Sudah seminggu Bianca dibuat tidak bisa tidur karena statement dari Dion saat itu. Dia bilang kalau dia bisa men-counter gossip yang sudah menyebar luas saat itu. Tidak Bianca pikir bahwa dia akan memperlihatkan hubungannya dengan pacarnya yang seolah sedang baik-baik saja.
“Ya emang mereka baik-baik aja. Makanya lo jangan ngarepin. Kan udah gue bilangin.” Sisil mengomel dari sebelahnya.
Hari ini Bianca sedang pindah ke apartemen baru yang ia sewa karena sudah beberapa hari ia tidak merasa aman lagi sejak insiden penguntitan Erlangga. Meskipun pria itu sudah menandatangani perjanjian dan disaksikan oleh banyak saksi tapi entah kenapa Bianca merasa belum begitu yakin.
Karena Bianca tidak mengindahkan ocehan Sisil barusan, perempuan itu kini mengalihkan pembicaraan lagi setelah menaruh satu kotak berisi buku-buku yang harus ia bawa dari apartemen sebelumnya.
“Lo kenapa nggak nginep di tempat gue aja sih? Nggak sayang sama tabungannya buat nyewa apartemen?” Sisil memandangi unit apartemen yang kini Bianca pilih sebagai tempat tinggal sementara selama enam atau satu tahun kedepan.
“Gue yakin lo pasti butuh privasi, Sil. Lagipula, gue udah pasang iklan buat sewa apartemen. Lumayan uangnya bisa buat nambah-nambah.”
“Bukannya itu elo yang butuh privasi?” Sisil mencibir.
“Ya gue juga. Sama aja kan, lo nanti nggak leluasa diapelin sama pacar. Kalau gue kan udah jomblo.”
Sisil tidak memberikan komentar lagi dia langsung sibuk membawa box berisi buku itu menaiki tangga menuju kamarnya tidurnya di lantai atas.
Tipe apartemen Bianca saat ini adalah tipe studio loft. Ada tambahan setengah lantai untuk kamar tidur. Biasanya tidak ada pintu. Jadi hanya tangga yang menghubungkannya dan langsung ada kasur berukuran queen size.
Jika dilihat dari apartemen Bianca saat ini tentu ini jauh lebih kecil. Tapi karena statusnya hanya menyewa, Bianca tidak menjadikannya suatu masalah yang besar. Terlebih ia juga belum menghubungi orang tuanya.
Jika dibilang ia takut, itu sebenarnya masuk akal. Mengingat selama ini hubungannya dengan orang tuanya tidak baik lantaran gadis itu kerap kali membela Erlangga. Dan lihat kini apa dampaknya. Apa Bianca tidak punya malu jika mereka tahu bahwa Bianca bukan hanya dicampakan oleh Erlangga. Dia bahkan sejak awal dijadikan pelarian hubungannya dengan pacar pertamanya.
Sisil pulang setelah makan malam bersama. Bianca memutuskan untuk turun ke lantai bawah karena ingin membeli beberapa persediaan minum di minimarket yang ada di lantai bawah.
Yang Bianca suka dari tempat tinggalnya saat ini adalah tempat ini berada tidak berada di tengah kota tapi fasilitasnya berusaha untuk selalu ada di dalam satu gedung. Jadi para penghuni tidak perlu berjalan jauh untuk mencari kebutuhan pokok.
Hanya dengan memakai celana training panjang dan hoodie kebesaran berwarna pink fuschia dengan kupluk yang terpasang menutupi kepala dan rambutnya yang terurai. Bianca menenteng paper bag kembali ke kamarnya.
Saat memasuki lift ada beberapa orang yang mengikutinya. Semuanya menekan tombol lantai dan lift pun kemudian berjalan perlahan mengeluarkan beberapa orang ke lantai tujuannya masing-masing. Kini hanya tersisa Bianca dengan satu orang pria yang membelakanginya. Bianca tentu tidak kenal siapa pria yang tengah bersamanya saat ini. Dia belum mengenal tetangga-tetangganya.
Konon, para penghuni apartemen itu tidak saling mengenal satu sama lain. Tapi Bianca biasanya menghafalnya wajah mereka diam-diam.
Bianca baru sadar tombol lantai yang menyala hanya tersisa satu. Itu berarti pria itu tinggal satu lantai yang sama dengannya. Atau mungkin pria itu tidak menekan tombol lantai lift dan mengikuti para penghuni keluar.
Seketika, Bianca disergap rasa ketakutan luar biasa karena merasa kejadian yang ditakutinya terulang kembali bahkan di tempat yang bahkan belum sehari ia tempati. Ketika lift terbuka Bianca langsung berlari kencang. Tangan kanannya merogoh saku training untuk mengambil kunci akses apartemennya tetapi entah kenapa malah terasa lebih sulit jika ia sedang dilanda rasa panik.
Sampai akhirnya pangait paper bag itu terlepas dan isi belanjaannya berserakan di koridor apartemen. Dari ekor matanya, Bianca melihat lelaki itu mendekati dirinya. Semakin lama semakin dekat hingga akhirnya pria itu menepuk pelan bahunya.
Bianca segera menjerit dan bersiap minta tolong sebelum akhirnya Bianca bahu diguncang dan namanya dipanggil oleh suara yang ia kenal.
Matanya masih terpejam.
Erlangga?
“Bianca! Ini aku Dion! Buka matanya.”
Mendengar itu Bianca sontak membuka mata dan memastikan bahwa sosok Dion lah yang memang dia lihat. Akhirnya dia bisa menghembuskan napas lega.
“Kamu kenapa?”
Bianca menggeleng. “Aku takut kejadian kemarin terulang lagi. Tapi, ngomong-ngomong. Kenapa Mas Dion ada disini?”
“Aku pulang ke tempatku. Kamu ngapain ada disini? Bukannya apartemenmu ada di deket kantor?”
“Aku baru pindah kesini. Jadi… mas Dion juga ada tinggal disini?”
Pria itu mengangguk mantap. Lalu pria itu membantu membereskan barang belanjaan Bianca dan membantu perempuan itu bangun. “Kenapa kamu pindah, Bee? Apa dia masih gangguin kamu?”
“Enggak, Mas. Cuma aku masih takut. Jadi aku memutuskan untuk pindah sementara.”
“Untunglah kamu pindah kesini. Aku jadi bisa ikut jagain kamu. Kita di lantai yang sama. Di nomor berapa unit kamu?”
Bianca menunjuk unit apartemennya yang ada dihadapannya. “2010.”
“Unitku 2011. Jauh lebih dekat dariperkiraanku.” Dion kini menyengir lebar.
Apa? Sudah seminggu ini dia berusaha untuk menjauh dari Dion, sekarang malah dihadapkan bahwa mereka tetangga? Bukan hanya ketemu di kantor tapi kesempatan bertemu di luar kantor juga akan semakin besar. Terus gimana aku bisa move on dari pria ini?? Bianca menjerit dalam hati sambil menatap aneh Dion yang masih memandanginya.
“Bee, are you okay?”
Nggak oke!
Ingin rasanya Bianca menjawab itu tapi ia tidak mau menimbulkan kecurigaan. Jadilah ia hanya mengangguk dan mengatakan bahwa dirinya baik-baik saja.
“Oke kok, Mas. Cuma cukup kaget aja ternyata dunia sempit banget yah.” Bianca terkekeh agak dipaksakan. Dion memberikan paper bag yang isinya sudah dimasukan kembali kepada Bianca. Mereka berdiam diri di depan pintu unit apartemen Bianca dan saling membisu.
“Ehm, belakangan ini kamu lagi sibuk ya? Aku merasa kita sudah jarang saling ngobrol.” Tanya Dion lagi.
Bianca mengerjap kedua matanya. Tidak menyangka Dion akan menanyakan hal ini. “Iya, lumayan sibuk. Biasa akhir bulan menuju awal bulan kan perlu report.” Bianca berdalih. Padahal kalau sesibuk apapun dirinya pasti akan menyempatkan mengobrol atau membalas pesan dari seseorang yang dia sukai.
“Aku pikir karena kamu lagi berusaha menghindar.”
Bianca diam saja. Karena sebenarnya memang itulah alasan utama mengapa Bianca menjauhi Dion agar dia terbebas dari perasaan bersalahnya menyukai lelaki lain yang sudah mempunyai pacar.
“Masuklah. Selamat beristirahat.”
Bianca mengangguk dan berbalik badan memasuki apartemen dan menutupnya rapat. Dia belum beranjak dari balik pintu yang memisahkan mereka. Tidak lama setelah itu ada sebuah pesan masuk.
Dari Dion.
Dion Mahesa: Aku senang pas tahu kalau kamu jadi tetangga baruku. Selamat datang, tetangga. Boleh nggak aku menyambutmu?
Pipi Bianca seketika memanas dan jantungnya mulai berdebar kencang.
Apa-apaan pria itu. Bianca semakin yakin kalau dirinya akan susah melupakan sikap Dion yang kelewat ramah dengan dirinya.
***