Richard memperhatikan kekasihnya kembali, mengapa tiba-tiba diam seperti itu dan menghentikan obrolannya seketika. Richard kesulitan mendeteksi apa yang sebenarnya terjadi kepada Marsha. “Sayang?? Ada apa sih? Cerita dong …” tegur Richard ketika Marsha belum jua mengeluarkan sepatah katapun.
Marsha masih melengos mengarahkan wajahnya ke jendela mobil yang berada di samping kirinya. Satu demi satu pepohonan dan apapun yang Richard lintasi, membuat Marsha berpikir, “Apakah selama ini gue adalah orang yang masuk dalam kategori musuh di keluarga Richard!? Makanya saat acara makan malam itu … Ah, sungguh menyakitkan sih kejadian itu. Aku benar-benar baru menyadari kalau—“
“Marsha Sayang, lo kenapa sih? Ayo dong cerita lagi sama gue. Kalau tadi lo jelasin soal pecinta warna biru muda, sekarang jelasin dong gimana karakter orang yang suka warna cokelat. Karena … gue suka warna cokelat!” Richard memancing Marsha untuk mengemukakan obrolan kembali.
Marsha menghela napas. Ia tidak juga berbalik. Dan sudah sekitar lima belas menit di dalam perjalanan, Marsha menemukan sebuah kejanggalan ketika ia menatap kaca spion beberapa kali. Sebuah mobil sport tua keluaran 2000-an berwarna hitam pekat itu terus menghiasi kaca spion yang dilirik oleh Marsha. Awalnya Marsha berusaha tidak berpikir yang aneh-aneh, namun … gelagat mobil yang terus mengikuti dirinya dan Richard itu mengundang pertanyaan Marsha ke Richard.
“Chad … kok gue ngerasa ada yang ngikutin kita, ya?” seru Marsha sembari mengarahkan wajahnya ke Richard.
Richard pun dapat melihat sorot wajah yang ditampilkan oleh Marsha itu begitu panik. “Maksud lo gimana ya, Sayang? Ada yang ngikutin gitu maksudnya setan?! Ya gak mungkin lah pagi menjelang siang begini ada setan gabut yang ngikutin kita,” celetuk Richard yang malah menjadikan informasi dari Marsha itu sebagai candaan.
“Bukan, bukan setan yang ngikutin kita berdua. Tapi … coba lo liat di kaca spion deh. Mungkin lo kenal sama mobil itu. Gue ngerasa dari saat kita keluar apartemen, mobil itu ikutin kita terus,” terang Marsha lagi.
Richard pun menatap kaca spionnya sesuai informasi yang didapatnya dari Marsha. Dan ketika Richard menatap ke kaca spionnya, tiba-tiba saja mobil sport hitam itu tidak nampak di pengelihatan Richard. Richard jadi mengerutkan keningnya. “Lo bercanda ya Sayang? Gak ada kok …” ujar Richard.
Marsha menengok ke kaca mobil belakang, dan mobil hitam itu juga tak nampak di pengelihatannya. “Loh?! Tadi beneran kok mobil itu ada ngikutin kita berdua di belakang. Suer deeeh!”
Richard terkekeh. “Ah, perasaan lo aja kali Yang. Itu karena lo lagi badmood aja jadi kayak ngerasa ada yang ngikutin,” seru Richard yang tak ambil pusing.
“Loh, gue beneran kok. Beneran ada yang ngikutin kita di belakang. Malahan mereka lebih—“
“Sayang, udah deh gak usah berpikir yang macam-macam ya. Lebih baik kita nenangin diri kita masing-masing pergi ke mall dan beli barang-barang yang kita suka. Kayaknya lo ketularan sama gue deh, yang lagi badmood, eh lo nya ikutan badmood juga …” beber Richard kembali.
Marsha melengos lagi, ia gemas karena Richard tidak mengerti apa yang ada di dalam hatinya itu. Marsha yang benar-benar melihat ada mobil sport hitam yang mengikutinya, malah disangkal oleh Richard hanya gara-gara mobil itu tiba-tiba menghilang.
“Gile juga itu mobil, apa si pemilik mengaktifkan mode yang tidak bisa dilihat oleh Richard, ya?! Jelas-jelas gue lihat mobil itu melaju di belakang sini kok! Lah kok pas Richard nengok malah hilang …” pekik Marsha dalam hatinya. Marsha sengaja memekik dalam hati karena kalau marah-marah langsung sama Richard, ntar Richard makin badmood dan nurunin Marsha di pinggir jalan lagi.
“Ya terserah lo mau percaya sama gue apa enggak. Yang penting gue lihat apa yang terjadi di depan mata kepala gue sendiri. Oh iya, gue sebutin ciri-ciri mobil yang nguntit kita dari tadi ya. Jadi itu warnanya hitam pekat di seluruh badan mobilnya, bahkan warna kacanya turut mengikuti. Terus itu ada rooftop di atas mobilnya …” info Marsha.
Namun sayangnya lagi-lagi Richard menganggap omongan Marsha itu lelucon. “Astaga Sayang, hampir semua mobil di kota ini hitam …”
“Gak! Ini beda. Dan yang paling gue ingat itu plat mobilnya B 1234 VN. Ya, bener! Nomor platnya itu … tapi ya balik lagi ke lo mau percaya sama gue apa enggak. Yang penting mobil tua hitam itu gak ngikutin kita lagi, ya masih aman,” lanjut Marsha.
Richard terkekeh sambil mengelus rambut kekasihnya itu, “Marsha Sayangku yang Cantik … udah gak usah diurusin ya hal yang gak penting kayak gitu. Mungkin pemilik mobil itu memang lagi punya tujuan yang sama kayak kita. Sama-sama mau ke mall yang ada penginapannya itu, hehe,” seru Richard seraya mencolek dagu Marsha.
Marsha menghela napasnya. “Ya, semoga saja.”
***
Sementara itu Alana dan Gesya masih mengikuti arah jalan ke mana Richard dan Marsha pergi. Namun, Gesya yang terlalu mendekat, membuat Marsha yang sedang memandang kaca spion itu teralihkan pada mobil tua yang dikendarai Gesya.
“Sya, tunggu deh. Lo kalau mau ngikutin orang, jangan terlalu dekat gini!!!” seru Alana ketika melihat Marsha menajamkan pandangan ke mobil Gesya.
“Apa sih?!” seru Gesya yang tampaknya masih fokus. Ayo fokus Sya, kalau mulai oleng minggir dulu terus minum kopi.
“Iya Sya! Itu lo lihat, perempuan yang lagi sama abang lo itu ngelihatin mobil kita terus dari kaca spion. Ye gue sih gak mikir yang aneh-aneh ya, Cuma … kayak aneh aja gitu kenapa dia ngelihatin kita terus. Atau janga-jangan perempuan itu mulai curiga kalau kita ngikutin mereka berdua!!” Alana pun mengemukakan kesimpulan yang membuat Gesya tertegun.
“Jangan ngomong gitu lah Al! gue ini mencoba ikutin biar gak kelepasan lagi kayak tadi pagi! Biar gue tahu kemana abang Richard dan perempuan itu pergi!” kata Gesya.
Alana menepok jidatnya. “Iya Sya, gue tahu lo mau ngikutin kemana abang lo pergi. Tapi juga harus tahu dong jangan terlalu deket gini, ntar mereka bisa nyadar dan kita berdua kepergok!!”
Gesya mulai mengarahkan kemudinya ke pinggir kiri, guna melihat kaca spion di samping kursi Richard, yang mana kaca spion itu sangat dekat dengan Marsha. Dan benar saja, Marsha menatap dengan terang sekali apa yang ada di belakangnya, salah satunya mobil yang ditumpangi Gesya dan Alana.
“Ah yang lo omongin bener!” CITTTT! Gesya pun segera masuk ke parkiran sebuah rumah makan cepat saji berlogo kakek-kakek tua itu. Gesya yang membelokan stirnya secara mendadak itu, membuat tubuh Alana terguncang ke kiri dan kepalanya terhantam jendela mobil.
“Aduh!” seru Alana dengan spontan.
“Maaf banget ya, Al. Gue gak sengaja. Lo aman aja kan?!” kata Gesya.
“Aman, aman, ya udah lo ikutinnya pelan-pelan, jangan terlalu deket kayak tadi!” kata Alana sembari mengelus jidatnya yang terhantup itu dengan rambut lurusnya.
“Oke, Al!” timpal Gesya.
Gesya mulai melihat dari pinggir kiri ke mana arah mobil yang ditumpangi Richard, sambil pelan-pelan ia mengikuti kembali dengan mulus dan tenang.
"Ingat Sya, jangan pakai emosi, ya!" seru Alana sebelum Gesya seenaknya menancap gas tiba-tiba.
"Hahahaha, aman terkendali kok, Al!" timpal Gesya yang tahu kalau rekan kerjanya di samping itu sangat takut soal ngebut-ngebutan di jalan.
"Nah bagus deh kalau lo sudah ngerti maksud gue. Jadi tuh biar lo ngikutinnya juga enak gak pakai emois, pasti bisa dapat deh kemana abang lo pergi!" tukas Alana lagi.