Bab 8

2061 Words
Arman duduk di atas sofa, matanya liar bergerak mencermati foto-foto yang terpajang rapi, deretan terkecil hingga terbesar mempamerkan sebuah keluarga yang begitu sempurna, jika dilihat. Arman tertawa kecil. Dia yakin, gadis kecil yang sangat menggemaskan di foto itu pasti Raina, gadis cantik kira-kira berusia lima tahun itu tersenyum di atas gendongan sang ayah dan sang ibu menggenggam tangan mungil anak lelaki yang umurnya tidak jauh di atas dari Raina. tapi siapa dia, setau Arman Raina tidak pernah bercerita memiliki seorang saudara. Arman bersandar di sofa, melirik meja kecil di sampingnya. Dia lantas mengambil figura berukuran kecil itu, disana kembali lagi tercetak wajah Raina; kecil berada di atas sepeda mini bersama anak laki-laki yang sama. "Arman.." Raina datang membawa segelas air putih dingin, sesuai permintaan Arman. Raina duduk disebelah Arman. Menyodorkan gelas. Lelaki itu tersenyum manis, kini gelas itu sudah berpindah tangan ke Arman. "Makasih, pacar" "Ia.. Sama-sama pacar" Arman meneguk air dingin itu, berhasil menyiram tenggorokannya yang terasa kering, gelas yang awalnya penuh, kini tersisa setengah. Air itu telah menolong Arman dari rasa haus yang teramat. "Ini kamu, Rain?" "Iya itu aku waktu kecil, kenapa?" "Kok jelek ya? Gendut lagi" ejek Arman, lelaki itu terkekeh pelan, menunjuk foto yang memerkan wajah Raina yang cemberut, seperti sehabis menangis. "Ihhh Arman, apaan sih. Mulai deh ngejek nya" Raina menampol pelan pipi Arman, ejekan itu ia anggap sebagai salah satu ucapan cinta, karena kata cinta tak selamanya berujud pujian dan pujaan, melihat senyum Arman, lagi-lagi Raina merasa perutnya dikelilingi kupu-kupu. "Bener loh, dulu kamu gendut, tapi kok, sekarang bisa kurus? Ooo aku tau aku tau, kamu Diet ketat yaa, haha" getak tawa tiba-tiba nemenuhi ruang tengah yang sering kali sepi, jarang sekali rumah itu terlihat hidup seperti itu, kadang disiang hari rumah mewah itu seperti nyaris tak berpenghuni, sepi dan sunyi, sebelum berpacaran dengan Arman, dulu Raina lebih sering menghabiskan waktunya didalam kamar, sibuk dengan aktifitas yang bisa mengisi kesepian hidupnya. Meski Tania dan Rudi sangat menyangi Raina, tetapi, tetap mereka meninggalkan Raina demi pekerjaan. Bi Atik, tiba dirumah. Dia melihat nona mudanya sedang bergelak tawa bersama seorang lelaki, membuat Bi Atik sedikit kepo dengan lelaki tampan bersama Raina. "Non, Rain. Ada tamunya hehe" "Ehh, bibik. Iya nih, kenalin bik, ini pacar nya aku loh" Raina bersedekap d**a, membanggakan dirinya sekarang bisa memiliki seorang cowok yang tampan, Bi Atik berkerut kening, kedua alisnya ikut menyatu. "Pacar? Emang Non, Raina, bisa pacaran?" "Ya, bisa lah bik. Buktinya aku bawa pacar aku pulang kan?" "Hehe.. Iya ya Non. Yaudah non, den, Bibik mau masak dulu, non Raina belum makan kan, Baru pulang sekolah?" Raina mengangguk, Bi Atik melangkah pergi meninggalkan Raina dan Arman, keduanya kembali diam, menyisakan suasana hening diruangan besar itu. "Rain, kalau boleh tau. Ini siapa?" "Kakak, aku" jawab Raina singkat, dingin, jelas dan padat. "Kakak?" Raina mengangguk pelan, raut kesedihan sedikit mulai terpancar di wajah Raina, memaksa otaknya untuk mengingat kejadian 12 tahun silam. Kejadian dimana takdir merenggut salah satu cinta dalam hidup Raina, merebut salah satu sosok laki-laki yang begitu Raina sayangi, laki-laki seperti malaikat yang melindungi Raina kecil. "Kok kamu nggak pernah cerita? Bukannya kamu anak satu-satunya?" Raina kembali menggeleng pelan, rasanya begitu sakit mengingat kejadian yang mengoyak hatinya dulu, kembali mengorek bilur luka yang tak akan pernah sembuh, dan itu semua terjadi karena kesalahannya. Arman yang tak mengerti apa-apa memegang bahu Raina, mengelusnya dengan sayang. Setidaknya itu bisa membuat Raina tenang, apapun yang memberatkan pikiranya saat ini. Sejenak Raina merasa tenang, mungkin dengan bercerita akan membuatnya sedikit lega walaupun setelahnya tangisan akan pecah. Sedikit-sedikit fragmen kebahagiaan masa lalu, membayang di benak Raina, seolah berputar bak rekaman kaset. semuanya terlintas begitu nyata dan kentara, indah dan sangat mengiurkan mata untuk di pandang. "Aku nggak mau main sepeda ayah. Kak ian nggak bisa main sepedanya. Nanti aku di bikin jatuh lagi" Raina merengek, ia tidak mau diboceng sang kakak. Tapi Tania dan Rudi, memaksa agar Raina duduk dibelakang sementara Fabian di depan, dengan ekspresi fotografer yang handal Rudi bersurut mengambil jempretan wajah menggemaskan Raina yang sedang menangis. "Yaaaa.. Anak ayah kok nangis. Liat tuh kak Ian aja ganteng didepan carema. Ayolah putri kecilnya ayah. Ayah susah nih" Rudi sedikit berjongkok, menopang tubuhnya dengan sebelah lutut, tangannya sibuk memegang camera, bersiap-siap mengabadikan moment yang begitu sangat jarang terjadi. "Nanti deh, kalau Raina mau di foto sambil goncengan sama kak Ian, Ibu janji, ibu bakal beliin Raina boneka berbie yang banyaaakk banget" Rayu Tania, terbukti rayuan itu berhasil, tangis Raina mulai melambat, hingga beberapa saat Raina bisa diam, meski wajahnya masih cemberut dan bekas air mata masih tersisa di pipinya dengan tidak kentara. "Kamu pegangan ya, kakak udah bisa kok boncengin kamu, walaupun gendut, hehe" Fabian menggayuh sepedengan lambat, dengan sangat hati-hati tak ingin membuat Raina; adik kesayangannya jatuh seperti kemarin, hingga menimbulkan luka dikakinya, Raina mulai menggelugut memeluk pinggang Fabian erat, takut tiba-tiba sepeda itu jatuh dan membuat nyawanya melayang --itulah yang terlindas dibenak Raina saat itu--, dia takut dengan api neraka yang menyeramkan seperti yang di katakan Ibunya, api yang akan membakar tubuhnya hingga hancur. "Kak Ian, udaaah. Aku takut" tangis Raina mulai pecah, sepeda Fabian yang awalnya mulus, mulai berbelok-belok, hingga pada akhirnya mereka tetap terjatuh, di atas rerumputan hijau nan tebal. Tania dan Rudi malah tertawa melihat kejadian itu, mereka tak usah khawatir, karena kedua anak itu jatuh, dalam keadaan posisi yang aman. Mereka melihat Fabian yang langsung berdiri dan menghampiri Raina yang menangis keras, padahal Raina tidak merasakan sakit apapun, ia hanya ingin menangis karena jatuh dari sepeda. "Maafin kak, Ian ya dek.." tangan Mungil Fabian menghapus air mata Raina yang turun deras, kedua bahu Raina naik turun, berikut dengan mulut yang terbuka, melengkingkan tangisnya. "Hussttt... Jangan nangis, harusnya kamu seneng, kan hari ini Ayah sama Ibu dirumah, mereka gak kerja. Kamu gak seneng kita bisa main sama mereka?" Raina tercenung menghentikan tangis kencangnya, isakan-isakan kecil Raina, masih terdengar di telinga Fabian. Raina memandang Ayah dan Ibu dari jauh, kedua orang itu tertawa lepas. Raina bisa melihat Rudi berlari kecil ke arahnya. Hingga akhirnya Raina merasa tubuhnya terangkat tinggi, bak serasa naik pesawat, Raina digendong dan dilayang-layangkan, menggantikan tangis itu dengan tawaan dan teriakan senang, Raina sangat menyukai ini. Bibir Raina sedikit melengkung,mengingat fragmen yang teramat bahagia itu, matanya masih tertutup, Arman mampu melihat kesedihan terdalam Raina, hari ini, Arman resmi melihat Raina menangis pilu untuk yang pertama kalinya. Otak Raina kembali mengingat kejadian itu, puncak dari segalanya. Andai saja saat itu dia tidak sakit, pasti Fabian tidak akan mekat datang kekantor Ayah mereka untuk menjemput Ayah dan Ibunya yang tengah mengadakan seminat bersama client pentingnya itu. "Bi Atik. Ayah sama Ibu ngga bisa di telfon ya Bik?" "Nggak bisa den, Ian. Tuan sama nyonya ngga angkat telfon bibik, aduh non Raina kok bisa demam gini sih? Tadi pagi kan baik-baik aja" Wajah khawatir Bi Atik begitu jelas, melihat tubuh Raina yang mengigil, bibinya pucat, dan tubuhnya sangat panas dan disertai muntah-muntah seraca beruntun. "Rain. Kita kerumah sakit aja yaaa, sama Bi Atik" Raina menggeleng. Dia tidak mau, yang dia pingin, Ibunya cepat pulang. "Aku mau sama ibu kak iaan, aku ngga mau sama Bi Atik. Kak Ian jemput Ibu" tangis Raina, ia terus merengek. Fabian tidak mungkin membiarkan adiknya seperti itu, Fabian tidak ingin adik kesayangannya kenapa-kenapa. Fabian berlari keluar kamar, tanpa mengganti seragam merah putihnya, menghiraukan panggilan Bi Atik yang melarangnya untuk pergi. Fabian terus menggayuh sepedanya, sedikit lagi ia sampai di kantor Ayahnya. Fabian bisa melihat Ayah dan Ibunya baru saja keluar dari kantor, Fabian berteriak antusias cepat cepat memasuki Area perkantoran itu, tapi sayang dalam beberapa saat Tubuh Fabian serasa melayang. Tiiiiiiiinnnnnn!! Tubuh Fabian akhirnya terpental begitu jauh, menghentikan detak jantung Tania yang menyaksikan adegan itu, rasanya jantung Tania sudah putus dan tak berkerja lagi, Tania hampir Tumbang, fikiran-fikiran buruk berhasil menguasai diri, Tania. "Fabiaaaaannn!!!" teraik histeris Tania, ia menggelugut kacau, berlari sekencangnya menghampiri keramaian itu. Memeluk jagoan kecilnya yang sudah bermandikan darah. Lantas Tania dan Rudi membawa Fabian kerumah sakit, Tania menggeleng tak percaya. Tidak, anaknya harus selamat. Sesampainya dimarah sakit, Fabian dilarikan ke UGD. ternyata didepan ruang UGD Bi Atik juga berdiri dengan Raut gelisah, pembantunya juga ikut terkejut, mendapati Fabian yang tergeletak di atas brangkar dalam keadaam berlumuram darah. "Bibik ngapain disini?" Tania masih menangis, fikirannya semakin kacau, ada apa ini? "Non Raina sakit tuan, nyonya. Non Raina keracunan makanan" Tania sudah tak bisa berkata lagi, bahkan berekspresi seperti apapun ia sudah tidak tahu, apa maksud tuhan? Mempersulit situasi seperti ini, kedua anaknya berada di ambang kematian. Rudi terduduk lemah di atas kursi, ia memijit keningnya yang amat pening, serasa ingin pecah, ia lebih baik ia mati dari pada harus kehilangan anak-anaknya. "Ini semua salah aku, coba, kalau seandainya waktu itu aku gak minta kak Ian, nggak jemput Ibu, pasti dia ada disini, aku yang nyebapin kak Ian mati, akuuuu" Raina menggelugut dalam dekapan Arman, Arman memeluk Raina erat, berusaha untuk menenangkan nya, Arman serasa tercekat, tenggotokannya sangat menjepit, rasanya ingin Arman menebas tenggorokannya sendiri, tak mampu melihat kerapuhan Raina, d**a Arman serasa dihantam benda keras, ingin sekali rasanya Arman menemani tangisan Raina, tapi ini bukan saatnya, karena Armah tahu, Raina butuh penguatan . Di balik tembok Bi Atik ikut menangis, merasakan kepedihan Raina, ini bukan salah Raina, tapi salah dia yang tak mampu mencegah kepergian Fabian waktu itu. "Ini salah aku, coba aku gak sakit waktu itu. Pasti kak Ian gak bakal kesana, kak Ian nggak akan mati, Man... Ini salah aku, salah aku" Suara parau Raina mulai lamban, ia sangat merasa bersalah, meski tak ada yang menyalahkannya dalam hal ini, tapi tetap, ini murni atas paksaannya pada Fabian. "Sayang, dengerin aku. Setelah aku denger semuanya, ini bukan salah kamu" Raina mendorong tubuh Arman. Menatap tajam laki-laki dihadapannya. "Ini salah aku! Aku yang udah nyebapin ini semua!" bentak Raina, gadis itu mulai hilang akal, ini benar-benar sangat mengoyak relung hatinya, tapi Arman tak tinggal diam dia kembali memeluk Raina erat, berusaha membuat gadisnya tenang. "Ini semua takdir sayang, semua udah dicatat sama Allah. Kita diberikan bekalan umur, jodoh, dan rezki. Kalau Kak Ian, meninggal dengan cara seperti itu, itu semua sudah kehendak tuhan, sayang. Semua udah tercatat, dan nggak ada satupun, yang bisa ngerubah itu semua. Seperti kamu, waktu itu kamu sakit. Itu juga kehendak tuhan. Kalau tuhan mengkehendakan kamu yang meninggal saat itu, mungkin kita gak akan bisa ketemu. Dan tuhan mempertemukan kita, itu juga udah takdir, takdir yang udah allah rencanain dan kita gak tau kedepannya, bisa jadi juga, kalau takdir aku meninggal setelah aku pulang dari sini, ya aku meninggal Rain. Dan ka---" ucapan lelaki itu terhenti, Raina tak mampu mendengarkan lagi, cukup, ia tak mau kehilangan lagi. "Cukup, man. Cukup, aku nggak mau denger, aku ngga mau, kamu ninggalin aku, aku nggak mau" Raina menggeleng, penuh permohonan, merasa lelaki itu sudah berbicara diluar topik. "Rain, denger aku baik-baik. Berhenti menyalahkan diri kamu sendiri, berhenti merasa bersalah, karena ini bukan salah kamu, ini saatnya kamu buat ilangin semua rasa bersalah kamu" Tangan lelaki itu mengelus pelan pipi putih Raina, menghapus sisa-sisa air mata yang tidak terlalu kentara. Cowok itu merengkuh tubuh Raina untul kesekian kalinya, membawa Raina kedalam pelukannya, setidaknya pelukan itu mampu mengirim partilel-partikel kenyamanan yang bisa membuat dia sedikit lebih tenang. "Takdir itu gak bisa kita tentang, kaya sekarang, aku ada disini pasti untuk satu alasan. Aku ingin membawa kamu keduniaku, kalau kalau kamu menggap selama ini dunia kamu begitu kejam, maka aku akan kenalin kamu kedunia aku, dunia kita. Dan aku janji, kita akan bahagia bersama" Hati Raina terenyuh, dibalasnya pelukan itu erat, dia merasa beruntung memiliki Arman, baru beberapa hari jadian, cowok itu benar-benar menunjukan dan membuktikan kalau cinta bukan hanya sekedar memuji, tapi cinta juga mampu mencari jalan keluar terbaik untuk sama-sama bahagia. Karena itu adalah semua perlakuan yang paling nyata. "Makasih, Man" suara itu terdengar lamban, Raina memejamkan matanya, terlalu nyaman dalam pelukan Arman membuatnya tak ingin melepaskan. Arman sendiri jug egan melepas pelukan itu, baginya seberapa lama pun Raina membutuhkan pelukan itu akan ia berikan, andai saja hatinya sejak dulu mencintai Raina, mungkin Raina tidak selama ini menanggung sedihnya sendiri, Arman berjanji sampai kapanpun ia akan berusaha membuat Raina terlepas dari rasa bersalah yang tak pernah Raina lakukan, tanpa Arman tahu, didalam pelulan itu, Raina telah terlelap dengan sangat begitu pulas.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD