"Ma- ma-maaf, saya permisi, Mbak."
Suster itu buru-buru pergi meninggalkan ruangan sampai alat tensi darah tertinggal di atas kasur Alina. Tak lama kemudian suster yang bernama Irma datang ke ruang perawatan gadis itu. Ia segera merapikan alat tensi yang tertinggal berikut dokumen perkembangan kesehatan gadis itu.
"Sus, itu suster barusan kenapa ya, sampai alat tensi ketinggalan dan buru-buru pergi?" tanya Alina dengan tatapan penuh tanya.
Suster Irma memeriksa mata Alina, suhu tubuhnya normal, tekanan darah juga normal. Wanita itu menelisik gadis di hadapannya dengan saksama.
"Kamu lagi enggak mengigau atau berhalusinasi kan, Nak?" tanya suster Irma mencoba mengamati wajah gadis itu dengan saksama.
"Maksud Suster? Saya baik - baik ajak kok, Sus, malahan saking baiknya saya mau tanya kapan saya bisa pulang?" tanya Alina berharap dia segera pergi dari tempat itu.
Perlahan demi perlahan juga ingatan gadis itu membaik. Ia mulai sadar dengan apa yang terjadi sebelumnya.
"Hmmm... begini ya, tadi itu suster Diah yang periksa kamu tadi, dia ketakutan."
"Oh, masalah tadi ya, saya juga nggak ngerti, Sus, kenapa saya bisa lihat anaknya yang sudah meninggal."
Alina menarik selimutnya lebih tinggi, ia takut jika anak itu kembali ke ruangan itu. Ia akan segera bersembunyi di balik selimut itu.
"Apa benar perkataan kamu itu?" tanya Suster Irma.
"Perkataan yang mana ya, Sus?"
"Soal anak tadi yang kamu lihat."
"Kan tadi saya udah bilang saya juga heran dan enggak ngerti kenapa bisa melihat anak itu. Tadi saya lihat anak itu mengikuti suster Diah, makanya saya heran kok suster bawa anak saat memeriksa pasien, kenapa enggak dititipin, terus nanti kalo ketularan penyakit gimana terus—"
"Tetapi anak itu sudah meninggal!" potong suster Irma menegaskan.
"Nah itu, bagaimana mungkin saya bisa melihat anak itu kalau dia sudah meninggal. Apa mungkin anak yang berbeda kali, ya, yang mukanya mirip."
Alina berusaha mencoba pemikiran logis lainnya karena nyalinya ciut juga jika ia bertemu dengan hantu. Apalagi sebelumnya ia melihat sosok yang ia yakini sebagai hantu tadi.
"Apa ini anak yang kamu lihat?"
Suster Irma menunjukkan kalung berfoto yang di dalamnya terpampang wajah anak tadi. Anak laki-laki yang tampan menurutnya. Gadis itu mengangguk membuat raut wajah suster Irma lebih pucat dan panik.
"Iya, itu mukanya mirip banget," jawab Alina.
"Saya akan memanggil Dokter Ridwan kemari dan membawa dokter psikologis untuk kamu."
Suster Irma menarik kalung itu dari hadapan Alina dan menyimpannya di saku kembali.
"Psikolog? Tapi, saya enggak gila, Sus!"
Alina meraih lengan suster Irma.
"Saya enggak bilang kamu gila, saya hanya ingin memastikan kondisi kamu," ucap wanita berusia 40 tahun itu.
"Tapi kenapa harus psikolog, sih?"
"Nanti tanya saja dengan Dokter Ridwan, saya permisi dulu."
Alina memandang suster Irma yang sudah keluar dari ruangannya, dia masih heran dengan penglihatannya bagaimana bisa seseorang yang sudah meninggal dapat ia lihat.
"Tadi kayak lihat hantu perempuan masa sekarang lihat hantu anak kecil, sih. Ini rumah sakit serem banget kali ya, banyak hantunya," gumam gadis itu seraya merebahkan dirinya ke posisi terlentang.
Ia lantas memiringkan tubuhnya ke kiri. Pandangannya lurus mengamati lukisan pedesaan di dinding ruang perawatan itu.
"Hai, Kakak!"
Anak laki-laki yang Alina lihat tadi sudah duduk di kursi yang berada di samping ranjang. Ia menyapa gadis itu dan melambaikan tangan. Anak itu melemparkan senyuman dengan wajah pucatnya.
"Ka-Kamu...."
Sontak saja gadis itu langsung mengalami hilang kesadaran saking takutnya.
*
Seorang pria dengan postur tubuh tinggi, menggunakan kaca mata dan memakai seragam dokter datang ke ruang perawatan Alina sore itu. Ia datang bersama Dokter Ridwan.
"Selamat sore! Halo perkenalkan nama saya Indrawan," ucapnya pada Alina dengan senyum hangat.
Pria itu mengulurkan tangannya pada Alina. Gadis itu mengamati pria di hadapannya itu dengan saksama. Dia melihat nama pada kartu pengenal yang menggantung di saku kemeja seragam dokternya.
"Psikolog, dokter kejiwaan? Oh... berarti kau dikirim menemui aku karena mereka menganggapku gila, ya?" tanya Alina.
Suara Dokter Ridwan yang tertawa terdengar meski langsung ia tahan. Ia lantas menepuk punggung Indra.
"Apa semua pasien yang bertemu dengan dokter jiwa seperti saya itu sudah pasti dianggap gila?" tanya Indra menunjuk dirinya sendiri.
"Bukankah cara kerja dokter seperti itu, menangani para pasien gila," sahut Alina dengan nada ketus.
"Bukan begitu, saya hanya kemari karena ingin berbincang-bincang saja, kok, sekalian kenalan," tuturnya seraya melayangkan senyuman manis.
"Saya capek tau, dari pagi dua orang polisi itu sudah memberondong saya dengan banyak pertanyaan, memangnya Dokter mau tanya apa lagi dari saya?" tantang Alina.
Kedua mata gadis itu menatap tajam ke arah pria yang memperhatikan sekeliling ruangan tersebut.
"Saya hanya ingin berbincang, boleh saya duduk?" tanyanya.
Namun, tanpa menunggu persetujuan Alina, dia sudah merebahkan bokongnya di kursi samping ranjang gadis itu.
"Baiklah kalau begitu saya tinggal kalian berdua, ya, saya masih harus ke ruangan pasien lain," ucap Dokter Ridwan lalu melangkah pergi dari ruangan tersebut.
"Apa Dokter percaya hantu?" tanya Alina tiba-tiba mengejutkan Indra.
"Saya percaya, sih, memangnya kamu benar ya bertemu hantu, seperti pengakuan suster Irma tadi?"
"Benar, aku enggak bohong, mereka ada di sekitar kita," bisik Alina sembari kedua bola mata gadis itu berkeliling mengamati sekitar.
"Apa hantu yang kamu lihat itu menyeramkan?" tanya Indra.
Alina menganggukkan kepalanya.
"Saya ketemu dua, satu seperti kuntilanak, yang satu anak kecil berwajah pucat, hiiiiiy...!"
Alina menutup wajahnya dengan selimut karena takut bertemu dengan para hantu itu lagi.
Tiba-tiba suara ponsel di saku seragam milik Indra berbunyi dan membuat Alina tampak gusar.
"Matikan, matikan ponsel itu!" bentak Alina.
Indra yang tadinya hendak mengangkat sambungan ponsel itu jadi mengamati Alina dan membiarkan ponselnya berdering. Bahkan pria itu bangkit dan mendekatkan ponsel itu ke dekat si gadis.
"Ada apa dengan hape saya?" tanya Indra.
Ponsel itu kembali berdering tepat di telinga Alina. Gadis itu melotot menatap ke arah dokter tersebut lalu meraih ponsel dari tangan Indra dan melempar benda itu ke lantai.
"Lho, hape saya kenapa dilempar?"
Indra menghampiri ponsel miliknya di lantai dan meraihnya.
"Sudah saya bilang, matikan!" bentak Alina.
Wajahnya terlihat pucat ketakutan. Gadis itu menutupi seluruh tubuhnya dengan selimut meskipun sesekali ia mengintip.
"Hape saya jadi mati karena kamu banting, memangnya ada apa dengan hape saya?" tanya Indra.
"Dia, dia akan datang, dia akan membunuh kita semua," ucap Alina dengan nada ketakutan sampai ia tutupi semua tubuhnya dengan selimut sampai ke kepala. Ia menyembunyikan dirinya di balik selimut itu.
Indra masih menatap tak percaya ke arah gadis itu seraya menyalakan ponsel di tangannya kembali.
"Ada apa dengan gadis ini, ckckckc," gumamnya.
*
To be Continue…