Kembalinya Adnan

1062 Words
Safira menutup pintu rapat-rapat setelah memastikan motornya aman di garasi. Dia tertegun beberapa saat untuk menenangkan diri usai melihat apa yang selama ini dipikirnya tidak akan terjadi lagi. Yakni, melihat keberadaan Adnan di rumah orang tuanya yang telah lama ditinggalkan. Perempuan itu menekan dadanya sendiri untuk menetralisir debaran keras yang belum mau berhenti sejak pertama kali dia melihat wajah pria itu lagi. Yang hampir dia lupakan setelah sepuluh tahun tak bersua. Dengan kata lain, dia yang terus menghindar setiap kali ada kesempatan bagi mereka untuk bertatap muka. Entah itu bertemu di hari raya, ataupun pada pertemuan kerabat pada acara-acara tertentu. "Sayang?" Suara Fahri membuyarkan lamunannya, membuat Safira tersentak. "Ada apa?" Pria itu menuruni tangga dari lantai dua di mana kamar mereka berada. "Mm-Mas?" Lalu Safira buka suara. "Kamu kenapa? Ketemu begal?" Fahri segera mendekat. "Ti-tidak, Mas. Hanya …." "Aku telfon dari tadi kenapa tidak kamu jawab? Baru saja aku akan menjemputmu ke rumah ibu," ucap Fahri lagi yang tampak menggenggam kunci mobilnya. "Umm …." "Ayolah, apa kamu sudah makan?" Pria itu menggandeng tangan Safira lalu menariknya ke lantai dua. "Sudah tadi dengan ibu. Mas sendiri sudah?" Safira balik bertanya. "Sudah tadi di kantor." "Ibu bagaimana?" "Ibu belum pulang. Sepertinya akan menginap setelah aku hubungi tadi." Kini mereka sudah berada di dalam kamar. "Menginap?" "Ya." Fahri membantu Safira melepaskan jaketnya. "Di rumah sakit?" Pria itu kemudian membantunya melepaskan pakaian yang masih melekat di tubuh istrinya. "Tidak, tapi di rumah Risa." "Risanya sudah pulang?" "Sudah." Lalu Fahri menatap tubuh indah milik Safira yang masih berbalut pakaian dalamnya. "Mau mandi sekarang?" tanya pria itu yang sedikit menyeringai karena hal tersebut. "Umm …." "Aku juga belum mandi. Bagaimana kalau kita mandi sama-sama?" katanya, yang kemudian menarik Safira ke dalam kamar mandi sambil melepaskan pakaiannya juga. "Mas juga baru datang?" "Ya. Baru beberapa menit." Pria itu terkekeh. "Kita memang sangat sibuk ya, Mas? Makanya tidak sempat pergi ke mana-mana." Safira pun tertawa, dan dia sedikit melupakan peristiwa di tempat tinggal ibunya beberapa saat yang lalu. "Memang. Bukankah itu bagus, karena kita punya alasan untuk tak menghadiri acara-acar tidak penting?" Lalu Fahri menarik Safira ke ruang berbilas. "Kamu benar." Dan perempuan itu tertawa ketika suaminya menyalakan shower, dan di saat yang bersamaan mereka mulai b******u. "Mas?" Safira sempat menarik diri karena merasa jika hari ini mungkin saja suaminya sangat lelah setelah bekerja lembur seperti biasa. Tetapi pria itu malah meraup pinggangnya, dan menariknya sehingga jarak di antara mereka menghilang. "Aku merindukanmu, Fir." Dan tanpa menunggu lama, dua insan itu saling mencumbu dan menyentuh untuk melepaskan rasa rindu yang hampir terlupakan karena banyaknya pekerjaan dan masalah pelik di antara mereka. *** Adnan menutup gorden pada jendela kamarnya setelah terdiam menatap ke arah rumah yang diingatnya merupakan tempat tinggal sahabat sekaligus cinta masa lalunya. Lalu dia beralih pada setumpuk pakaian yang sudah dikeluarkan dari koper, untuk kemudian ia bereskan ke dalam lemari kayu miliknya. Berkali-kali ia menghela napas dalam karena merasakan sesak di d**a dan ngilu di ulu hati, seperti sesuatu ditekan keras sehingga membuatnya merasa tidak nyaman. Namun perhatiannya beralih ketika ponselnya berbunyi nyaring. "Ayah sudah sampai di rumah?" Pesan dari Khalisa masuk. "Sudah. Sekarang sedang membereskan pakaian." Lalu dia mengirimkan balasan. "Besok Ayah langsung bekerja?" Pesan Khalisa masuk lagi ke ponselnya, dan membuat Adnan harus benar-benar menghentikan kegiatannya karena perempuan ini akan segera meradang jika dia tak melakukannya, kemudian mengganggunya sepanjang malam jika itu terjadi. "Tidak. Sepertinya Ayah hanya akan datang saja ke kantor dan mengurus beberapa hal, lalu kembali." "Baiklah kalau begitu. Lalu bagaimana Ayah makan?" Khalisa bertanya lagi. "Muda saja, Ayah kan bisa masak. Di sini warung dekat, atau mungkin bisa pesan online seperti biasa." Dan Adnan kembali menjawab pesan itu dengan hati-hati. "Benar juga." "Ya. Apa masih ada lagi? Ayah harus mengerjakan beberapa hal di sini, Bun." "Tidak ada, Yah." "Apa Bilqis sudah tidur?" Pria itu kemudian bertanya. "Sepertinya sudah, Yah. Tadi Bunda memeriksa kamarnya sudah gelap." "Baiklah, kalau begitu Ayah beres-beres lagi ya? Tidak lucu kalau besok kamar ini masih berantakan." "Iya sudah, Bunda juga mau tidur." "Ya." Lalu tak ada balasan lagi dari Khalisa. Adnan menatap layar ponselnya yang masih menyala, kemudian beberapa pesan dia periksa. Dan perhatiannya tertuju pada salah satu nama kontak yang baru saja ia dapatkan dari Widia sang kakak. Dia mendengus pelan ketika mendapati bahwa pesan tersebut hanya dibaca saja, itu terlihat dari centang dua yang berwarna biru di sudut bawah tulisan. Entah si empunya ponsel yang enggan, atau mungkin suaminya yang membaca pesan tersebut, yang menyebabkannya tidak membalas. Tetapi hal itu cukup membuatnya merasa kecewa. "Kenapa kamu tidak membalas pesan Abag, Fir? Kamu masih marah ya?" Adnan berbicara sendiri. "Sepuluh tahun tidak cukup bagimu untuk memaafkan Abang? Lalu bagaimana Abang akan menghadapimu nanti, Fir?" gumamnya, dan dia sempat berniat untuk mengirimkan pesan lagi sebelum akhirnya menyadari jika hal itu mungkin saja akan menimbulkan masalah bagi Safira. "Bagaimana ini ya Tuhan!" Pria itu meletakkan ponselnya, kemudian meremat rambutnya sendiri. "Semakin lama perasaan ini malah semakin berat saja, padahal sudah begitu lama kami berjauhan. Tetapi hatiku tidak bisa berpaling sedikitpun darinya." Lalu Adnan menjatuhkan tubuhnya di atas tempat tidur. "Bagaimana aku akan menghadapi Safira, dan bagaimana jika nanti pulang kepada Khalisa? Sementara perasaan ini masih saja menyiksa?" Dia mengusap wajahnya, kasar. Semakin lama, apa yang masih bersemayam di hati semakin membuatnya merasa frustasi. Meski setelah bertahun-tahun, nyatanya perasaan itu masih ada. Padahal kehadiran Khalisa cukup mendominasi dunianya sehingga dia mampu melakukan banyak hal ketika sedang bersama perempuan itu. Tetapi bayang-bayang Safira selalu menghantui pikirannya. Dan Adnan tahu, jika di antara mereka memang ada yang belum selesai. Mungkin itulah yang membuatnya tak bisa melupakan perempuan itu meski mereka telah berpisah selama bertahun-tahun dan bersama orang lain. Dan pilihannya kembali ke Bandung adalah untuk menyelesaikan apa yang dirasanya belum usai. Tapi, apakah dia mampu? Karena baru tiba di rumahnya saja, hatinya sudah terasa sesak. Apalagi jika mengingat perempuan itu, dan segala kenangan yang di antara mereka, yang sebagian besarnya pernah terjadi di rumah itu. "Hufftthh!" Adnan meniupkan napasnya di udara sekedar untuk membuat dadanya lega. Tetapi nihil, karena yang dirasakannya justru malah semakin tak karuan. Mengingat di sana, sekitar sepuluh rumah dari tempat tinggalnya merupakan kediaman orang tua Safira. Dan dia sudah merasa tak sabar untuk menemuinya. Meski dia tahu jika perempuan itu sudah tak tinggal bersama Melia karena memutuskan untuk ikut dengan suaminya. "Dan ini pasti akan sulit." gumamnya lagi, dan dia kembali memalasakan diri untuk melanjutkan kegiatannya malam itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD