Makan Malam (2)

1935 Words
Alana mengernyitkan dahinya, ketika ia mobil Gesya berhenti di garasi mobilnya sendiri. “Sya, selama kenal lo, gue tahu banget kalau lo itu tipe orang yang pelupa. Pasti sekarang lo mau ngambil barang lo yang ketinggalan kan?” seru Alana yang sedikit jengkel dengan kebiasaan teledor Gesya itu. “Sok tahu banget sih lo! Enggak ih, ya kita makan malam di rumah gue,” timpal Gesya. “Hah? Se … se … serius? Kok malah di sini, sih? Bukannya lo janjinya tadi mau makan di restoran Jepang?” tanya Alana yang belum sepenuhnya yakin. “Iya, rencana awal juga makan di restoran Jepang, tahu. Tapi katanya Mami gue, semuanya penuh alias kita telat booking,” jawab Gesya dengan perasaan kecewa di wajahnya. “Hah? Mami lo?” Alana mengernyitkan dahinya untuk kedua kalinya. “Ini kita mau makan malam sama Mami lo? Atau sekaligus satu paket dengan Papi dan abang lo? Terus lo dengan reseknya jodoh-jodohin gue sama abang lo, kan?!” Alana bertanya-tanya lagi, dan kali ini bikin ia penasaran. Apalagi soal jodoh-jodohan dengan Richard, Alana sudah hapal dengan gerak-gerik si bocil Gesya yang terus berusaha mendekatkan Alana dengan Richard. “Tuh kan, kenapa lo sok tahu lagi sih Al. Makannya sama mami dan papi gue aja kok. Abang gue gak ikut campur. Udah yuk turun, gue yakin banget perut lo udah disko karena kelaparan,” seru Gesya yang membuka seatbelt-nya dan membuka pintu mobilnya. Namun, perasaan Alana itu sudah keburu curiga. Ia tidak sepenuhnya percaya dengan ucapan Gesya yang terakhir, soal ketikdaksampuran Richard dalam momen makan malam ini. Ya coba saja dipikir pakai logika, gak mungkin sekali jika satu keluarga inti mengadakan acara makan malam, dan melewatkan satu tamu yang mana itu anak sulungnya. Alana berbatin, “Sya, Sya, lo mau ngibulin gue, gagal keles!” Alana mengikuti langkah kaki Gesya menuju dalam rumahnya yang mewah itu. “Selamat malam, Papi, Mami!” sapa Gesya pada kedua orang tuanya, Bu Vivian dan Pak Niko. Sapaan manja dari perempuan berumur dua puluh tahun itu, spontan membuat kedua orang tuanya menatap ke arah Gesya, dan memberikan senyuman. “Hai! Gesya Sayang …” balas Bu Vivian, sementara Pak Niko hanya tersenyum. Pak Niko adalah orang yang sedikit bicara, banyak mikirnya. Berbeda dengan Bu Vivian yang suka heboh sana-sini. “Mamiiiiii …. Papiiiiii,” Gesya memeluk Bu Vivian dan Pak Niko bergantian. Gesya pun tak lupa mencium pipi serta kening dari kedua orang tuanya itu. Sementara Alana masih mematung di depan pintu rumah sambil tersenyum terheran-heran karena tidak ada Richard di meja makan tersebut. “Alana, lo ngapain bengong kayak kambing congek di situ?” seru Gesya menoleh ke Gesya usai cipika-cipiki dengan Bu Vivian dan Pak Niko. “Iya, sini dong, Al. Duduk di kursi yang masih kosong,” timpal Bu Vivian seraya melambaikan tangannya ke Alana. “Kamu gak nyaman ya makan malam di rumah kami?” tukas Pak Niko yang membuat Alana tersentak. “Ah, enggak, Pak. Saya nyaman kok, Pak. Nyaman banget. Tapi kan saya gak keburu masuk karena belum dipersilakan sebelumnya hehe. Dan Gesya udah cepet banget jalannya di depan,” jelas Alana. “OOOOH GITUUUU,” sahut Bu Vivian, Pak Niko, dan Alana secara bersamaan. Mereka juga angguk-angguk dan melirik canda ke Alana. “Hehehe iya, Bu, Pak …” Alana sedikit membungkukan bahunya. “Kalau begitu, silakan masuk, Alana. Sudah ada kursi kosong yang tersedia untuk kamu, tuh,” seru Bu Vivian yang menunjuk kursi kosong tepat di depannya. “Baik, Bu Vivian, terima kasih,” balas Alana dengan lembut dan langkahnya menuju meja makan tersebut. Alana menduduki kursi yang ada di hadapan Bu Vivian. “Terima kasih banyak ya Pak, Bu, sudah mempersilakan saya untuk makan bersama malam ini.” “Iya, Al, sama-sama. Kamu apa kabar? Sudah lama banget nih kita gak ketemu,” tanya Bu Vivian begitu ramah. “Baik, Bu. Ibu sendiri bagaimana?” jawab Alana. “Super baik sih,” Bu Vivian mengangguk. “Tapi … ah sudahlah. Yang pasti baik-baik aja.” “Saya juga baik-baik saja, Al,” timpal Pak Niko tanpa ditanyai. Alana terkekeh, selain Pak Niko itu orang yang sedikit bicara, tapi dia itu suka menimpali obrolan-obrolan orang lain tanpa disuruh. Dan terkadang jua timpalannya itu tidak begitu penting dan mengundang canda tawa. “Syukurlah kalau begitu, Pak,” balas Alana seraya melempar senyum manisnya. “Iya, manusia memang selalu bersyukur, seperti saya …” timpal Pak Niko lagi. “Guys, guys! Gimana kalau kita makan sekarang? Ini perut udah lapar banget kayak ada sesuatu yang nendang-nendang di dalam perut,” seru Gesya ditengah-tengah obrolan tersebut dan membuat semuanya mendelikan mata ke Gesya. “KAMU HAMIL?!” bisa-bisanya Alana, Bu Vivian, dan Pak Niko terbengong-bengong berjamaah. Gesya jadi ikutan bengong. “Kok kalian bertiga bisa berpikiran yang sama sih? Padahal gue kan gak hamil, punya pacar aja kagak! Siapa juga yang mau hamilin gue, si perempuan berisik?” tegas Gesya. “OH, SYUKURLAH …” dan lucunya lagi, Alana, Bu Vivian, dan Pak Niko berkata hal yang sama kembali. Hal itu mengundang tawa dari Gesya. “Punya keluarga dagelan ya gini. Udah ah, makan yuk makan!” Gesya duluan mengambil piring kosong dan tangannya merayap menuju wadah yang berisi nasi putih. “Yuk, Alana, jangan malu-malu, ya. Anggap saja rumah sendiri,” ujar Bu Vivian. “Iya, sebentar lagi kan memang jadi rumah sendiri,” timpal Pak Niko yang gak pakai dicerna dulu kalau mau ngomong. Bu Vivian menyubit paha Pak Niko yang berada di sebelahnya. Untung aja deket, biar nyubitnya bisa sepuasnya! Hihihi. Alana mencoba mengenyampingkan pikiran-pikiran yang menjanggal di kepalanya malam ini. Ia segera mengambil piring, nasi, lauk pauk, seperti yang Gesya lakukan. Yang terpenting rencana malam ini adalah, makan enak, kenyang, dan tidak mengeluarkan duit sama sekali. Uhuy! TANG! TING! TANG! TING! Dentingan sendok dan garpu yang menari-nari di atas piring kaca itu menjadi melodi tambahan selain saxophone yang dimainkan. Keluarga Pak Niko adalah keluarga yang menghargai sebuah momen makan-makan bersama. Walaupun makannya bareng, tapi tidak ada satu pun yang berminat untuk ngobrol. Semuanya asyik di pandangan mereka masing-masing, dengan makanan yang sudah mereka pilih. Selain menghargai sebuah momen, salah satu alasannya adalah takut tersedak. Mereka adalah keluarga berada yang selalu update soal dunia medis, terutama hal-hal kecil untuk menjaga kesehatan. Menelik dari sebuah portal online yang pernah Pak Niko baca, Healthline, menyebut bahwa tersedak makanan itu bisa mengakibatkan iritasi tenggorokan, rusaknya tenggorokan, sampai berhentinya jantung akibat sesak napas. Namun, tersedak juga bisa ringan dan hanya menyebabkan seseorang batuk-batuk. Biarpun ada akibat ringan lainnya, jangan sepelekan tersedak, ya. Kalau makan tetap tenang, jangan banyak bicara, dan kunyahlah sampai makanan itu halus. “Ah, kenyang sekali …” Gesya yang memang kelaparan itu, ternyata selesai paling cepat dibandingkan yang lainnya. Gesya memundurkan tubuhnya hingga bisa menyender di kursi, dan mengelus perutnya yang kian membuncit. Tak lama kemudian, Bu Vivian dan Pak Niko selesai jua. Sisa Alana yang belum menghabiskan makanannya, dan ia tetap berusaha menghabiskannya. Nanti kalau gak habis, disuruh bayar, gimana? Mana duit Alana pas-pasan cenderung kere. “Enak sekali ya makanan kita malam ini,” seru Bu Vivian yang menikmati makan malam itu. Bu Vivian segera mengambil piring kotor Gesya dan Pak Niko, ditumpukannya, dan diletakan di bawah meja makan. Ahelah Bu Vivian udah kayak tamu-tamu yang ada di hajatan, ya. Tiap kali makanannya sudah habis di piring, piring kotornya pasti diletakan di bawah meja atau kursi. “Alana, yang santai saja makannya. Nikmatilah, anggap kamu sedang makan di rumah mertua …” seru Pak Niko yang membuat Alana memberhentikan makannya. Alana meletakan sendok dan garpunya, dan meneguk segelas air mineral. GLEK! GLEK! GLEK! Dan lagi-lagi, Bu Vivian menyubit paha Pak Niko, yang kali ini lebih keras hingga Pak Niko berteriak, “AW! Kenapa sih pakai cubit-cubit segala?” Pak Niko mengelus pahanya. Gesya terkekeh saja melihat pemandangan Bu Vivian dan Pak Niko yang konyol itu. Mereka selalu ingin cepat-cepat membuka pembicaraan soal Alana, yang diharapkan akan menjadi menantunya. Gesya melirik mimik Alana, tampaknya kedua pipinya mulai memerah. “Lo salah tingkah?” bisik Gesya ke Alana. Alana menolehkan sedikit kepalanya ke Gesya, dan melototkan kedua matanya tanpa menyangkal. “Alana, habiskan dulu makanannya, ada yang mau saya bicarakan sama kamu,” kata Bu Vivian dengan sorot matanya yang tajam. Pikiran Alana sudah lain-lain, ia tampak menerka-nerka apa yang akan Bu Vivian katakan padanya. Apakah soal bisnis butiknya yang sampai saat ini masih dalam taraf menengah? Apa soal skill Alana yang sampai saat ini masih biasa-biasa saja yang belum sampai taraf Internasional? Atau … Bu Vivian ingin menagih uangnya yang pernah membayari Alana kuliah sampai selesai? Duh, Alana ini overthinking banget, deh. Tidak mau pikiran itu merusak mood-nya malam ini, Alana langsung menghabiskan sisa-sisa makanan dan minumannya. “Baik, sudah selesai, Bu. Mau bicara soal apa, ya?” tanya Alana yang hatinya sudah deg-degan. “Begini …” Bu Vivian mulai bicara, dan Alana melipat kedua tangannya di atas meja. Udah kayak guru dan siswa di kelas, cuy. “Saya dan Pak Niko sengaja mengundang kamu untuk makan malam di rumah kami pada hari ini. Nah, maksud saya itu hanya sederhana, sih, bahwa kami ingin lebih membangun chemistry kepada kamu. Terutama chemistry diantara kamu dan …. Eh bentar, bentar ya,” Bu Vivian memberhentikan ucapannya di kala d**a Alana makin berdebar mendengarnya. “Pap, sudah ditanya belom?” bisik Bu Vivian ke Pak Niko. Pak Niko cengar-cengir sambil menggelengkan kepalanya. Bu Vivian melotot, Pak Niko sesegera mungkin menjamah ponsel dari kantong celananya. Chad, kamu sudah di mana? Kok jam segini belum sampai rumah, sih? Kita semua makannya nunggu kamu loh …. Tapi bohong. Pokoknya kamu cepetan ke sini, ya. Kami menunggumu semua. Tak butuh waktu yang lama, Richard sudah membalas pesan tersebut. Iya, Pap. Ini gue udah ada di depan rumah, kok. Masih parkir mobil. “Sudah, Mam,” bisik Pak Niko kembali dan memperlihatkan tanda pesan terkirim di layar ponselnya ke Bu Vivian sekaligus balasan dari Richard. “Alana, saya izin melanjutkan omongan saya, ya. Maksud utama dari kami yang mengajakmu makan malam bersama adalah ingin membangun chemistry antara kamu dan anak sulung saya, Richard …” tukas Bu Vivian dengan rasa yang amat tulus. Hal itu bisa dilihat dari sorot matanya yang berkali-kali menajamkan ke arah Alana. Alana terbelalak. Ini benar-benar jebakan untuknya, diajak makan malam hanya untuk mempersatukan dirinya dengan Richard. Alana gak habis pikir, ia dengan mudahnya terjebak di dalam permainan keluarga ini. Alana hanya terdiam, mau ngomong apa juga gak bisa, bibirnya seperti terkunci. “Sebentar lagi anak saya, Richard akan datang …” info Pak Niko yang membuat d**a Alana makin gerudukan di dalam sana. Gerudukan maksudnya deg-degannya gak ada tandingnya, gitu. “Sialan, mana mungkin bisa gue bangun chemistry sama Richard yang jelas-jelas jutek banget sejak pertama kali bertemu. Ah, bakal jadi momen yang kacau, nih!” batin Alana yang memberontak hebat. “Selamat malam, Mami, Papi, dan adikku tersayang!” sapa Richard yang sudah datang dari balik pintu. Richard melambaikan tangannya dengan ekspresi wajah semringah. Dan di belakangnya, sudah ada perempuan yang berukuran tinggi sebahu Richard. Perempuan itu memakai pakaian minim, tanktop berwarna hitam dan rok span berwarna hitam jua. Tampak belahan di bagian dha—dhanya itu membuat Pak Niko dan Bu Vivian geleng-geleng kepala. “Selamat malam, Om, Tante, Gesya dan ….” Perempuan itu auto fokus dengan perempuan yang duduk di sebelah Gesya, sungguh asing. Ini tidak sesuai dengan perkataan Richard, yang bilang kalau acara malam ini khusus keluarga inti mereka, yang mana hanya ada orang tua dan adiknya. Tapi kok ada perempuan lain? Siapa dia? Perempuan berpenampilan minim itu, Marsha, mengernyitkan dahinya sembari memotret wajah Alana di dalam kepalanya.     
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD