Di Usir Dari Rumah Sendiri?

1633 Words
Ayunda sudah bersiap mengantar ke dua anak-anaknya ke sekolah. Ia ujuga sudah rapi dengan celana panjang blus lengan panjang yang sangat sopan. Rambutnya, ia biarkan tergerai begitu saja. Walau usianya kini sudah tiga puluh tahun, tapi Ayunda masih terlihat sangat cantik dan segar. Itu’lah yang membuat mendiang Rudi sangat mencintainya. Wajah dan tubuh Ayunda memang sudah cantik dari lahir tanpa ada perawatan ekstra yang memakan banyak biaya. Baru saja Ayunda hendak masuk ke dalam mobil setelah melepas ke dua buah hatinya ke dalam sekolah, tiba-tiba tangan Ayunda di pegang oleh seseorang. Ayunda segera menyentak tangannya ketika tahu siapa yang sudah memegangi tangannya itu. “Mas Rei ...,” lirih Ayunda seraya membuang muka. “Kenapa kamu tidak mengangkat ponselku tadi pagi?” tanya Reindra. “Maaf, Mas. Aku sibuk menyiapkan anak-anak tadi pagi.” “Lalu kenapa kamu tidak mau menatapku, Ayunda?” “Mas, aku mohon sebaiknya mulai sekarang kamu jauhi aku. Aku tidak ingin mendapat masalah nantinya. Tidak dengan keluarga mas Rudi apa lagi dengan mbak Nela dan keluarganya.” “Ayunda, ini tidak ada hubungannya dengan keluarga Rudi.” “Mas ... Aku mohon dengan sangat. Aku tidak ingin nanti dicap sebagai pelakor. Selama ini aku sudah terlalu buruk di mata keluarga mas Rudi. Bahkan sampai sekarang pun mereka masih tidak menganggapku, Eril dan Nabila. Apa kata mereka nanti kalau aku sampai ... Ah, sudahlah.” Ayunda berusaha masuk ke dalam mobilnya, tapi Reindra kembali memegangi tangannya dengan sangat erat. “Mas, tolong lepaskan aku. Jangan sampai nanti ada wali murid yang melihat dan salah paham dengan semua ini.” Reindra langsung melepaskan tangannya dari lengan Ayunda. Ayunda langsung masuk ke dalam mobil dan menutup pintu mobil itu dengan cepat. Wanita itu segera melajukan mobilnya menuju ke diamannya. Reindra hanya bisa menarik napas panjang. Ia tidak bisa berbuat apa-apa selain bersabar. Lagi pula Ayunda masih dalam masa iddah. Masih ada satu bulan lagi baru Ayunda bisa membuka hati untuk pria lain walau itu akan sulit baginya. Dua puluh lima menit berlalu, Ayunda pun sampai kembali di halaman rumahnya. Wanita itu keluar dari mobil dan masuk ke dalam rumah. Hari ini ia ingin mencoba lagi sebuah menu baru yang ia dapatkan di Youtube. Karena belum ada satu surat lamaran pun yang memberikan kabar baik, Ayunda berniat ingin mencoba berjualan makanan dengan mobilnya. Uang yang diberikan Reindra, cukup untuk modal membeli bahan masakan. Wanita itu pun mulai sibuk di dapur, mengolah aneka bahan menjadi makanan modern yang unik dan lezat. Setelah dua jam bercinta dengan peralatan dapurnya, Ayunda pun menatap beberapa cup cake pisang dan salad buah yang baru saja ia buat. Ia ingin membagikan ke beberapa tetangga sembari mepromosikan usaha barunya. Ayunda juga sudah mengambil beberapa buah gambar dari ponsel barunya yang akan ia bagikan nanti di sosial media miliknya. Masyaa Allah, ternyata makanan ini sangat lezat dan cantik. Hasil fotonya juga sangat bening. Kamera ponsel ini memang sangat luar biasa. Ya Allah, semoga saja daganganku laris. Aku tidak ingin bergantung kepada siapa pun apa lagi mas Reindra yang notabene adalah suami orang. Tidak, aku tidak ingin nantinya di cap sebagai pelakor. Ayunda membatin. Dengan langkah kaki yang begitu meyakinkan, Ayunda pun memasukkan cup demi cup itu ke dalam sebuah box. Ia pun keluar dari rumah dan mulai berkeliling komplek membagikan gratis contoh dagangannya. “Selamat pagi, ibu-ibu ...,” sapa Ayunda ramah ketika melihat segerombolan ibu-ibu tengah berbelanja di tukang sayur keliling. “Ayunda ... tumben keluar bawa box. Itu isinya apa?” tanya salah seorang ibu-ibu. “Ini, kebetulan rencananya aku mau jualan. Jadi tadi habis masak cake pisang sama salad buah. Ini rencana mau aku bagikan gratis dulu sebagai contoh buat ibu-ibu komplek. Mana tahu cocok sama seleranya ibu-ibu dan nanti bisa pesan sama saya.” Ayunda tersenyum ramah lalu mulai membagikan cup demi cup kecil contoh makanannya. “Ini beneran gratis?” tanya salah seroang ibu lagi. “Kali ini gratis, tapi nanti kalau ibu-ibu mau lagi, bisa pesan sama saya. Harganya nggak mahal kok. Kalau nanti ibu-ibu butuh dalam jumlah yang banyak untk acara arisa atau pertemuan keluarga, saya juga bisa menyiapkannya.” “Kita coba ya ....” Mereka pun mulai menyantap makanan itu di sana. Beberapa ada yang memuji tapi ada dua orang ibu-ibu julid yang malah mencaci makanan Ayunda. Bahkan menghancurkan mental dan semangat ibu dua anak itu. “Jadi kamu mau jual makanan ini? Kamu yakin bakalan laris? Rasanya sangat standar. Dengan harga yang kamu tawarkan itu, aku yakin tidak akan ada yang mau makanan ini,” komentar salah satunya. “Ini enak kok, enak banget malah. Kalau menurut aku, justru harga yang ditawarkan Ayunda itu sudah pas. Nggak apa-apa kok, Ayunda. Kamu lanjut saja usahanya. Nanti kalau aku butuh, aku pasti akan kabari kamu. Dari yang kecil dulu, semoga nanti lama-alam kamu bisa buka catering yang besar demi Eril dan Nabila,” ucap yang lainnya menyemangati. “Apanya yang enak bu Rosma ... Tapi ya sudahlah, aku hanya menyarankan saja lo. Kalau aku pribadi sih enggan mau beli dengan harga yang kamu tawarkan tadi. Mending bikin sendiri.” Ayunda hanya terdiam. Sebagai wanita yang kini merangkap sebagai ibu dan ayah dan juga selama ini begitu dimanja oleh sang suami, mental Ayunda seketika melemah. Dari enam ibu-ibu yang ada di sana, empat orang menyemangatinya dan dua lainnya malah menjatuhkan mentalnya. Tapi kata-kata pedas yang keluar dari bibir ke dua ibu-ibu kejam itu, malah membuat Ayunda down dan hancur. Ayunda langsung meninggalkan gerombolan itu menuju rumahnya. Masih ada tersisa beberapa cup lagi tapi Ayunda sudah enggan melanjutkan keinginannya untuk membagikan gratis kepada tetangga. Ayunda hanya bisa terhenyak di atas sfa menatap box yang masih berisi beberapa cup salad buah dan beberapa potong cake pisang yang sudah ia siapkan sebelumnya. *** Sore pun menjelang. Waktu sudah menunjukan pukul empat. Eril dan Nabila sudah kembali ke rumah mereka semenjak setengah jam yang lalu. Hari ini anak-anak itu tidak ada jadwal mengaji karena setiap Jum’at, masjid tempat Eril dan Nabila mengaji memang meliburkan semua anak didiknya. “Mama, mama jadi mau jualan salad buah?” tanya Eril ketika baru membuka lemari pendingin. Anak pertama Ayunda itu melihat ada bebeapa cup salad buah di salam sana. “Entahlah, Nak. Tadi waktu mama membagikannya gratis, ada ibu-ibu yang menghina. Katanya nggak enak, nggak cocok sama harga jual. Kalau ama jual dengan harga di bawah itu, bukannya untuk malah buntung nanti jadinya.” “Eril coba satu ya ....” Ayunda tersenyum menatap putranya, “Iya, Sayang ... Ambil’lah berapa pu yang Eril mau.” “Makasih, Ma.” Eril tersenyum. Namun baru saja bocah lelaki itu mengambil satu cup dan membawanya ke meja makan, Ia dan sang ibu mendengar suara seseorang di depan pintu. “Ayunda, di mana kamu!” ucap suara itu dengan nada ketus tanpa salam sama sekali. Ayunda yang mengenali suara itu langsung keluar dari rumah. Ternyata di teras rumahnya sudah berdiri Sifa dan ibu mertuanya—adik dan ibu dari mendiang Rudi. “Kami datang ke sini bukan untuk bertamu, tapi ingin mengusir kamu dan anak-anakmu dari rumah ini,” jawab Sifa ketus. Sikapnya sangat sombong dan pongah. “Mengusir kami? Apa hak kamu dan mama mengusir kami dari rumah kami sendiri?” Ayunda masih bersikap lembut. “Rumah kami, cuih! Jangan mimpi kamu Ayunda. Ini adalah rumah Rudi. Rumah kakakku, rumah putra dari mamaku. Mama berhak sepenuhnya atas rumah ini. Kamu hanya numpang di sini.” “Maaf, Sifa. Rumah ini di beli ketika aku dan mas Rudi sudah menikah. Mas Rudi membeli rumah ini untukku dan anak-anakku. Atas dasar apa kamu mengatakan kalau kami tidak berhak di sini?” “Sekarang aku tanya, berapa rupiah uang kamu masuk untuk membeli rumah ini, ha? Tidak ada’kan? Jadi rumah ini sepenuhnya adalah hak ibunya dan keluarganya. Aku dan mama sudah sepakat akan menjual rumah ini dan mobilnya mas Rudi. Jadi aku harap kalian semua segera angkat kaki dari sini.” Nabila yang tadinya tertidur di ruang keluarga, seketika terbangun mendengar keributan di depan rumahnya. Ia dan Eril berjalan perlahan ke mendekati ibu mereka. “Sifa, mama ... Apa kalian tidak punya hati, ha? Kalian boleh membenciku. Kalian boleh tidak menganggapku selama ini. Tapi Eril dan Nabila adalah darah daging mas Rudi, cucu kandung mama. Mereka berdua anak yatim. Kalaupun kalian tidak bisa mencintai mereka sebagai darah daging, tolong cintai mereka sebagai seorang muslim karena mereka berdua ini sudah yatim.” Ayunda tidak mampu mengendalikan luapan air matanya. “Jangan kau jual air matamu pada kami, Ayunda. Dari dulu sudah aku katakan kalau aku tidak suka dengan pernikahan kalian. Sekarang aku sudah memutuskan akan menjual rumah ini, jadi aku harap kalian segera angkat kaki dari sini dalam waktu tiga kali dua puluh empat jam.” “KALIAN YANG HARUS PERGI DARI SINI!! INI RUMAH KAMI, INI RUMAH MAMA DAN PAPA SAYA!! PERGI KALIAN DARI SINI!!” Eril begitu emosi. Ia berteriak dengan sangat keras seraya mendorong pelan tubuh nenek dan bibinya. “Oh, jadi begini didikan kamu terhadap anak, Ayunda? Anak sekecil Eril sudah bisa mengusir orang tua?” “KALIAN YANG SUDAH JAHAT SAMA MAMA SAYA!!” “Eril ... sabar, Nak. Bagaimanapun juga dia itu oma kamu. Masuk ke dalam, bawa adik kamu juga. Biar mama yang selesaikan semua ini ya ....” Ayunda berusaha menenangkan putranya. “Tapi, Ma. Mereka sudah menyakiti mama lagi.” “Sstt ... ini urusan orang dewasa, Sayang ... masuklah ke dalam dan tutup pintunya. Mama akan selesaikan masalah ini, oke!” Eril yang penuh dengan emosi, mengukuti perintah ibunya. Ia menarik tangan Nabila masuk ke dalam rumah dan menutup pintu itu dari dalam. Ayunda yang netranya sudah berkaca-kaca, berusaha menahan diri agar tidak menangis dan tampak lemah di depan ipar dan ibu mertuanya. Ia berusaha mengendalikan diri lalu mengarahkan wajahnya ke arah ke dua manusia serakah yang selama ini tidak pernah peduli dengan dirinya dan anak-anaknya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD