Sepertinya hari ini bukan hari yang baik bagi Ayu. Ketika pulang dari pasar ikan, Nayra dan Mbok Min bergosip mengenai duda Said.
"O, pantes pas nikahan Farid dia datang sendirian. Ternyata udah pisah lagi ... duh Mas Guntur pasti kaget lo. Soalnya kita sempat mengira istrinya sedang pergi ke mana waktu itu. Kok bisa cerai ya, Mbok?"
"Halah, Nay. Namanya juga berumah tangga pasti ada masalah. Kayak aku yo cerai karena mantanku selingkuh."
"Lah kalo Pak Said?"
"Yang pertama katanya dia main belakang sama ciwi-ciwi. Yang kedua penyebabnya tidak diketahui secara jelas."
Nayra terkekeh mendengar cara Mbok Min berceloteh. "Mungkin dia main-main lagi kali, Mbok. Nggak kapok," katanya di sela tawanya.
"Ya ... nggak tau juga sih," tanggap Mbok Min sambil melirik ke Ayu yang wajahnya cemberut mendengar ocehan mereka. "Namanya masih muda. Kata Rasti sih dijodohin gitu."
"Masih muda? Berapaan si umurnya? Kok sekilas udah tiga puluhan deh,"
"Belum Nay. Masih jauh. 24 lo kata Rasti,"
Nayra menggeleng tak percaya. Terbayang di benaknya sosok Said ketika menghampiri keluarganya saat hendak pergi ke acara pernikahan Farid. Penampilan Said sangat kebapakan sekali.
"Nggak percaya," decak Nayra.
"Maklum, Nay. Banyak mikir sama banyak masalah, jadi keliatan tuir. Dan nggak punya anak lo,"
Sementara Ayu tampak tidak senang dengan keadaannya. Sesekali dia melirik tajam ke arah Mbok Min yang semangat bergosip tentang Said. Lirikan tajam Ayu malah dibalas senyum usil Mbok Min.
Gosip ini pun berlanjut hingga ke telinga Guntur. Nayra dengan semangat menceritakan perihal gagalnya pernikahan Said untuk kedua kalinya.
"Wah. Berarti kemampuan diplomasi Said perlu dipertanyakan ini. Kok bisa cerai dua kali ya?" gumam Guntur iseng. Dia menggeleng tersenyum.
"Beda kali, Yang. Cara diplomasi dengan pimpinan dari berbagai negara, dibandingkan diplomasi dengan perempuan. Kamu juga pernah gagal," tanggap Nayra.
Guntur terkesiap mendengar tanggapan Nayra, dicubitnya dagu Nayra.
"Ya, aku kan bukan diplomat, Sayang," ujarnya gemas.
Nayra tak sanggup menahan tawanya.
***
Said tidak mampu menahan perasaan bahagianya mendengar cerita mamanya yang bertemu dengan keluarga tetangga depan rumahnya di pasar ikan di awal pagi. Terutama ketika membahas kecantikan Ayu. Rema berulang-ulang memuji kecantikan dan kesopanan Ayu saat menyalaminya. Berulang-ulang pula dia menyuruh Said untuk berkenalan. Bahkan Rema menyarankan Said agar bersedia menunggu hingga usia Ayu cukup untuk dipinang dan dinikahi. Rema begitu semangat mendukung anaknya.
"Udah, Said. Sama Ayu saja. Yang anak temanmu itu dibatalkan saja. Belum tentu cantik kayak anak tetangga depan. Yang ini sopan, kemayu, tinggi, rambutnya baguuuus banget. Pendiam dan nggak bakalan umbar-umbar aib kayak mantan-mantanmu dulu."
Said hanya mengulum senyum membiarkan mamanya dengan semangat menceritakan tentang Ayu.
"Lho, Ma? Kok kayaknya Mama malah senang aku bercerai."
"Yah. Kenyataannya begitu. Kamu juga kayaknya nggak senang sama pernikahan kamu. Mama sadar, kadang perjodohan juga tidak baik. Apalagi kalo nggak cocok."
Rema mulai meredakan nada semangatnya.
"Kok jadi ingat Gema. Anaknya ini pembawaannya mirip-mirip Gema lo, Id. Pendiam. Tapi yang ini lebih penurut, nggak keras kayak Gema. Beda lho," Rema mulai memuji-muji Ayu dengan semangat.
"Gimana?" tanyanya lagi.
"Tapi kan Baba maunya satu rumpun," pancing Said.
"Yah. Kamu kayaknya nggak beruntung sama-sama Arab. Kali ini kalo sama anak tetangga depan nggak papalah."
Said menggeleng tersenyum menghadapi celoteh mamanya kali ini.
"Yah. Gimana baiknya," tanggap Said santai.
"Kalo kamu malu, biar Mama yang maju,"
Said tertawa.
"Aduh, Ma. Pelan-pelan saja,"
"Ha? Harus cepat lo, Id. Ntar diambil orang. Gimana? Yang anak temanmu itu dicancel aja ya? Yang ini apik lo,"
"Iya. Iya, Ma,"
Said masih berusaha menutupi identitas perempuan yang pernah dia sebut sebelumnya ke Rema. Seandainya mamanya tahu bahwa gadis yang dia maksud adalah Ayu, lalu seandainya mamanya tahu bahwa Ayu sukar didekati dan terkesan tidak menyukainya, Said tidak ingin mamanya kecewa. Akan tetapi dia senang, Rema memberinya kesempatan besar kali ini.
***
Said duduk termenung merokok sambil mengamati rumah depan yang kelihatan sepi malam ini.
Diraihnya ponsel yang ada di atas meja di hadapannya.
Tak lama kemudian, Rasti muncul di dekatnya dengan tergopoh-gopoh.
"Ada apa, Pak? Panggil saya?"
"Kok sepi di depan, Rasti?"
"Oh. Pak Guntur sekeluarga sedang makan malam di rumah orang tuanya Nayra, di bawah."
Said berdehem sebentar.
"Kamu nggak bilang soal Ayu ke Ibu kan?" tanyanya.
"Nggak, Pak. Saya takut salah ngomong. Cuma saya mendukung saja apa yang ibu bilang tentang Ayu. Kalo masalah Bapak suka sama Ayu ya saya ndak bilang,"
Said menghela napas pendek.
"Bagus. Kamu sebaiknya nggak usah ngomong masalah perasaan saya sama Ayu ke ibu."
"Baik, Pak."
Rasti kemudian berlalu begitu mengetahui perhatian Said sudah tertuju ke ponselnya. Said tampak mengetik sesuatu.
***
Yang menjadi pikiran Said selanjutnya kini adalah apakah mamanya mau menerima keadaan Ayu yang berasal dari keluarga yang tidak utuh. Mamanya hanya melihat penampilan Ayu saja, dan belum mengetahui latar belakang keluarga Ayu yang sebenarnya. Said khawatir, mamanya berubah pikiran. Tapi lagi-lagi Said kembali semangat mendekati Ayu, mengingat reaksi mamanya yang benar-benar semangat menceritakan tentang pertemuannya dengan Ayu di pasar ikan di awal pagi tadi. Semoga ini permulaan yang baik bagi Said yang bertekad mendekati Ayu.
Said meraih ponselnya yang satu lagi, berharap kali ini mendapat jawaban dari Ayu.
Adek Ayu. Kok rumah adek sepi malam ini? Abang rindu.
***
Wak Tima berdecak kagum melihat kekompakan keluarga Bu Ola yang sedang mempersiapkan makan malam. Tata dengan cekatan membantu mengolah bumbu yang diarahkan Wak Tima, sementara Farid membantu membuatkan minuman segar.
Bu Ola memang sengaja mengundang Wak Tima membantunya mengolah seafood yang diantar Pak Johan siang tadi ke rumahnya. Wak Tima memang dikenal ahli masak seafood di seputar rumah Bu Ola.
Dan Wak Tima tampak memperhatikan Tata dengan seksama.
"Hm, hebat mantu lu, La. Rajin. Lu anak mana, Re?" tanya Wak Tima dengan logat dan gaya khasnya.
"Anak orang, Wak," balas Tata cuek.
"Laaa, main-main lu sama gua?"
"Sejak kapan Wak bisa serius?"
Wak Tima tertawa sinis mendengar balasan jitu dari Tata.
Tampak mata Wak Tima tertuju ke kuduk Tata yang dihiasi tato. Dia manggut-manggut.
"Gape nih bocah. Lu bukannya beduit."
"Orang tua gue yang beduit, Wak. Bukan gue,"
"Ooh. Kasian lu,"
Tata dan Farid saling pandang.
Sebelumnya Farid sudah menjelaskan ke Tata tentang Wak Tima yang suka berseloroh. Mulutnya memang tajam, tapi hatinya sangat baik. Dan Tata memakluminya.
"Gua pan datang ke gedung pas lu nikah. Kok banyak orang bule yak,"
"Yaiyalah, Wak. Teman ortu semua itu,"
"Oh. Iya ya. Ortu lu bule. Lu kok setengah bule setengah kagak, ngomong udah kayak anak jalanan lu,"
"Emang, Wak. Kan gue suka jalan naik rotom … udah rata nih Jakarta gue jabanin,"
Wak Tima terkekeh mendengar celoteh Tata. Dia juga mengagumi cara Tata yang blak-blakan jika diajak bicara, tapi tetap rajin mengerjakan sesuatu.
"Wah. Gua demen nih bocah. Nggak ada rem kalo ngomong. Eh, usaha orang tua lu apaan? Bisa tajir gitu ya? Gua liat yang datang di pesta lu mobilnya keren-keren. Pakaiannya juga waaah, pasti ortu lu habis puluhan milyar buat pesta segitu,"
Tata tersenyum mendengar kata-kata Wak Tima.
"Jual baju, Wak," jawabnya pendek.
"Jual baju? Masa sih? Bisa sekaya itu?"
"Jadi Wak mau gue jawab apa? Jual orang?"
"Ya kali jual berlian. Jual baju mah kagak ada duitnya, kayak gua aja jual baju, segitu-gitu aja duit gua,"
Farid yang sedang melap mangkok-mangkok kecil untuk minuman tertawa mendengar ocehan antara Tata dan Wak Tima yang saling sahut menyahut.
"Beda, Wak. Ini jual baju level internasional. Lah, Wak jual baju antar RT aja nggak nyampe, cuma sama tetangga doang, ya duitnya segitu-gitu aja lah," timpal Farid nekad.
"Bisa ae bela bini lu, Rid. Mentang bini lu kokay," balas Wak Tima disertai tawa pecah Farid, Tata, dan Bu Ola.
Bersambung