Safira mengalihkan perhatian dari jendela ketika mendengar langkah kaki masuk ke dalam ruang pemulihannya. Hari masih pagi yang membuat keadaan terasa sepi dan sebentar lagi dia akan pulang jika pemeriksaan dokter menyatakan keadaannya baik-baik saja.
Kedua sudut bibirnya hampir tertarik menerbitkan senyum ketika wajah Adnan mendominasi pandangan sebelum akhirnya surut ketika ada sosok lain muncul di belakang pria itu. Adalah Khalisa, perempuan cantik nan anggun yang maju dan menggenggam tangan pria itu dengan erat.
"Kamu sudah baikan?" Adnan melangkah maju sambil menggandeng perempuan yang kini berstatus sebagai istrinya. Namun, Safira tak segera menjawab, gadis itu masih termangu menatap pasangan pengantin baru itu dalam diam. Ya, selama beberapa detik, entah kenapa dia membayangkan bahwa perempuan yang digenggam Adnan adalah dirinya.
"Adnan mau pamitan, Fir. Jadi, dia mampir dulu ke sini." Melia menyusul diikuti kedua orang tua Adnan yang juga masuk untuk menjenguknya.
"Bagaimana keadaanmu, Nak? Maaf Tante baru bisa menjengukmu. Pesta kemarin benar-benar membuat kami sangat sibuk." Hana duduk di pinggiran tempat tidur setelah meletakkan bingkisan yang dibelinya dalam perjalanan ke rumah sakit.
Safira juga tak menjawab. Bibirnya kelu dan tenggorokannya seperti tercekat. Maka itu yang bisa dia lakukan hanyalah diam sekuat tenaga menahan air mata yang hampir menentes karena perihnya luka di hati.
"Lain kali hati-hati! Nggak perlu buru-buru, lagi pula kan nggak ada juga yang ngejar kamu. Gara-gara ngebut, kamu jadi kecelakaan, kan?" Pria paruh baya bernama Ganda – suami dari Hana pun ikut bicara.
"Safira memang terkadang ceroboh, Kang, tapi kalau bukan dia siapa lagi yang mau saya andalkan." Melia menyela percakapan tersebut sambil merapikan bantal di belakang tubuh putrinya.
"Ya, memangnya selain anak siapa lagi yang bisa kita andalkan? Makanya, kamu harus pintar jaga diri agar bisa tetap membantu ibumu, ya!" Pria itu menepuk pundaknya pelan-pelan seperti yang biasa dilakukannya selama ini untuk memberikan semangat setiap kali Safira berbuat kesalahan.
Ya, keluarga mereka memang sedekat itu. Selain terikat tali persaudaraan karena Melia dan Hana yang merupakan saudara sepupu, juga hubungan persahabatan antara Adnan dan Safira pun sudah terjalin sejak kecil. Meskipun ayahnya telah tiada, Safira tak pernah merasa kekurangan kasih sayang. Kehadiran orang-orang terdekat selalu menjadi penyemangatnya sehingga dia tak merasa sendirian, terutama keberadaan keluarga Adnan yang cenderung paling dekat dengannya.
"Huh, pakai jatuh segala sih, Fir?" Widia – kakak perempuan Adnan menyusul masuk, kemudian meletakkan sebuah bungkusan berisi makanan di atas meja.
"Memangnya disengaja? Namanya juga kecelakaan." Hana memotong ucapan anak perempuannya yang segera mendekat pada Safira.
"Bercanda, Fir." Widia pun tertawa sambil merangkul pundak gadis itu dengan erat. "Lain kali hati-hati kalau bawa motor! Yang kamu bawa itu nyawa, bukannya kue bolu yang kalau jatuh dan hancur bisa beli lagi."
Safira menyeka sudut matanya yang terasa basah karena tak kuat lagi menahannya. Dia kemudian tertawa untuk menyamarkan isak tangisnya karena sulit menahan sejak tadi. Rasanya sakit sekali, melihat pria yang dicintainya sejak kecil sudah bersama perempuan lain, padahal mereka sempat menjalin asmara, meski tak ada yang mengetahuinya.
"Apa aku harus mengatakan di depan mereka bahwa aku mencintai bang Adnan? Setidaknya aku tidak akan tersiksa seperti ini," batin Safira entah pikiran dari mana, tapi niatan itu tiba-tiba datang begitu saja.
"Sudah bisa pulang, kan, Tante?" Widia bertanya kepada Melia.
"Sudah, hanya menunggu pemeriksaan dokter saja."
"Syukurlah. Nggak parah, kan?" Widia bertanya lagi.
"Hanya lecet kena aspal dan gesekan dengan helm. Selebihnya baik-baik saja. Mungkin nanti dipijat di rumah kalau sudah pulang." Melia menjelaskan apa yang mungkin akan mereka lakukan sepulangnya dari rumah sakit.
"Ya sudah kalau begitu, Teteh pamit duluan, ya? Kamu cepat sembuh, Fir." Widia pun memeluk gadis itu seraya menepuk-nepuk punggungnya dengan lembut. "Jangan sedih terus!" Lalu, dia berbisik dan itu membuat Safira mengerutkan dahi.
"Maksudnya? Apa jangan-jangan mbak Widia tahu soal hubunganku dengan Adnan?" batin Safira menerka-nerka, masih memikirkan apa dia harus berkata jujur di depan semuanya.
"Widia pamit, ya." Perempuan berusia 30 tahun itu pamit pada semua orang sebelum akhirnya dia pergi sambil melambaikan tangannya.
"Adnan juga." Pria yang berdiri di ujung ranjang pun mengatakan hal sama. Dia mendekat dan mencium tangan kedua orang tuanya juga Melia, kemudian menatap wajah Safira sejenak.
"Tidak menunggu beberapa hari dulu? Setidaknya sampai semua yang ada di rumah beres, Nan." Melia bicara sebelum keponakannya itu pergi.
"Tidak bisa, Tante. Pekerjaan sudah menunggu." Adnan menjawab dan sesekali dia melirik ke arah Safia yang tampak kembali tenggelam dalam lamunannya.
"Kok udah kerja aja, padahal baru menikah? Apa kalian nggak bulan madu dulu?" Melia sedikit menggoda dengan tawa kecilnya, diikuti kedua orang tua Adnan yang juga tertawa.
"Iya, maklumlah, Tante." Adnan pun hanya tertawa meski dia sesekali mencuri pandang ke arah Safira.
"Padahal baru aja menikah, tapi bang Adnan sudah mengurus kepindahan kerjanya ke Jakarta agar bisa bersama istrinya. Apa itu artinya dia benar-benar mencintai Khalisa?" batin Safira yang meski melamun, tetapi telinganya tetap mendengarkan apa yang mereka bicarakan. "Bodoh, kenapa aku harus menanyakan itu? Tentu saja, sekarang kan mereka suami-istri." Safira melirik pasangan pengantin baru itu yang terlihat masih malu-malu karena digoda Melia.
"Ya udah, Abang pamit, Fir." Pria itu pun bicara hingga membuat Safira mendongak dengan raut datar tanpa menjawab.
"Apa aku harus tetap memendamnya? Apa hubunganku dengan bang Adnan selamanya akan menjadi rahasia?" Terjadi pergolakan batin yang membuat Safira ragu. Di satu sisi, dia ingin mengungkapkan semuanya agar orang tua Adnan dan juga ibunya bisa tahu perasaannya. Namun, gadis itu teringat akan perkataan Adnan yang meminta untuk tetap menyembunyikannya.
"Adnan pamit, Tante." Tanpa menunggu Safira menjawab, Adnan beralih pamit pada Melia yang dijawab dengan anggukkan juga oleh perempuan itu. Namun tiba-tiba, Safira terdengar memanggilnya.
"Tunggu, Bang!" Suara gadis itu terdengar bergetar. Adnan pun berbalik. Melihat Safira dengan tatapan heran. Seketika terlintas dalam pikiran Adnan bahwa Safira akan mengatakan di depan semuanya tentang hubungan rahasia yang mereka pernah jalani.
***
10 tahun kemudian.
Alunan musik terdengar lewat earphone tanda bawah ada panggilan masuk ke ponsel Safira. Perempuan itu pun menghentikan laju motornya sama seperti kendaraan lain tepat di lampu merah. Sore itu, jalanan kota Bandung memang terlihat sangat padat seperti biasanya.
"Hasilnya sudah keluar, Fir. Dokter meminta kita untuk datang ke rumah sakit." Fahri – pria yang merupakan suaminya sejak lima tahun ini terdengar bicara dari seberang sana.
"Baiklah, aku ke rumah sakit sekarang. Kamu juga, kan?" Safira membalas.
"Iya, dari kantor aku langsung ke sana."
"Oke, aku juga nggak terlalu jauh kok. Sebentar lagi aku sampai."
Beberapa menit kemudian, Safira pun tampak berbelok dan mulai memasuki salah satu rumah sakit terkenal di kota Bandung untuk memenuhi janji dengan dokter dan juga suaminya. Setelah menjalani prosedur pemeriksaan pada hari-hari sebelumnya, kini tibalah sepasang suami-istri itu mengetahui hasilnya.
"Baik, Anda berdua siap?" Dokter menatap pasangan itu bergantian. Ya, di saat Safira tiba di depan ruang dokter, ternyata Fahri sudah lebih dulu datang.
Safira dan Fahri pun tampak mengangguk hampir bersamaan dengan kedua tangan mereka yang saling menggenggam. Perasaan keduanya memang tidak menentu, tetapi mereka tetap harus siap mendengar apa pun hasil pemeriksaan itu.
"Saya harap, apa pun hasil yang akan kalian ketahui, tidak akan mempengaruhi keharmonisan kalian sebagai suami-istri karena soal kehamilan ini memang sudah menjadi takdir Tuhan." Dokter pun menyodorkan sebuah amplop yang langsung diterima Fahri. Mendengar perkataan sang dokter, pria itu sudah bisa langsung menebak jika hasilnya akan seperti apa.
Setelah membukanya, mereka pun segera membaca kata demi kata yang tertera pada kertas itu, lalu keduanya terdiam saat hasil pemeriksaan menunjukkan keadaan Safira yang sehat dengan kandungan baik juga kesuburan yang normal, sementara hasil untuk Fahri menyatakan sebaliknya. Infertilitas menjadi masalah serius yang ditemukan pada organ reproduksi pria itu sehingga dia tak mampu memberikan keturunan.
Fahri menghempaskan punggungnya pada sandaran kursi dengan perasaan yang berkecamuk. Tentu saja dia merasa kecewa dengan hasil yang diterimanya atas pemeriksaan itu dan hal tersebut terlihat jelas di wajahnya.
"Apa ini akurat, Dokter?" Tentu saja ia tidak percaya. Bagaimana dia bisa dinyatakan infertilitas sementara tubuhnya sehat-sehat saja? Fahri memang tidak mengidap penyakit atau alergi apa pun yang menyebabkannya harus mengkonsumsi obat yang mungkin akan mempengaruhi hormonnya atau melakukan hal-hal lain yang bisa menyebabkan itu terjadi. Pola hidupnya sehat dan segala yang dia jalani normal-normal saja selama ini.
"Akurat, Pak. Tapi jika Bapak merasa tidak yakin, maka bisa dilakukan pemeriksaan ulang. Semua tes diulangi dan Anda akan mendapatkan hasil yang lebih meyakinkan." Dokter menjawab, membuat Fahri tampak semakin kecewa.
"Tapi hasilnya akan sama saja?"
"Saya yakin sama, Pak."
Fahri mendengus keras, sementara Safira merengkuh pundak suaminya untuk menenangkannya. Hal itu seperti memukul telak mereka dan apa yang telah mereka lakukan terasa tidak ada gunanya.
"Tapi semuanya masih bisa diusahakan dan Anda masih punya kesempatan. Ada terapi hormon maupun pengobatan lain untuk memperbaiki kesuburan sehingga Anda bisa memiliki keturunan nantinya. Walaupun dengan proses yang rumit dan tidak sebentar, tetapi saya yakin ka–"
"Yakin kalau kami nantinya bisa mempunyai keturunan, Dok?"
"Walau ini hanya sebatas keyakinan saya, tapi kemungkinannya sangat besar, Pak."
Fahri meremat rambut dengan kedua tangannya. Nyatanya, perkataan sang dokter tidak cukup membuatnya tenang. Pria itu tetap tidak bisa menerima keadaan, meski berkali-kali meyakinkan diri bahwa apa yang dia baca bukanlah akhir dari harapannya untuk bisa memiliki keturunan.