Adnan Dan Safira

1067 Words
"Apa ini cukup?" Safira meletakkan bahan dan materi yang dibawanya di meja yang Adnan minta beberapa saat yang lalu. Pria itu mendongak. "Apa ada lagi yang perlu saya carikan?" tanya Safira yang bersiap untuk pergi, sementara Adnan melihat jam di pergelangan tangannya. "Sudah jam empat, sepertinya cukup." Dia menjawab. Safira mengangguk, lalu dia mundur dua langkah dan bermaksud keluar dari ruangan tersebut. "Baik kalau begitu, saya …." Tetapi Adnan bangkit dan segera menghentikannya. "Tunggu, Fir. Bisakah kita bicara sebentar?" katanya. Safira tertegun menatap wajah atasannya. "Tinggallah sebentar saja untuk bicara." Adnan mengulang ucapannya. Safira menghembuskan napas pelan, dan dia merasa jika hal ini memang akan terjadi. Cepat atau lambat pria itu akan bicara dan mungkin membahas sesuatu yang dia takutkan. "Bicara soal apa, Pak? Soal pekerjaan? Kalau iya mungkin saya bisa tinggal sebentar lagi, tapi kalau soal …." "Ini hal pribadi. Tapi percayalah, tidak seburuk yang mungkin kamu kira." Safira menarik napas kemudian menghembuskannya dengan cepat. "Apa ini penting? Saya kira tidak ada urusan yang lebih penting dari pada pekerjaan, Pak. Lagipula, memang sebaiknya tidak ada yang dibahas selain pekerjaan juga karena memang tidak ada gunanya. Selain itu, jika kita memaksa untuk membicarakan hal lain mungkin saja akan menimbulkan masalah yang …." "Maafkan Abang." Kalimat itu terlontar dari mulut Adnan begitu saja. Sedangkan Safira terdiam tanpa bisa menyelesaikan ucapannya. "Maafkan Abang karena telah meninggalkanmu dan memilih bersama orang lain ketimbang memperjuangkan hubungan kita," lanjut pria itu yang berjalan ke arah Safira. Sedangkan orang yang dimaksud masih terdiam di tempatnya berdiri dengan kening berkerut tajam. "Fir, Abang …." "Itu sudah lama sekali tapi kenapa harus diingatkan?" Akhirnya Safira buka suara. "Aku hampir saja pulih tetapi kenapa malah dibahas lagi?" "Abang merasa tidak tenang, Fir. Semua hal sepertinya tidak bisa lepas darimu dan apa pun yang Abang lakukan selalu mengingatkan tentang kamu." Safira mendengus keras. "Jadi, Abang mohon. Bicaralah sebentar saja, sekedar untuk membuat perasaan ini lebih baik." Kini jarak mereka hanya beberapa langkah saja, dan Adnan terus saja mendekat sementara Safira tetap menciptakan jarak. "Perasaan siapa yang akan lebih baik dengan berbicara? Perasaan Abang?" Perempuan itu kembali berbicara. "Ya, dan sepertinya ini penting untuk …." "Sejak dulu semua hal hanya berputar tentangmu. Perasaanmu, kepentinganmu, dan keadaanmu. Tapi tak ada seorangpun yang memikirkan aku. Bagaimana keadaanku, perasaanku, dan apa yang terjadi dengan hatiku. Lalu di mana kamu waktu itu?" Adnan membuka mulutnya untuk menjawab, tetapi Safira melakukannya lebih dulu. "Bukan kepergianmu yang aku keluhkan, tetapi caramu pergi yang terlalu menyakitkan. Dan apa kamu tahu kalau aku membutuhkan banyak waktu untuk pulih tanpa bisa melakukan apa-apa, atau bicara kepada siapa pun tentang masalah ini? Kamu pikir bagaimana rasanya jadi aku?" Akhirnya Safira pun berbicara. Dan ini adalah kalimat terpanjang yang dia ucapkan semenjak mereka bertemu lagi. Adnan menatap wajah dengan matanya yang berkaca-kaca itu. "Lalu sekarang, tiba-tiba saja kamu datang dan mengucapkan banyak hal. Sebenarnya apa tujuanmu?" Wajahnya sudah memerah tanda dia menyimpan kemarahan yang besar. "Kamu … tidak akan mengerti kalau Abang jelaskan waktu itu." Adnan menjawab. "Tentang apa?" Safira meninggikan suaranya. "Tentang semuanya." Bibir perempuan itu tampak bergetar seolah ingin mengatakan banyak hal. "Percayalah, waktu itu Abang sulit mengatakannya, tetapi …." Safira kembali mendengus. "Lebih baik tidak usah membahas apa pun lagi yang berhubungan dengan masa lalu. Tidak berguna dan tidak ada manfaatnya, selain membuka luka lama yang bahkan belum sembuh sama sekali. Kita bertemu lagi setelah sepuluh tahu, dalam keadaan dan situasi yang sama sekali berbeda. Dan kepergian Abang waktu itu sudah membuktikan kalau kita tidak sepantasnya bersama, bukan?" "Fir, bukan seperti itu …." "Penjelasan dalam cara apa pun tidak akan merubah keadaan, bahwa pada kenyataannya kita memang seperti ini. Dan jangan coba-coba untuk mengatakan kepadaku untuk memakluminya, karena tidak ada seorangpun di antara kalian yang memaklumi aku." Adnan kehilangan kata-kata. "Ya, waktu itu aku terlalu muda untuk mengerti. Tetapi hari ini tidak ada bedanya, karena tidak akan ada yang berubah, bukan? Jadi kenapa masih harus dipermasalahkan?" lanjut Safira sambil menghembuskan napas berat. "Jadi, bisakah sekarang kita hanya bersikap secara profesional saja? Tidak usah membawa masa lalu dalam urusan apa pun, apalagi jika sampai orang lain tahu. Karena menurutku itu memalukan." Katanya dengan suara yang tegas tetapi sedikit bergetar. Adnan masih belum buka suara. "Aku yakin Abang mengerti dengan maksudku. Dan jika Abang ingin merasa tenang setelah berbicara denganku, maka ketahuilah bahwa selama sepuluh tahun belakangan pikiranku tidak pernah tenang setiap kali ingat kalian." Adnan menggigit bibirnya kuat-kuat saat rasa bersalah itu menjadi semakin jelas di dalam hatinya. Dan suda dia duga jika hal itulah yang mungkin akan Safira ucapkan. "Jadi aku mohon jangan dibahas lagi, karena rasa sakitnya akan tetap sama bagiku." Perempuan itu menatap wajahnya untuk beberapa detik. "Selamat sore, Pak. Selamat akhir pekan." Kemudian dia memutuskan untuk keluar meninggalkan Adnan yang masih berdiri di tempatnya semula. *** Safira menoleh sekilas ketika mobil yang dikemudikan Adnan melintas di depannya. Tetapi seperti biasa, dia tak menggubris meski pria itu pun menatap hingga dia melewatinya. Dia pun segera mengenakan helm, kemudian cepat-cepat meninggalkan area gedung Sixth Sense menuju pulang. Namun baru menempuh beberapa puluh meter Safira memutuskan untuk berhenti ketika musik dari ponselnya berhenti karena ada panggilan masuk, yang ternyata berasal dari ibunya. Dia menepi ke dekat trotoar dan segera menjawab panggilan. "Ya Bu?" "Fir, kamu masih di kantor?" Melia bertanya dari seberang sana. "Tidak, Bu. Ada apa?" "Apa sudah pulang? Kalau sudah, bisakah kamu datang ke sini? Ibu ingin bertemu." "Ada apa?" Safira balik bertanya. "Tidak ada apa-apa, Ibu hanya ingin bertemu." "Umm …." "Fir? Kamu sudah tahu kan kalau …." "Banh Adnan sudah kembali, Bu." Safira segera memotong ucapan ibunya. "Ibu sudah tahu kan soal itu? Dan apakah Ibu juga tahu kalau dia adalah atasan baruku di kantor?" Melia belum menjawab. "Dia … kembali, Bu. Sekarang apa yang harus aku lakukan? Bagaimana aku harus menghadapinya setiap hari?" Suara Safira terdengar bergetar. "Ibu pikir, apa aku harus berhenti kerja atau pindah saja ke tempat lain?" "Kamu pikir kamu tidak akan bisa menghadapinya, Fir? Bagaimana jika kamu coba saja? Mungkin setelahnya kamu akan terbiasa?" Napas Safira terdengar berhembus cepat dan sesekali dia menelan ludahnya keras-keras. Ya, rasa sakit itu memang masih ada dan nyata. Entah mengapa bisa sedalam itu dan pada kenyataannya waktu pun tidak dapat merubah perasaannya. Tidak ada yang berubah di dalam hati meski setelah sekian lama. Dan ini sulit. "Tapi terserah padamu. Seandainya memang tidak bisa, maka menjauhlah seperti biasa, Fir." ucap Melia lagi sebelum akhirnya buliran bening dari mata Sefira meluncur melewati pipinya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD