Perasaan yang aneh berkemelut di hati Bisma, pemuda itu duduk di sebuah kursi dengan tatapan senduh. Sedih menyadari dirinya tak memiliki satupun kawan yang tulus.
Rizuka dengan telaten menyiapkan alat kesehatan, pertama-tama, Zui membersihkan luka Bisma, dari pipi hingga ke bibir pemuda itu. Lebam karena pukulan terlihat mengerikan. Rizuka sangat berhati-hati agar Bisma tidak kesakitan.
Duwi dan Nana tidak berani masuk dan menganggu mereka, jadilah keduanya hanya sampai di depan pintu dan melihat dari jauh.
“Berantem kayak tadi tujuannya untuk apa sih? Udah gede kan. Mau nunjukin apa?” omel Zui.
Pemuda itu hanya diam tanpa ekspresi, tidak meringis atau mengeluh. Bahkan saat Zui mengoleskan obat merah Bisma tetap bergeming.
“Cowok itu emang sok jago, entah karena gara-gara cewe, atau hal sepele. Persahabatan kalian emang serapuh itu, se b******k-brengseknya kalian. Jangan pernah bawa nama orangtua saat adu otot.”
Hup.
Zui terperanjat, gadis itu kaget dan tegang saat Bisma menangkap tangannya.Cengkraman di tangan membuat Rizuka mengerjap beberapa kali.
Di kejauhan, Nana dan Duwi pun terbelalak. Zui menahan napas saat Bisma menariknya mendekat, tatapan pemuda itu terlihat tajam, sekilas Bisma terlihat marah. Rizuka menelan salivanya berulang kali.
“Lo cerewet, gua nggak minta lo ceramah.”
Bisma melepas tangan gadis itu lalu meninggalkannya. Pemuda itu keluar dari ruangan walau lukanya belum selesai diobati.
"Eh tunggu dulu,"
Duwi dan Nana segera bersembunyi saat Bisma melalui mereka.
Pikiran Bisma melayang saat ini, luka di wajahnya akan membuat masalah baru saat dia tiba di rumah.
Duwi dan Nana segera menghampiri Zui setelahnya.
“Zui, kamu nggak apa-apa?” tanya Nana khawatir.
Gadis itu mengangguk, raut wajahnya terlihat sendu. Duwi dan Nana mengerti bagaimana perasaan Zui.
“Emang rada eror tuh, Bisma. Di tolongin bukannya bilang makasih malah ngatain.” Nana tampak kesal setelah merasa takjub dengan pemuda itu.
“Udahlah, salah gue juga ikut campur dalam masalah mereka.”
“Eh, tapi tadi itu keren banget tahu nggak, Zui kok lo bisa berani banget kayak tadi. Mana narik Bisma kayak narik bocah, haha haha," tawa Duwi mengudara. Nana tidak tahan untuk tidak tersenyum.
“Masa sih, perasaan gua tadi biasa aja.”
“Lo sadar nggak, lo tadi ikut campur dalam masalah The Genk cokay-cokay paling senga di sekolah kita.”
“Cokay?” Zui tidak bisa menafsirkan ucapan Duwi.
“Iya, cokay. Cowok kaya, belagu, anak pejabat yang memiliki kekuasaan. Aneh loh Zui, hanya lo yang nggak di kenal sebagai anak pejabat di ....”
“Hussh!” Zui memperingatkan Duwi dan Nana.
Kedua sahabatnya otomatis terdiam.Zui tidak suka orang lain tahu siapa Ayahnya. Walau sang Ayah sering mengantar ke sekolah. Mahendra hanya berhenti di luar.
"Oh oke, sorry."
**
Bel berbunyi.
Ting ting ting.
Pembicaraan mereka terjeda.
“Udah, bel tuh, buruan nanti Pak Kris nyariin!” Nana berlari terlebih dahulu.
Mereka segera bergegas menuju ke kelas, Bisma sedang berdiri di depan di samping Pak Kris saat Nana dan yang lainnya masuk.
Semua murid menatap ke Bisma yang berdiri mematung.
“Kalian dari mana?” tanya Pak Kris pada Zui dan teman-temannya.
Duwi dan Nana cengengesan, mereka tak punya alasan kenapa terlambat datang.
“Maaf, Pak.”
Mereka langsung duduk di kursi masing-masing. Pak Kris menatap Bisma dari kaki hingga kepala.
“Ada yang tahu kenapa Bisma bonyok seperti ini?” tanya sang wali kelas.
Pak Kris baru saja kembali dari rapat, dia dan guru yang lain tidak tahu perkelahian yang telah terjadi di lapangan. Semua orang diam dan tidak berani bersuara.
“Kenapa diam saja? Tidak mungkin kan teman kalian berantem nggak ada satupun yang lihat!”
Pak Kris geram melihat siswa didiknya. Bukan karena takut akan keluhan orangtua mereka, sekolah lebih takut jika murid mereka menjadi preman dan lupa jika mereka orang yang terpelajar.
“Mau jadi apa kalian! Mau sok jago? Adu otot itu nggak berguna. Sekarang jamannya manusia bertahan dengan kecerdasan. Bukan dengan seperti ini, kalian sebagai murid saya, harus cerdas. Berantem sampai babak belur begini buat apa?”
Siswa yang lain tertunduk.
“Kembali kamu Bisma, bapak nggak mau lihat kamu berantem sampai babak belur seperti ini lagi.”
Bisma mengangguk pelan, malu tentu saja. Siapa yang suka di ceramahi di depan semua orang. Apa lagi dengan kondisi Bisma yang sekarang.
Perlahan pemuda itu menuju ke kursinya, pandangan pemuda itu bertemu dengan Rizuka. Gadis itu merasa kasihan melihat Bisma, sorot mata yang peduli membuat Bisma jengah dan membuang pandangan. Dia tidak suka mendapati dirinya di remehkan dengan cara itu.
“Silahkan kerjakan halaman 45 hingga 53.”
“Ya, Bapak. Banyak banget, Pak. Sebentar lagi waktu pulang, nggak ke kejar,” seru salah satu dari siswa yang hadir.
“Iya, Pak. Banyak banget!”
Pak Kris menatap Bisma yang membuka buku pelajarannya.
“Itu hukuman untuk kalian, siapa suruh tidak mau jujur tadi, kerjakan semuanya, jika ada yang tersisa silahkan kerjakan di rumah. Bagi yang tidak bisa selesai tepat waktu, hukuman kalian ditambah dua lembar tugas. Jadi selesaikan sebelum pulang jika tidak mau tambah capek.”
“Ya, Bapak. Makin banyak dong.”
Nana dan Duwi segera membuka buku mereka dan mengisi jawaban yang di perintahkan. Bisma pun demikian. Tidak ada suara atau sekedar ingin meledek. Zui merasa ini tidak normal. Bisma yang ada di belakangnya sekarang seperti bukan Bisma yang dulu.
**
Waktu berlalu dan Pak Kris sudah berdiri tegak di depan mejanya.
“Oke, yang sudah selesai. Silahkan di kumpulkan, yang belum ingat tambahan tugasnya di selesaikan PR ini akan bapak periksa besok.”
“Besok libur, Pak!” seru salah satu murid lelaki yang telah mengankat tangan tinggi-tinggi.
“Oh, iya. Maaf, bapak lupa.”
Nana lebih dulu merapikan barang-barangnya dan maju membawa tugas yang sudah selesai.
“Guys, gue duluan.”
Duwi dan Rizuka hanya menaikan jempol mereka sebagai kode. Nana menyerahkan tugasnya pada Pak Kris dan menunggu di luar. Satu per satu siswa dan siswi maju ke depan. Nana melihat Bisma melaluinya.
“Apa dia juga sudah selesai?” ucap gadis itu heran.
Bel berbunyi.
Serentak semua siswa keluar berhamburan, Zui dan Duwi menghampiri Nana dengan santai.
“Ciye, yang duluan selesai.” Rizuka dan Duwi menggoda Nana.
“Itu nggak penting, yang penting adalah. Apa Bisma menyelesaikan tugasnya tadi?”
Rizuka dan Duwi berjalan meninggalkan Nana dengan rasa penasarannya.
“Eh, kok ditinggal sih?” keluh Nana.
“Pertanyaan lo juga sih. Bisma kan keluar hampir bersamaan dengan elu, Na. Otomatis udah selesai dong, kenapa lo tanya lagi?” Duwi menatapnya gemas.
Nana menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
“Ya, nggak nyangka aja. Berarti bener doang, kalau dia udah jago."
Langkah ketiga gadis itu terhenti saat mobil Bisma melaju dengan kencang.
"Tu cowok bener-bener deh, kadang ngeselin, kadang nggak bisa di tebak."
"Udah sih, Na. Biarkan saja, kita tidak tahu apa aja yang sudah dia lalui," timpal Duwi sok Bijaksana.
Zui dan Gengnya berpisah di sekolah. Mereka melanjutkan perjalanan masing-masing.
"Ya udah, gua cabut duluan ya, bye bye." Rizuka melambai dengan tersenyum.
"Bye, hati-hati!"
**
Bisma mengemudi dengan santai,
berulang kali dia melihat pantulan dirinya di kaca spion. Jelas luka itu tidak bisa disamarkan.
“Sudahlah, gua hanya perlu segera naik ke kamar saat tiba di rumah. Tdak perlu bertemu dengan yang lain.” Rencana Bisma sudah cukup matang untuk menghindari cerama panjang yang akan di hadapinya.
Sialnya, dalam perjalanan pulang. Mobil Bisma di hadang dijalan sepi.
Pemuda itu menatap ke depan dengan heran, mobil hitam dengan bak terbuka melintang di tengah jalan.
“Apa-apaan ini.” Pemuda itu bergegas keluar untuk memeriksa. Tidak ada siapa-siapa di sana.
Bisma tidak menaruh curiga sekalipun. Dia juga tak pernah punya pengalaman di cekal sebelumnya.
Riki dan yang lain keluar dari balik mobil. Seringai licik terpampang di wajah pemuda-pemuda itu.
“Lo pikir nih jalanan punya nenek moyang lo! Pinggirin tu mobil sekarang!” ucap Bisma tegas.
Riki dan yang lain menertawainya.
“Haha haha haa. Lo, nyuruh siapa di sini, ha!”
Bisma tidak ingin meladeni mereka, dengan cepat Bisma berbalik arah untuk kembali ke mobil. Riki yang melihat hal itu tidak terima.
“Tunggu apa lagi, tangkap dia bego!” ucap Riki kesal. Andra dan Tomi segera menghampiri Bisma dan memegang tangan pemuda itu.
"Apa-apaan lo pada!"
Bisma berontak, apa yang di lakukan teman-temannya sudah sangat keterlaluan.
“Lepas, nggak!” teriak Bisma.
Riki mendekat dengan senyum mengembang, Ryan sudah siap dengan pemukul bisbol.
“Lo nggak akan kemana-mana, Bis. Sebelum lo tarik omongan lo soal Band kita.”
Bisma tersenyum kecut, ya, inilah alasannya. Terlanjur populer dengan nama besar GrandZi membuat Riki dan yang lain ingin memilikinya.
“Lo pernah lihat gua berubah pikiran sebelumnya. Itu bukan gaya gua?” ucapan Bisma memantik amarah lawannya.
“Oke, kalau lo masih kekeh. Hajar dia Yan, kalau perlu sampai dia nggak bisa jalan. Gua yakin, dia nggak akan bisa manggung jika kedua kaki dan tangannya patah.”
Bisma terbelalak mendengarnya.
"Kalian gila!" Bisma berusaha melepaskan diri.
“Lo nggak akan bisa ngelawan, sebaiknya lo nurut sama kita, Bro.” Ryan menatap Bisma angkuh.
Ego dan harga dirinya tidak membuat Bisma menarik ucapannya.
“Dalam mimpi, pun. Hal itu nggak akan pernah terjadi.”
Putus asa membujuk rekannya itu, Andra pun angkat bicara.
"Apa cewek-cewek itu berhasil mengubah lo, hanya sehari dan lo bisa mengacuhkan kami. Itu sangat a***y nggak sih!"
Bisma menatapnya jijik.
"Ya, bisa jadi. Siapa sangka Bisma yang keren di atas panggung bisa takluk sama kutu buku."
Telinga Bisma mulai panas.
"b******k! Gua akan memastikan, kalian akan mendapatkan akibatnya setelah ini!" seru Bisma.
"Banyak bacot!" Ryan menghantam kepala Bisma dengan pemukul bisbol yang ada di tangannya.
Hanya sekali pukulan, Bisma ambruk dengan kepala terluka.
Darah segar keluar dan Bisma terkapar tidak sadarkan diri.
Riki dan yang lainnya panik melihatnya.
"Apa yang lo lakuin, Yan!" Gengnya menatap Ryan kesal.
"Apa! Lo minta gue patahin kaki dan tangannya, gue cuma pukul kepalanya."
Riki meremas rambutnya dengan putus asa.
"Itu hanya ancaman g****k! Nggak serius!"
Tomi dan Andra ketakutan, mereka segera kembali ke mobil dan berusaha melarikan diri.
"Hey, mau kemana kalian!" Riki melihat Gengnya bubar.
"Kita nggak mau bertanggung jawab, bukan kita yang buat Bisma celaka."
Tomi dan Andra pergi dari lokasi. Ryan masih mematung sedang darah sudah merembet kemana-mana.
"Lalu, bagaimana dengan dia!"
"Semua ini salah lo Yan! Gua nggak mau ikut campur!"
Riki pun bergegas.
Ryan menatapnya kesal.
"Jangan kabur lo!"