Alina menoleh pada seorang suster yang mengenakan hijab warna putih itu.
"Saya, saya ada di rumah sakit mana, Sus?" tanya Alina.
"Kamu ada di Rumah Sakit Lestari," jawab salah suster bernama Irma.
“Di rumah sakit Lestari? Duh, sejak kapan saya berada di sini?”
Kepala gadis itu terasa berdenyut. Ia sampai mengarahkan tangannya menyentuh perban yang melilit di kepalanya itu. Alina mencoba untuk duduk tetapi tak bisa. Salah satu suster langsung memutar knop di ujung ranjang agar ranjang yang ditempati gadis itu bergerak naik.
Kedua suster itu saling bertatapan bingung satu sama lain, mereka jadi bingung bagaimana dan darimana harus menjelaskan perihal gadis itu sampai di sana. Alina terus saja mengeluh sakit pada bagian kepalanya, apalagi saat ia mengingat kejadian apa yang menimpa dan membawanya sampai ke rumah sakit itu.
“Sebaiknya kamu istirahat dulu, jangan terlalu dipaksakan, apalagi kamu baru sadar dari koma selama satu bulan,” ucap Suster Irma.
“Saya koma? Selama satu bulan pula?” tanya Alina makin tak mengerti.
Suster Irma mengangguk dengan melayangkan senyum hangat.
"Ada keluarga yang bisa kami hubungi, Nak?" tanya suster Irma.
Alina menggeleng karena ia merasa tak mampu untuk mengingat kejadian apapun yang menimpanya. Ia bahkan tak ingat dengan dirinya sendiri selain kalung dengan liontin nama bertuliskan “Alina” yang ada di lehernya tersebut.
Kring… Kring…
Suara ponsel Suster Irma terdengar berdering. Alina langsung berteriak dan menjerit-jerit kala mendengar suara ponsel tersebut.
“Matikan, matikan!”
Gadis itu berteriak sambil menutup kedua lubang telinganya. Wajahnya tampak ketakutan dan terlihat pucat pasi seperti melihat sosok hantu yang menakutkan.
Para Suster itu langsung kembali memandang satu sama lain dengan panik. Sontak saja Suster Irma langsung mematikan ponselnya dan menenangkan gadis itu.
"Panggil Dokter Ridwan, Ya!" pinta Suster Irma.
Suster Yaya langsung pergi ke luar ruangan memanggil sang dokter. Tak lama kemudian dokter itu datang dan memeriksa kembali keadaan Alina.
"Kelihatannya dia mengalami trauma," ucap sang dokter.
Suntikan obat penenang membuat gadis itu lebih baik dan akhirnya tertidur kembali. Jika hal itu tidak dilakukan gadis itu masih saja akan menjerit ketakutan.
Setelah memastikan kondisi Alina sudah tenang para suster itu lalu pergi dan membiarkan gadis yang terlelap di atas ranjang itu untuk beristirahat.
Hening seketika, ruangan kamar perawatan gadis itu terasa sepi karena dari dua kasur di kamar itu hanya ada dia seorang. Beberapa jam kemudian Alina terbangun. Ia bangkit dan mencoba untuk duduk lalu menyalakan TV.
"Hmmm… hmmm… hmmm… hmmm…."
Terdengar suara wanita bersenandung dari arah samping ranjang gadis itu.
"Suara siapa itu, apa jangan-jangan hanya suara TV ini, ya?” gumam Alina.
Lalu, senandung itu terdengar lagi, kali ini gadis itu mematikan TV. Anehnya, suara senandung seorang perempuan makin terdengar. Dilihatnya sepasang kaki yang mengguncang-guncang dengan posisi duduk berada di ranjang sebelah Alina. Sepertinya sosok itu memakai daster berwarna putih, tapi terlihat kusam dan lusuh.
"Perasaan tadi enggak ada orang, apa pasien baru datang, ya? Umm... maaf, Bu, apa Mbak, ya?"
Alina memberanikan diri untuk bertanya.
"Hihihihihihihihi."
Suara perempuan yang sedang bersenandung itu sekarang tertawa terdengar menyeramkan dan membuat bulu kuduk Alina meremang seketika itu juga kala mendengarnya.
Alina mencoba membuka tirai samping pemisah dengan kasur sebelahnya perlahan-lahan. Tangannya gemetar saat menyentuh tirai tersebut. Sampai perlahan demi perlahan tirai itu tersingkap dan memperlihatkan ranjang di sebelahnya, dia tidak melihat siapapun di situ.
Namun, saat gadis itu mencoba menutup tirai pemisah itu kembali, tiba-tiba…
"Hihihihihihihi...."
Perempuan berdaster lusuh itu sudah berdiri di hadapan Alina. Disekitar mata sosok itu tampak menghitam dengan kedua bola mata merah. Dia tersenyum menyeringai menatap ke arah gadis itu seraya memainkan rambut kusutnya yang berantakan.
"Aaaaaaa... Pergi...!"
Alina berteriak sekuat tenaganya, tetapi anehnya tak ada satupun suster yang datang menghampiri ke kamar saat itu.
"Ka-ka-ka- kamu, kamu siapa?"
Sosok perempuan berdaster lusuh tadi langsung menghilang. Alina menutup kedua matanya, dia yakin betul kalau barusan melihat sosok perempuan. Saat menoleh ke kanan tak ada siapapun tetapi saat ia menoleh ke kiri, wajah perempuan yang sudah berselimut darah itu hadir kembali mengejutkannya.
"Aaaaaaa! Pergi! Pergi!"
Gadis itu melempar sosok hantu perempuan itu dengan bantal. Lagi-lagi dia menghilang meninggalkan tawa cekikikan yang membuat bulu kuduk meremang. Degup jantung gadis itu terdengar sangat kencang bahkan melebihi suara detik pada jarum jam dinding yang terdengar.
"Please... jangan ganggu aku, ku mohon pergilah dari sini, pergilah..." pinta Alina lalu ia berkomat kamit membaca surat Al Ikhlas, karena mirisnya hanya surat pendek itu yang ia tau.
Sosok perempuan itu muncul dari balik pintu kamar mandi. Ia tertawa lagi lalu menghilang entah kemana. Mungkinkah itu sosok kuntilanak seperti yang pernah ia tonton di film - film horor?
Alina berusaha turun dari ranjang dengan menggenggam infus di tangannya. Gadis itu mencari sosok perempuan tadi di kamar mandi, lalu di kolong kasur, kemudian dibalik tirai jendela. Tak ada juga ia temukan sosok perempuan yang tadi.
Gadis itu sesungguhnya ketakutan tetapi ia merasa sangat penasaran. Baru kali itu ia dapat melihat sosok hantu. Hati kecilnya hanya ingin memastikan lagi apa yang dia lihat.
"Itu hantu apa bukan, ya?" tanyanya pada diri sendiri.
"Ngapain, Mbak Alina?"
"Astagfirullah...!"
Suara suster yang datang tiba-tiba itu mengagetkan Alina sampai membuat gadis itu bersandar lemas di dinding.
"Suster mah... ngagetin aja!" seru Alina sambil kembali ke kasurnya.
"Makan bubur dulu, ya, lalu minum obat yang sudah saya siapkan ini,” ucap Suster tersebut.
Alina mengamati tanda pengenal suster bertuliskan “Diah” itu dengan saksama.
“Mbak Alina, saya mau ukur suhu dan tensi darahnya juga."
“Iya, Suster.”
Seorang anak laki-laki berusia kurang lebih lima tahun masuk ke kamar Alina. Anak itu memegangi baju suster itu dan bermain cilukba dengan gadis tersebut dari balik baju sang suster. Wajah bocah itu terlihat pucat.
"Suster, itu anak ngapain di belakang suster pake main cilukba segala sama saya?” tanya Alina.
"Anak yang mana, Mbak?"
Suster Diah terlihat sangat heran seraya menengok ke belakang, ke kanan dan ke kiri, tetapi tidak ada siapapun dia temui.
"Hai! Siapa nama kamu?"
Alina masih fokus pada anak kecil yang mengajaknya bermain cilukba itu.
"Mama."
Anak itu mengucap mama sambil menarik-narik baju suster dan memeluk pinggang suster.
"Mbak, Mbak Alina!" seru suster itu berusaha menyadarkan Alina dari fokusnya.
"Ya, Suster."
"Siapa yang Mbak lihat?" tanya suster Diah yang mulai merasakan hawa merinding pada tengkuknya.
"Dia panggil Suster barusan, Mama."
Jawaban Alina sukses membuat tangan wanita yang menggunakan seragam warna hijau pastel itu mulai gemetar. Ketakutan terpancar di wajah wanita itu saat memperhatikan tingkah laku gadis di hadapannya.
"Suster bawa anak, ya, tuh dia manggil mama lagi katanya sambil nunjuk suster?"
Alina menunjukkan senyuman dengan deretan gigi rapi pada anak itu.
"Mbak, ja-ja-jangan bercanda."
"Bercanda gimana maksud Suster?" tanya Alina tak mengerti.
"A-anak, anak saya sudah meninggal, Mbak."
Alina langsung menoleh pada sosok anak kecil tadi. Benar saja sosok anak itu sudah menghilang. Kini, bukan hanya suster Diah yang gemetar dan ketakutan, tetapi gadis itu juga merasakan hal yang sama.
*
To Be Continue…