tidak ingin mengecewakan orang-orang yang mencintaiku."
Raut wajah Mike tidak terbaca namun tatapannya menjarah Faith, seakan pria itu sedang berusaha mengendalikam emosinya. "Pikirkan ini Faith! Kau punya kesempatan untuk pergi dan mengambil kebahagiaanmu. Untuk sementara, lupakan soal pernikahanmu, lupakan soal sandiwara ini dan lupakan soal keluargamu! Cobalah untuk mengambil risiko. Kau tidak bisa selamanya hidup untuk orang lain, kau butuh kebahagiaanmu. Kau akan bahagia bersamaku. Dan jangan khawatir. Aku akan mengumpulkan uang, kita akan membeli rumah yang layak, kita bisa tinggal sebagai sepasang kekasih yang sederhana. Percayalah, kau akan bahagia bersamaku. Itu yang kau butuhkan."
"Mike kau tidak mengerti! Ayahku sakit berat.."
"Aku tahu!" suara Mike meninggi beberapa oktaf. Sikapnya mendapat perhatian penuh dari Faith. "Aku tahu, Faith. Tapi aku mencintaimu. Aku tidak bisa terus menerus membiarkan orang yang aku cintai terus berusaha membahagiakan orang lain sementara dirinya sendiri tidak bahagia.."
Bahkan Faith tidak benar-benar tahu apa yang membuatnya bahagia.
"Aku peduli padamu dan cobalah untuk pahami itu! Kesempatan ini mungkin hanya akan datang sekali dalam seumur hidupmu. Ikutlah bersamaku! Semuanya akan baik-baik saja. Percayalah Faith, jika orang-orang itu benar-benar mencintaimu, maka mereka tidak akan menghalangi pilihanmu. Kau berhak untuk hidup bahagia."
Rasanya memang terdengar menarik. Sejak dulu Faith selalu berharap ia dapat hidup bahagia. Mampu mengambil segala risiko tanpa mempertimbangkan kemungkinannya, tanpa merasa khawatir bahwa pilihannya akan menyinggung perasaan orang. Sejak dulu Faith selalu berharap ia bisa melakukan segalanya tanpa memedulikan orang lain, tapi seperti yang sudah-sudah, Faith tidak pernah bisa melakukannya tanpa merasa bersalah. Faith mungkin sanggup hidup dalam tekanan tapi Faith tidak sanggup menahan rasa sakit bila merasa bersalah terhadap orang yang dicintainya. Faith mencintai mereka dan karena itu Faith akan berusaha membuat mereka bahagia, tidak peduli bagaimana ia harus mengorbankan dirinya sendiri. Kebahagiaan Faith ada pada mereka.
"Maafkan aku Mike," Faith menggeleng, setiap kata yang terucap dibibirnya terasa berat. "Aku tidak bisa ikut bersamamu. Aku tidak bisa meninggalkan ayahku. Aku sangat mencintainya."
Mike mendengus frustrasi. Faith tampak lebih keras kepala dari yang sudah-sudah dan kekecewakan menjadi pengendali dari emosinya yang tiba-tiba meledak. "Jangan bodoh Faith! Pikirkan sekali lagi!"
"Aku sudah memikirkan segalanya, Mike!" ujar Faith, kali ini lebih terdengar tegas dan mantap. Matanya menatap lurus ke arah Mike. "Aku harus menyelesaikan semuanya dan tidak akan meninggalkan ayahku begitu saja."
"Kau sadar dengan apa yang kau katakan itu, Faith?"
Faith menunduk, enggan menatap Mike. "Aku sadar sepenuhnya."
Mike menghela nafas, mencoba mengendalikan emosinya sambil bertolak pinggang. "Yah, itu keputusanmu. Aku sudah menawarkan kesempatan dan kau menolaknya mentah-mentah. Aku memang sudah tidak begitu penting untukmu."
"Bukan itu Mike.."
"Sudah cukup!" sela Mike. Lelaki itu mengembuskan nafas panjang. "Aku akan pergi dan jangan halangi aku lagi. Sepertinya kau sudah memutuskan untuk mengakhiri segalanya disini."
Air mata Faith merebak dan ia mengangkat wajahnya, merasa tercengang ketika Mike mengatakan pernyataan barusan. "Apa?"
"Kau yang mengakhirinya Faith. Kau memilih hidupmu sendiri dan kau membiarkan aku pergi sendiri. Semua itu sudah sangat jelas."
"Semudah itu kau memutuskannya, Mike?"
"Bukan aku, tapi kau."
"Demi Tuhan, kau tidak memberi aku pilihan!"
"Pilihannya sudah sangat jelas Faith. Dan kau memilih untuk tetap tinggal."
"Aku sudah bilang padamu sejak awal bahwa aku harus mengambil risiko ini. Aku harus menikahi Ian agar ayahku tetap hidup. Itu satu-satunya harapan yang dia inginkan dan aku tidak bisa menolaknya. Aku akan mengakhiri pernikahan ini tapi semuanya butuh proses, kan? Tidak secepat itu."
"Pekerjaanku sudah tidak bisa menunggu lebih lama lagi Faith. Aku tidak bisa selamanya hidup dalam keadaan seperti ini. Aku tidak bisa tidur dengan tenang sedang kekasihku bersama pria lain di bawah satu atap yang sama."
Faith menyeka air matanya dan dengan cepat mengalihkan pandangan. Bibirnya sudah bergetar dan butuh usaha keras agar tangisnya tidak pecah.
"Sekarang aku memberimu kesempatan untuk memikirkan semuanya sekali lagi. Ikut bersamaku atau semuanya berakhir?"
Pikiran Faith berkecamuk dan tiba-tiba saja rasa berdenyut di kepalanya kembali melanda, membuat Faith semakin gentar akan situasinya. Mike masih menunggu jawabannya disana, tapi Faith tidak bisa menimbang dengan baik. Beberapa jam lalu Faith baru saja mendengar suara Juan dan hatinya merasa tenang. Atas dasar itu, Faith tidak ragu ketika menjawab, "aku akan tetap tinggal."
Mike menatap Faith, miris. Mengepalkan kedua tangannya ketika emosi di wajahnya kian berkecamuk. Tapi Mike tidak diam dan tetap tinggal sementara yang diinginkannya hanyalah melampiaskan amarah. Untuk itu, Mike segera mengangguk sebelum berbalik dan meninggalkan Faith dengan satu kata sederhana, "baik."
Faith sanggup memahami emosi yang dialami Mike, lelaki itu berusaha membuat dirinya tetap tenang. Bahkan dari suaranya, Mike terdengar sangat murka sekaligus kecewa pada Faith. Faith memerhatikan ketika Mike mengendarai kembali motornya, pergi dari halaman depan dan menghilang dengan cepat. Hanya butuh beberapa detik lagi sebelum tangis Faith pecah. Faith mengubur wajahnya pada kedua tangannya dan menangis sendu. Perasaan Faith tak keruan, pikirannya kalut dan sejauh itu Faith bertanya-tanya apa keputusannya untuk meninggalkan Mike adalah keputusan yang tepat?
Faith tidak sanggup memercayai faktanya. Mereka sudah bersama sejak tiga tahun dan Faith sudah berbagi kesenangan pada Mike selama itu. Tapi dengan mudah Mike mengakhirinya dengan membuatnya terpaksa memilih dua pilihan sulit. Faith membutuhkan Mike tapi Faith juga mencintai keluarganya, bagaimana Mike bisa berpikir keputusan untuk meninggalkan mereka adalah hal yang mudah? Ketika perasaannya semakin tak keruan, Faith merasakan isak tangisnya semakin dalam.
Ian berharap bisa mendekap Faith, memberikan Faith ketenangan dan membuat wanita itu percaya bahwa semuanya akan baik-baik saja. Tapi Ian mengutuki kehendaknya. Faith tidak menginginkannya. Faith menikahinya karena wanita itu harus memenuhi kemauan orang tuanya dan Faith bersungguh-sungguh soal rencana untuk berpisah. Fakta itu nyaris menampar Ian.
Ian tidak bisa datang ke hadapan Faith dan berusaha meredakan kesedihan wanita itu sementara dirinya sendiri merasa kacau. Fakta yang ada telah meluluhlantahkan perasaannya. Sekarang Ian merasa bodoh karena tidak sanggup melakukan sesuatu sementara Faith berdiri disana, sedang menangis dan merasa terluka. Ian membenci dirinya, benci pada fakta yang ada, membenci sandiwara mereka, tapi tidak ada yang dapat dilakukannya selain diam membatu di tepian jendela, berharap agar Faith mampu menenangkan dirinya sendiri. Betapa bodohnya Ian.