HARDER PROMISE

1152 Words
22.30 Waktu Inggris.    Rolfie hela napas panjang ketika melihat entah berapa puluh mainan dan boneka yang berserakan di lantai ruang tamu. Ini semua mainan Angel, gadis kecil itu lah penyebab berantakannya ruang tamu saat ini, karena beberapa waktu tadi ketika kak Nathan dan keluarga kecilnya masih di sini, Angel sempat bermain-main dengan Sheila, anak kak Nathan.    Seisi rumah sudah tertidur kini, kak Nathan serta istri dan anaknya pun sudah pulang, ia tidak menginap di sini seperti mama dan papa. Ia lebih memilih untuk tinggal di sebuah hotel, namun ia menjanjikan bahwa cepat atau lambat, ia serta istri dan anaknya akan menginap di rumah Key.    Rolfie berlutut di atas lantai, mengambil satu per satu mainan-mainan itu dan memasukkannya ke dalam box besar. Ada berbagai jenis mainan, mulai dari puluhan boneka barbie, masak-masakkan, tiruan binatang, lego, kotak-kotak balok, bahkan dua buah mobil-mobilan, dan banyak lagi. Terkadang Rolfie menyesal membelikan Angel begitu banyak mainan, tapi di satu sisi, ia tak mungkin membiarkan putrinya tak melakukan apa-apa di rumah karena sang ibu enggan mengajaknya bermain.    Rolfie perlahan meletakkan semua mainan itu, sangat hati-hati, ia sama sekali tidak ingin menimbulkan suara dari benturan mainan-mainan tersebut yang mungkin saja bisa membangunkan orang-orang di rumah ini.     Rolfie yang berlutut dan menunduk memunguti mainan, tiba-tiba saja langsung tertegun dan mendongak ketika ada sebuah tangan lain yang membantunya memunguti mainan-mainan itu. Satu hal yang ia pikir, Keyrina.    "Mah? Kok belom tidur?" tapi itu hanya mama. Mama tersenyum dan ikut berlutut. "Belom ngantuk, sini mama bantuin," balasnya, lalu lanjut memunguti mainan tersebut.    "Tidur aja, Mah. Udah malem ini, nggak pa-pa nanti Rolfie yang beresin." Mama kembali tersenyum. "Nggak pa-pa, Fie. Seneng deh tadi ngeliat Angel sama Sheila main bareng. Cucu-cucu mama." Rolfie ikut tersenyum, namun tidak menjawab.    Beberapa waktu hanya ditelan oleh sunyi. Mereka berdua fokus memunguti segala mainan itu hingga akhirnya selesai dan Rolfie berhasil menutup box dan meletakkannya di bawah tangga.    "Makasih banyak ya, Mah. Sekarang mama tidur gih, udah malem," kata Rolfie seusai meletakkan box itu.    "Kamu udah ngantuk?" tanya mama.    "Belom sih, Mah."    "Ada tugas kantor yang harus dikerjain?"    "Engga ada." Mama tersenyum. "Kalo gitu sini aja, kita ngobrol," kata mama sambil menepuk sofa di sebelahnya yang masih kosong.    Rolfie tak banyak omong, ia juga tak menolak, ia langsung menuruti perintah mertuanya dan duduk di sebelah mama. Sesudahnya, Rolfie hanya terdiam tanpa ucapan, sejujurnya ia bisa menebak, pasti mama mau menanyakan soal pertengkaran dirinya dan Key tadi.    "Kamu sama Key tadi kenapa berantem?" Benar seratus persen.    "Ada masalah dikit, Mah." Mama memandangi Rolfie yang menunduk. "Mama mau tanya boleh?" katanya. Rolfie lantas langsung mendongak. "Boleh, kenapa?" Mama sempat diam sejenak, lalu. "Aston itu siapa?"    Aliran darah Rolfie berdesir sepersekian detik setelah mendengar nama itu. Ia bungkam, terlihat bingung untuk menjawab apa pada mertuanya ini.    "Mama tau soal Aston dari mana?" tanya Rolfie mengalihkan.    "Key tadi marah-marah kenceng gitu, kedengeran sampe luar kamar. Ada satu nama yang dia sebut, ya si Aston itu. Itu yang jelas bukan nama perempuan." Rolfie menelan salivanya. "Itu temen Key, Mah."    "Temen atau temen?"    "Rolfie juga nggak kenal, jadi Rolfie nggak begitu tau."    "Fie?" Rolfie membisu menerima panggilan itu, ia bahkan tak berani mendongak menatap mata mama.    "Tolong jujur sama mama," lanjut mama.    Rolfie masih terdiam, namun kini ia sudah berani menatap mata mama. Ia bungkam, bibirnya terasa kelu untuk menjawab pertanyaan yang sebenarnya tidak terlalu sulit untuk dijawab. Ia mencoba untuk tidak luluh dengan tatapan mata itu, namun ia gagal.    "Keyrina selingkuh?" tanya mama pelan. Amat sangat pelan. Untuk yang kesekian kalinya, mama membuat Rolfie tak mampu berkutik.    "Fie?" gumam mama kembali. Rolfie masih tak menjawab, hanya mengangguk kecil. Mama terdengar menghela napas, ada sebuah helaan berat semacam kesedihan dari napas itu.    "Tapi mama nggak usah khawatir, Rolfie bakal tetep bertahan sama keluarga ini, mungkin pelan-pelan Rolfie bisa ambil hati Key lagi," kata Rolfie menenangkan. "Mama tolong jangan marah dan hakimin Key soal ini," lanjut Rolfie.    Mama menangis, meski hanya bulir air mata tanpa isakan napas yang berat. Ia memandang menantunya penuh harap dan keprihatinan, mencoba tersenyum, namun gagal. Ia lantas menghapus air matanya dan menghela napas lagi. "Kamu tau nggak, Fie?" Rolfie menatap mama. "Apa, mah?"    "Dulu, kehancuran besar keluarga mama, itu dimulai dari pertengkaran kecil kayak yang kamu lakuin sama Key tadi." Rolfie terdiam, kembali tertegun dan memikirkan seribu kali ucapan mama.    "Kamu juga pasti udah tau, kalo dulu waktu Key kecil, mama yang khianatin papanya Key," ujar mama.    Rolfie lagi-lagi terdiam. Ia tak berani menjawab dalam obrolan seperti ini. Alhasil, ia hanya bungkam, dan terus membiarkan mama bercerita dan mengeluarkan semua isi hatinya.    "Mama yang mulai. Mama yang b******k. Kalo mama nggak selingkuh, mungkin sekarang keluarga mama masih baik-baik aja. Mama nyesel, Fie. Karena kesalahan dan keegoisan mama, anak-anak mama jadi korban. Mama gagal banget jadi istri dan ibu yang baik. Mama sama papa yang bersalah, tapi justru Key dan kakak-kakaknya yang jadi korban."    "Dulu di rumah ini juga, mama berantem sama papa. Mama adu argumen sama papa sampe akhirnya pergi dari rumah. Dan bodohnya mama sama papa, kita ngebiarin Key sama kakak-kakaknya ngeliat kita berantem."    "Mama harusnya bisa lebih bijak dulu, berantem sama papa di tempat yang jauh atau tertutup, di manapun asal jangan di depan Key, Nathan dan Richard." Mama menangis.    "Mama segitu gampangnya nyepelein urusan keluarga, bahkan mama ngerasa bahwa anak-anak mama dulu udah cukup besar untuk bisa mama tinggalin. Padahal waktu itu Key baru empat tahun, dia bahkan belom bisa naik sepeda roda dua, tapi mama sebodoh itu ngelepas tanggung jawab buat dia."    "Fie..." Rolfie yang masih menatap lekat ke arah mama lantas tersenyum kecut ketika namanya dipanggil.    "Kalo Keyrina semakin jauh bergaul sama orang lain, dia juga akan semakin jauh dari keluarga ini. Dia bakal jauh dari kamu dan juga Angel. Mama cuma nggak mau kalo anak mama ngerasain penyesalan besar yang sama kayak mama."    "Mah..."    "Mama nggak mau cucu mama nanti jadi korban dari keegoisan orang tuanya. Mama udah cukup sakit ngeliat anak-anak mama pergi jauh, mama udah cukup sedih ngerasain gimana anak-anak mama sendiri canggung di depan mama. Mama nggak mau Keyrina ngerasain itu juga."    Rolfie yang tak tahan melihat wanita menangis akhirnya memeluk mama dan mencoba menenangkan dengan mengusap-usap pelan punggung dan pundaknya.    "Tolong, apapun alasannya jangan sampe itu terjadi, Fie."    Dibalik peluknya, Rolfie dengan berat hati memasukkan omongan itu ke dalam batinnya. Satu bulir air matanya menetes tanpa suara, mumpung mama tidak lihat karena sedang ia dekap. Setidaknya satu beban itu tumpah lewat air mata.    "Iya, Mah. Pasti Rolfie bakal usaha."    "Usaha aja nggak cukup, Fie."    Dekapan itu dilepas mama. Mata lebamnya menatap sang menantu penuh harap. Ia sama sekali tak tersenyum, namun dari sorot mata itu seakan tersirat sebuah ucapan, semacam;    "Tolong berjanji, Fie."    Rolfie menelan salivanya sembari masih menatap mama lekat. Dua bola mata mereka saling bertemu. Yang satu mata lebam habis menangis, yang satu lagi mata indah yang menyimpan beribu luka. Rolfie hela napas, berkedip sejenak, lalu tersenyum kecil, tapi amat tulus. Hingga kemudian...    "Rolfie janji, Mah." ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD