Makan malam itu pun sudah usai. Reindra dan Nela kembali pulang ke rumahnya. Pria itu juga semakin membuat Nela bahagia lantaran ia mengajak istrinya itu mampir ke sebuah pusat perbelanjaan dan membiarkan Nela membeli sebuah tas yang ia inginkan. Tidak mahal memang, hanya seharga tujuh ratus ribu saja, tapi itu sudah membuat Nela sangat bahagia.
“Mas, terima kasih atas malam yang indah ini,” lirih Nela seraya mendaratkan sebuah kecupan manis di pipi Reinda sebelum dirinya masuk ke dalam kamar menikmati tas barunya.
Reindra yang terlanjur jatuh hati dengan Ayunda, membiarkan istrinya begitu saja. Pria itu beranjak ke taman belakang, meraih ponselnya dan mencoba menghubungi sang pujaan hati.
Di tempat berbeda, Ayunda yang tengah mengajari Eril menyelesaikan tugas rumahnya. Ayunda memang harus berperan ganda saat ini, menjadi ibu rumah tangga sekaligus ayah untuk ke dua anak-anaknya. Biasanya Rudi’lah yang mengambil alih peran yang tengah dikerjakan Ayunda malam ini. Tapi sekarang, ia harus mengambil alih semuanya sendiri.
Ayunda tersentak ketika ia asyik mengajari Eril pelajaran matematika, ia mendengar suara ponsel dengan volume yang cukup lantang.
“Nabila, tolong ambillkan ponsel mama, Nak,” perintah Ayunda kepada putrinya.
“Iya, Ma,” jawab Nabila ramah. Gadis tujuh tahun itu langsung bangkit dan masuk ke dalam kamar ibunya, mengambil ponsel yang diletakkan oleh Ayunda di atas nakas.
“Ini, Ma.” Nabila memberikan ponsel itu kepada Ayunda.
“Lo, mama beli I Phone? Kapan mama beli I phone? Itu’kan ponsel mahal, Ma.” Eril terbelalak melihat ponsel baru ibunya. Ponsel dengan merk ternama dan keluaran terbaru yang harganya setara dengan sebuah sepeda motor baru.
“Bukan mama yang beli, Sayang ... Tapi om Rei yang memberikannya buat mama.”
“Om Rei? Kenapa om Rei kasih ponsel itu buat mama?” Sebagai bocah laki-laki yang sudah duduk di kelas empat SD, Eril memang cukup teliti dan melihat sesuatu. Ia bahkan memerhatikan raut muka ibunya dengan saksama.
Ayunda tampak berpikir sejenak, lalu menjawab, “Jadi dulu om Rei katanya punya hutang sama papa. Keluarga mereka dulunya pernah mengadakan kayak sayembara atau kuis keluarga begitulah dan pemenangnya ada papa kamu. Karena papa sudah meninggal, jadi hadiahnya dikasih ke mama.” Ayunda berusaha tersenyum dengan kebohongannya.
Namun dibalik kebohongan itu, sepasang netra cantik wanita berusia tiga puluh tahun itu, mulai berkaca-kaca. Selama ini ia tidak pernah berbohong kepada anak-anaknya. Selama ini Ayunda begitu menjunjung tinggi sebuah kejujuran. Sepahit apa pun kejujuran itu, namun tetap saja jauh lebih baik dari pada menyimpan kebohongan.
Kali ini sayangnya Ayunda tidak mampu untuk berkata jujur kepada ke dua buah hatinya. Ayah mereka baru dua bulan yang lalu meninggal dunia dan tidak mungkin Ayunda menceritakan semuanya kepada anak-anaknya. Apa lagi hal itu adalah sesitif dan urusan orang dewasa.
“Mama, mama nangis? Mama kangen papa ya?” tanya Eril seraya mengusap bulir bening yang menetes dari salah satu mata cantik Ayunda.
“Hhmm ... mama angkat telepon dulu sebentar ya. Eril lanjutkan dulu biki PR-nya. Mama nggak akan lama kok.” Ayunda tersenyum. Wanita itu bangkit dan berjalan sedikit menjauh dari ke dua anak-anaknya.
“Halo, Mas,” Ayunda pun akhirnya mengangkat panggilan suara itu.
“Selamat malam, Nda. Kamu sedang apa?” tanya Reindra sangat ramah.
“Aku sedang mengajari anak-anak mengerjakan tugas sekolah mereka,” jawab Ayunda.
“Ini’kan sudah sangat malam, Nda. Memangnya anak-anak belum tidur?”
“Sedikit lagi, Mas. setelah selesai, maka aku akan mengajak ke duanya untuk tidur.”
“Kamu kenapa, Nda? Kamu habis nangis? Suara kamu kok seperti tertahan begitu?”
Ayunda yang memang tidak mampu menahan bulir bening itu, seketika mengusap air matanya.
“Tidak, Mas. Tadi Eril melihat ponsel baru ini. Lalu ia mempertanyakannya. Aku terpaksa berbohong sama dia, makanya aku jadi merasa bersalah begini.”
“Memangnya apa yang sudah kamu katakan pada Eril?”
“Aku katakan kalau mendiang papanya pernah memenangkan sayembara atau kuis keluarga begitu. Hadiahnya ya ponsel mahal ini. Tapi karena papa sudah meninggal, jadi hadiahnya diberikan kepada mama, begitu.”
“Kamu ingat sama Rudi ya? Kamu merindukan Rudi?” Seketika warna suara dan intonasi Reindra berubah ketika mengatakan hal itu.
“Wajar kalau aku ingat dan kangen sama mas Rudi, Mas. beliau adalah suamiku dan kami selama ini baik-baik saja. Beliau juga sangat baik dan bertanggung jawab pada keluarga. Kehilangan mas Rudi seakan kehilangan separuh napasku.”
Reindra semakin tidak nyaman mendengar pernyataan Ayunda. Walau Reindra sadar bahwa tidak akan mudah bai Ayunda melupakan suaminya, apa lagi ini masih dua bulan. Tapi tetap saja Rudi merasa cemburu.
“Ya sudah, maaf kalau mas menganggu waktu kamu malam-malam begini. Sebaiknya kamu cepat bantu selesaikan tugasnya anak-anak dan jangan sampai kalian semua tidur kemalaman. Kasihan anak-anak, besok harus sekolah’kan?”
“Iya, Mas.” Pandangan mata Ayunda kembali menatap ke dua buah hatinya.
“Mas tutup dulu ya ... Selamat malam.”
“Malam, Mas.”
Panggilan suara itu pun akhirnya terputus. Ayunda kembali melangkah mendekati Eril dan Nabila, lalu melanjutkan kegiatannya mengajari anak-anaknya itu hingga tugas sekolah ke dua pun selesai.
“Nah, semua sudah selesai. Sekarang saatnya Eril dan Nabila masuk ke kamar masing-masing ya ... Ini sudah sangat malam, sudah waktunya tidur.”
Eril dan Nabila mengangguk. Mereka berdua pun seketika mengemasi peralatan sekolah mereka dan langsung menuju kamar masing-masing. Ayunda memeriksa kamar masing-masing dan memastikan lampu utama mati dan yang menyala lampu tidur saja.
Ayunda memberikan kecupan sayang di ke dua pipi putra dan putrinya seraya mengucap selamat malam.
Setelah memastikan ke dua anaknya aman, Ayunda pun memastikan jika semua pintu dan jendela rumahnya sudah terkunci rapat. Wanita itu pun berlalu menuju kamarnya setelah mematikan semua lampu utama dan hanya menyisakan lampu malam saja.
Ayunda masuk ke dalam kamarnya, menutup pintu itu tanpa menguncinya agar jika Eril dan Nabila butuh sesuatu, mereka bisa langsung masuk begitu saja.
Ayunda mendudukkan bokongnya di atas ranjang, menatap sebuah foto manis yang masih terpajang di atas nakas. Dua buah foto ada di sana. Satu foto berisi dirinya dengan keluarga yang lengap. Ada mendiang Rudi, Eril dan Nabila juga. Sementara foto yang satunya hanya ada dirinya berdua dengan Rudi di sana. Foto manis ketika ia hamil anak pertama.
Sementara di bagian atas dinding ranjang Ayunda, terdapat sebuah foto berukuran cukup besar. Itu adalah foto pernikahannya dengan mendiang Rudi sepuluh tahun yang lalu. Ketika itu ia masih sangat muda, baru berusia dua puluh tahun dan tengah menempuh pendidikan ekonomi di salah satu perguruan tinggi negeri di Jakarta.
Sama seperti kebanyakan warga kampung lainnya, Ayunda sekolah hanya mengandalkan beasiswa hingga ia kenal dengan Rudi dan meminta wanita itu menjadi istrinya dan berjanji akan menanggung semua kebutuhan kuliah dan sehari-hari Ayunda.
Kala itu Ayunda tidak menolak karena ia juga sangat mencintai Rudi. Tapi ia harus siap dengan pertentangan keluarga Rudi yang sampai saat ini masih tidak terlalu menyukainya. Mereka punya calon sendiri untuk Rudi. Gadis yang sepadan dengan kehidupan mereka. Bukan gadis kampung yang bisanya menyusahkan putra mereka saja.
Bulir bening itu kembali mengalir. Tangan Ayunda bergetar ketika memegang foto penuh senyuman antara dirinya dan mendiang suaminya. Ia memang bahagia hidup bersama Rudi, tapi perlakuan keluarga Rudi sering membuat Ayunda kecewa dan menangis. Wanita itu seakan tidak dianggap keluarga hingga saat ini.
Mas, kenapa kamu meninggalkan aku secepat ini? Aku belum siap, Mas. Aku belum siap dengan semua ini. Salahmu karena kamu terlalu memanjakan aku selama sepuluh tahun ini hingga aku bingung harus apa. Bahkan kamu tidak memberiku izin untuk bekerja ketika aku menyelesaikan kuliahku dulu.
Mas, kembalilah ... kembalilah ke sini, Mas. Aku butuh kamu, anak-anak kita juga butuh kamu. Aku tidak sanggup, Mas ...
Tangis Ayunda pun pecah seraya memeluk foto itu. ia terisak dengan kondisi d**a yang sesak. Ayunda ditinggalkan dalam kondisi belum siap dan itu yang membuatnya semakin dilema.