Bab 20. Hati Safira

1325 Words
"Kenapa Abang malah ke sini lagi?" Safira menghentikan kegiatannya yang tengah membereskan pakaian Melia. Mendapati kemunculan Adnan pada hampir tengah hari di rumah sakit saat dirinya mempersiapkan kepulangan sang ibu. "Kebetulan lewat." Pria itu menjawab. "Memangnya kamu dari mana, Nan? Bukankah sedang bekerja?" Melia pun ikut bertanya, pasalnya ini pas sekali dengan jam istirahat para pekerja. "Tadinya mau makan siang diluar, Tante. Tapi tiba-tiba ingat ke sini." Adnan dengan cengiran khasnya. Tentu dia tak dapat menyembunyikan kecanggungannya karena dua perempuan di depan pasti tidak akan percaya dengan alasan apa pun yang ia lontarkan. "Jauh-jauh." Safira pun menggumam sambil melirik sekilas. "Padahal daftar pekerjaan sudah aku kirim dan sudah meminta Sally juga untuk menyiapkan apa yang Abang butuhkan. Jadi pasti hari ini akan sangat sibuk, kan?" "Ya, tapi masa tidak boleh istirahat? Abang ini bukan robot." Adnan mendekat. "Lagipula, masa kamu mau membawa Tante pulang naik motor? Tidak kasihan apa?" Adnan beralasan. "Ada ambulance. Kan bisa sewa." Safira menjawab. "Mahal." "Ada taksi online juga, bisa order." "Mahal juga." "Tidak, ah. Masih standar dari pada sewa mobil rental." "Tetap saja mengeluarkan biaya. Kan sayang?" "Hanya beberapa puluh ribu!" Safira sedikit menaikkan nada bicaranya. "Tapi kalau gratis lebih bagus." "CK! Bapak-bapak perhitungan!" Safira mencebik sedangkan Melia hanya tertawa. Ini seperti melihat dua anak kecil yang tumbuh bersama dulu dalam pengasuhannya, dan memori itu kembali memunculkan perasaan yang menyenangkan. "Sudah selesai?" Adnan kembali berbicara setelah mereka terdiam cukup lama dan Safira tak lagi sibuk dengan barang bawaannya. "Sudah." "Administrasi rumah sakit bagaimana?" "Sudah juga. Kita hanya tinggal menunggu pemeriksaan terakhir dari dokter setelah itu baru bisa pulang." Perempuan itu melihat jam di layar ponselnya "Hmm …." Dan tak lama setelahnya, dokter pun tiba untuk melakukan serangkaian pemeriksaan, guna memastikan keadaan Melia yang ingin segera pulang. Tanpa menunggu lagi, akhirnya mereka pun segera meninggalkan rumah sakit setelah yakin bahwa semuanya baik-baik saja. *** Adnan menerima panggilan telepon yang ternyata dari nomor Khalisa. Dan pada saat ia menjawab, maka wajah Bilqis lah yang mendominasi layar 5,5 inchi tersebut. "Ayah?" Suara khas anak itu terdengar nyaring sehingga Safira yang tengah membantu ibunya duduk di sofa pun memalingkan pandangan. "Hai, Sayang? Kamu sudah pulang sekolah?" Adnan segera menjawab panggilan putrinya di depan dua perempuan itu. "Hari ini aku nggak sekolah." "Kenapa?" "Sakit. Aku pusing," adu Bilqis pada ayahnya. "Demam?" Tubuh pria itu sedikit menegang dan wajahnya tampak panik. Tak ada yang lebih ia khawatirkan selain putrinya, apalagi saat ini mereka tinggal berjauhan. "Hu'um." Bilqis mengangguk sambil mengerucutkan mulutnya. "Sejak kapan? Kenapa kamu baru menelpon Ayah?" Adnan kemudian duduk tak jauh dari Melia. "Sudah dua hari, Yah." Lalu sosok Khalisa muncul di belakang Bilqis dan itu membuat Safira segera menyingkir. Tiba-tiba saja dia merasa sedikit terganggu ketika mendengar suara perempuan itu. "Aku ambilkan air hangat ya? Ibu mau makan sesuatu?" Dia beralasan. "Tidak usah, Nak. Air saja Ibu haus." Melia menjawab tawaran sang putri yang dengan segera beranjak ke dapur. "Sudah minum obat, atau ke dokter?" Adnan terdengar kembali bertanya. "Baru saja pulang dari klinik." Dan suara Khalisa yang menjawab. Safira mendengarkannya dalam diam meski rasanya ada sesuatu di dalam hati yang berdenyut ngilu ketika percakapan itu terus berlangsung. "Sekarang bagaimana?" Untuk ke sekian kalinya pria itu melontarkan pertanyaan pada putrinya yang masih terlihat di layar bersama dengan istrinya. "Sudah lebih baik, kata dokter hanya demam biasa. Cuaca memang sedang tidak enak belakangan ini." Khalisa menjelaskan yang membuat Adnan sedikit bernapas lega. "Temen-temen aku juga pada sakit, Yah. Kata dokter aku ketularan." Suara Bilqis terdengar lagi yang membuat Adnan terkekeh pelan. "Kalau begitu tidak usah sekolah dulu sebelum benar-benar sembuh ya? Bilqis harus jaga kesehatan," katanya dengan senyuman lembut yang dia tujukan untuk sang putri. "Ayah lagi di mana? Kerja?" Lalu Bilqis bertanya setelah menyadari latar belakang tempat Adnan berada. "Tidak. Ayah sedang istirahat di luar." "Di mana?" Kini Khalisa yang bertanya. "Mengunjungi Tante Melia." "Tante Melia?" Perempuan itu sedikit menjengit. "Sepupunya ibu. Yang rumahnya tidak jauh dari dari rumah kita." Safira merasa tenggorokannya sedikit tercekat. Bahkan rumah peninggalan orang tuanya sudah Adnan klaim sebagai milik mereka. Ya, istilah 'kita' yang merujuk pada artian milik bersama membuatnya merasa sedikit terusik. Tetapi kemudian ia tersadar, bahwa memang begitulah seharusnya. Lantas apa yang membuat dirinya merasa tidak terima akan hal itu? Adalah hak mereka untuk mengatakan apapun dengan cara bagaimanapun karena begitulah keadaannya. Dan pasti, yang salah adalah ada pada dirinya yang masih saja berkutat dengan masa lalu. Padahal semuanya sudah berlalu begitu lama. Kini keadaan mereka berbeda dan tak sepantasnya dirinya merasa terganggu. "Huffttthh, sadarlah Safira!" Dia mengusap wajahnya sendiri kemudian menuangkan air ke dalam gelas yang dimaksudkan untuk ibunya. "Jadi Ayah nggak kerja?" Celotehan Bilqis menjadi hal yang mengisi keheningan di dalam rumah tersebut. "Kerja, tapi sekarang kan sedang istirahat. Jadi bisa berkunjung ke rumah Nenek Melia." Pria itu mengarahkan kameranya kepada Melia yang setengah berbaring di sofanya. "Nenek juga sakit dan baru pulang dari rumah sakit." Dia melanjutkan sementara Melia melambaikan tangannya. "Aku juga sakit tapi Ayah nggak datang." Sang putri kembali berbicara yang membuat Adnan terdiam untuk beberapa saat. "Ayah kapan pulang? Aku juga mau sama Ayah, apalagi kalau lagi sakit begini. Soalnya Bunda pulang kerjanya malam terus." Dia berbicara dengan kedua matanya yang berkaca-kaca. Adnan mengalihkan tatapan pada Khalisa yang sama-sama terdiam mendengar perkataan putri mereka. "Ayah?" ucap Bilqis lagi memecah keheningan pada percakapan tersebut. "Ya, Sayang? Maaf, Ayah masih bekerja. Mungkin hari Sabtu nanti Ayah akan pulang ke Jakarta." Lalu Adnan melontarkan ucapan penghiburan bagi putrinya ketika rasa bersalah menyeruak begitu saja di dadanya. "Beneran?" Kini mata Bilqis tampak berbinar dan senyuman terukir di bibir anak perempuan berusia sembilan tahun tersebut. "Ya." Adnan mengangguk. "Nggak bohong, kan? Ayah pasti pulang?" tanya Bilqis lagi untuk meyakinkan ucapan ayahnya. "Iya, pasti. Ayah pasti pulang." Senyuman di wajah anak itu semakin lebar dan dia tampak gembira. "Jadi, kamu harus cepat sembuh ya? Agar saat Ayah pulang nanti kita bisa pergi jalan-jalan." Adnan menyambung ucapannya. Bilqis pun menganggukkan kepala dengan raut riang. Dan itu sedikit menenangkan perasaan Adnan yang semula sedikit kacau karena rasa bersalah. "Baik, Ayah harus kembali ke kantor sebentar lagi. Jadi sudah dulu ya?" Pria itu berniat mengakhiri percakapan ketika Safira muncul dengan nampan berisi dua gelas air minum. "Iya, tapi nanti kalau udah pulang kerja telpon aku lagi ya?" pinta Bilqis dengan tatapan penuh harap. "Baik." Adnan menjawab singkat. "Janji lho, Yah. Jangan sampai aku nungguin. Nanti aku ngambek." Adnan tertawa pelan. "Baik. Sudah dulu, oke? Nurut apa kata Bunda ya?" Lalu dia kembali melirik ke arah Khalisa yang terdiam mendengarkan percakapan tersebut. "Ayah kerja dulu, Bun." katanya yang mengangguk sebagai jawaban untuk ucapan suaminya seperti juga Bilqis sebelum akhirnya sambungan telpon pun dia sudahi. "Putrimu cantik sekali." Melia baru bersuara setelah beberapa menit Adnan menatap layar ponselnya yang masih menyala. Dia mendongak kemudian melirik ke arah Safira yang meletakkan gelas berisi air minum di meja. "Kelas berapa dia sekarang?" Perempuan itu lantas bertanya. "Kelas tiga SD." "Hmm … sudah besar ya?" Adnan terkekeh sambil menganggukkan kepala, kemudian meraih gelas yang isinya segera dia teguk habis. "Kalau begitu aku pamit." Lalu dia bangkit sambil memasukkan ponselnya ke dalam saku jas. "Kembali ke kantor?" Adnan mengangguk lagi. "Apa tidak sebaiknya tunggu sebentar lagi? Bukannya kamu belum makan?" Melia melirik ke arah Safira yang masih terdiam di tempatnya sambil mendekap nampan. "Nanti saja di kantor. Lagipula aku tidak terlalu lapar." Adnan bersiap untuk pergi. "Baiklah kalau begitu." "Ya, aku … pamit." Pria itu segera meraih kemudian mencium punggung tangan Melia dengan takzim. "Baik, hati-hati." Lalu dia menatap Safira untuk beberapa saat. "Abang … pergi." katanya, yang segera beranjak keluar tanpa menunggu jawaban dari sepupunya tersebut. "Aku tidak kalah dalam mencintainya. Buktinya hingga selama ini dia masih saja menjadi penghuni di hatiku. Tetapi aku kalah dengan pilihannya." Batin Safira bergumam sambil menatap punggung Adnan yang terus menjauh. Tetapi sedetik kemudian ia terkesiap ketika tiba-tiba saja mengingat Fahri, suaminya. "Astagfirullah!" Safira kemudian mengusap dadanya sendiri ketika dia merasa ada sesuatu yang salah terjadi pada dirinya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD