Berita kematian Mahendra menyebar dengan cepat, lokasi pembunuhan ramai diliput oleh media karena ayah Zui adalah salah satu staf yang bekerja di kantor Walikota.
Zui masih terpejam di kamarnya. Sepulang dari Rumah Sakit, Ibunda Zui tidak membangunkannya dan membiarkan putrinya istrahat. Rihana berada di ruang tengah, wanita itu terjaga semalaman dan tidak memasuki kamar. Kenangan akan sang suami terus terbayang, apalagi saat Mahendra pulang bekerja, ayah Zui selalu mengajaknya bercanda.
[Berita duka datang dari kantor walikota, salah satu staf di bawah kepemimpinan Bram Angkasa baru saja meninggal dunia. Di temukan jasad Mahendra, salah satu staf yang di kenal ramah dan santun, terkapar di pinggir jalan dengan luka tusukan, siapa pelakunya masih dalam penyelidikan pihak kepolisian.] Acara di televisi membuat Rihana tertegun.
Media meliput jalanan itu, Rihana melihat semuanya. Begitu juga dengan noda darah yang masih berada di sana.
Rizuka yang baru bangun, berjalan perlahan mendekati sang Ibunda. Tangan lembut itu menyentuh bahu Rihana.
“Bunda nggak tidur?” tanya Rizuka.
Rihana mendongak dan berusaha tersenyum, namun hal itu tak dapat dia lakukan. Rihana pucat dan lemah. Senyum itu hilang bersama kematian sang suami.
“Bunda, siapapun pelakunya. Zui janji akan mencari tahu semuanya. Zui janji akan menemukan orang itu walau Zui nggak tahu apa-apa sekarang.”
Tangis Rihana berlinang, wanita itu memeluk putrinya erat. Hanya Zui satu-satunya penyembuh baginya sekarang.
Rihana melupakan janjinya untuk tidak menangis, rasa kehilangan itu masih melekat kuat membuat mereka sesugu kan tak berdaya melawan takdir.
“Kita akan hadapi dunia bersama, Bunda. Jangan pernah ninggalin Zui seperti ayah yang pergi begitu saja.”
Rihana mengangguk, dengan tangis yang masih berderai, Rihana mencium kening Rizuka lama, menjadi orangtua tunggal bukanlah mudah. Tapi Rihana memikirkan segalanya mulai sekarang.
Bel berbunyi.
Ting, ting, ting.
Rizuka dan Rihana saling pandang. Teras mereka kini penuh oleh tetangga dan kerabat yang datang untuk melayat.
“Tunggulah Bunda, biar Zui yang buka pintunya.”
Rizuka bergegas ke depan, perlahan dia membuka pintu dan melihat semua orang menatap ke arahnya.
“Assalamualaikum,” ucap salah satu wanita yang berdiri di hadapannya.
Rizuka mundur satu langkah, satu per satu karangan bunga turut berbela sungkawa bersender rapi di pagar rumah. Rizuka menangis haru, kedua sahabatnya berada di sana dan langsung memeluknya.
“Wa’alaikumusalam, silahkan masuk, ibu-ibu.” Duwi membawa Rizuka menjauh dari keramaian.
Sedang ibu-ibu langsung mendekati Rihana yang tengah melamun, kondisi wanita itu terlihat sangat memprihatinkan.
“Jeng,” sapa tetangga-tetangga Rihana.
Wanita itu mendongak, air matanya kembali pecah melihat semua orang yang hadir untuk menguatkan dirinya.
“Sabar, Bu. Masih ada kami yang akan menemani Ibu bersama Zui."
Tetes air mata kesedihan itu seolah tak habis-habis.
"Terima kasih sudah datang, bu- ibu."
"Sama-sama Bu Rihana. Jika perlu sesuatu, atau apapun. Kami selalu ada."
Kediaman Mahendra ramai seketika, teman-teman kantor sang suami datang satu per satu menunggu jenazah rekan mereka datang dari rumah sakit.
Pak Adri dan rekan yang lain, sangat kehilangan sosok yang di anggap sebagai tetua yang menasehati mereka kala keterlaluan dalam bersikap. Bagi mereka, Mahendra sudah seperti saudara sendiri.
“Nggak nyangka, jika pertemuan kemarin adalah kebersamaan kita yang terakhir kalinya,” ucap Papa Andra.
Kursi disusun rapi di halaman rumah, teman kantor Mahendra duduk di sana sambil menunggu jenazah datang.
“Aneh nggak menurut kalian?” tanya Pak Syamsul.
Pak Adri dan yang lain mendengarkan dengan wajah penasaran.
"Aneh, kenapa?"
“Video itu di ambil tepat dibelakang kita, tapi tidak ada yang menyadari hal itu, begitupun saat kita pulang. Ban kendaraan kita ada yang isengi. Nggak menutup kemungkinan ini di rencanakan.”
“Hussh!” Pak Adri mengingatkan rekannya. Sangat tidak sopan untuk menduga-duga saat ini.
“Jangan sampai hal ini di dengar oleh keluarganya. Kita pun tidak tahu siapa pelakunya.”
Orang yang berdatangan semakin ramai, Pak Adri dan rekannya celingak celinguk seolah takut ketahuan.
“Masalah ini sangat serius, Pak Mahendra di bunuh. Bukan kecelakaan. Saya takutnya, salah satu dari kita akan menyusulnya.”
Pak Adri tercengang mendengar ucapan Pak Syamsul.
“Maksud Bapak apa? Kenapa pikiran Bapak bisa sampai di sana?” Pak Adri kesal.
Orangtua The Genk Bisma itu saling menatap satu sama lain. Cemas, tentu saja.
“Ingat, semua ini awalnya karena video pertama. Kita mendatangi Arga karena anak-anak kita di pukuli dalam video itu. Tapi, sekarang berbeda. Putri Pak Mahendra tidak melakukan apa-apa, lalu kenapa Pak Mahendra dibunuh?”
"Jangan berasumsi seenaknya, Pak. Takutnya jadi fitnah!"
Semua orang terlihat tegang.
“Saya sudah memikirkan hal ini semalaman, saya mendapat kabar jika Pak Mahendra mati mengenaskan lewat ponsel.”
Flasback on.
Setelah berhasil merenggut nyawa Mahendra, orang misterius itu mengirim foto Mahendra yang sekarat pada orangtua The Geng Bisma.
Pak Syamsul menyadari jika ini di lakukan dengan sengaja. Hanya saja, dia berpikir hanya dirinya yang mendapatkan foto itu.
Flasback off.
“Saya juga mendapatkan foto yang sama. Orang ini gila, kita harus menceritakan semua ini pada polisi,” usul Pak Adri.
Bersamaan dengan itu, sirine terdengar nyaring semakin jelas. Mobil Ambulance di kawal oleh kepolisian tiba di rumah.
Pak Syamsul menyenggol lengan Pak Adri.
“Jangan lakukan apapun, kita tidak tahu apa yang akan terjadi jika kau melakukannya. Jika Pak Mahendra tewas secara brutal seperti ini, saya tidak bisa bayangkan jika kita juga menyusul beliau dengan nasib yang lebih mengerikan.”
Pak Adri memucat mendengar ucapan Pak Syamsul. Terpaksa lelaki itu mengurungkan niatnya, Rihana dan Rizuka keluar rumah setelah mendengar suara mobil berhenti tepat di halaman rumahnya.
Mobil Ambulance parkir dan di kelilingi oleh banyak orang. Rizuka yang lemas jatuh pingsan, daya tahan tubuh gadis itu memang berbeda. Zui tidak sekuat seperti remaja pada umumnya.
“Zui, sayang. Ya Allah.” Rihana menepuk pelan pipi putrinya.
“Zui, bangun.” Nana dan Duwi mengusap tangan Zui. Gadis itu tidak bergerak sama sekali.
Guru dan wali kelas Zui, datang bersama murid-murid dari sekolah yang sama. Duwi dan Nana sudah mengabarkan tentang musibah itu, sekaligus meminta izin untuk tidak masuk sekolah hari ini.
“Anak-anak, bantu bawa Rizuka ke dalam,” ucap Bu Vita.
Teman laki-laki Zui bergegas mendekat.
“Baik, Bu.”
The Genk Bisma ikut hadir di tempat itu, melihat ayah mereka berada di tempat yang sama membuat Riki dan yang lainnya kaget.
Pak Adri hanya melirik putranya. Tidak ada sapaan yang terjadi, Teman-teman Zui langsung masuk ke dalam rumah. Tiba peti jenazah Mahendra akan di turunkan dari ambulance.
“Pak, maaf.” Pak Adri yang ada di tempat itu menahan perawat yang membuka pintu belakang ambulance.
Polisi mendekat, Pak Syamsul dan yang lainnya was-was melihat apa yang akan di lakukan rekannya itu.
“Ada apa? Kenapa Bapak menahan jenazah di turunkan?” tanya Pak Polisi.
Rihana menatap Pak Adri dan polisi itu.
“Maaf, Pak. Bisakah ambulance tetap tinggal. Hanya sampai pemakaman selesai, keluarga baru mengurus semuanya. Mungkin sebentar lagi akan selesai, jika di turunkan di sini, mereka akan kesulitan membawa jenazah ke permakaman.”
Polisi itu memikirkan hal yang sama.
“Baiklah, akan saya sampaikan pada petugas Rumah Sakit.”
Rihana lega mendengarnya, ya, dia memang belum mengurus pemakaman untuk sang suami. Pak Adri mengetahui hal itu setelah mendengar pembicaraan para tetangga Rihana yang ribut membahas hal itu di belakangnya.
**
Bisma kecolongan, saat jatuh pinsan dia baru saja bangun pagi ini. Arga menungguinya di samping brangkar dengan sabar.
“Selamat pagi, Bis," sapanya setelah melihat sang adik bangun.
Bisma yang baru membuka mata, menatap ke sekeliling, ingatannya berputar pada Rizuka yang tengah mendapat musibah.
“Apa gua sudah bisa pulang?” tanyanya cepat.
Arga terlihat begitu dingin.
“Untuk apa? Kau masih sakit, Dokter harus terus mengawasimu.”
Arga terlihat kesal dan acuh.
“Teman sekelas gua baru mendapatkan musibah, gua ingin hadir di pemakaman ayahnya.”
Arga tercengang mendengar ucapan adiknya.
“Bagaimana kau bisa tahu?” tanya Arga menyelidik.
Tidak ada tv di ruangan itu, bagaimana Bisma tahu soal Mahendra.
Bisma membuang wajah ke arah yang berbeda.
“Apa itu penting, gua akan ke sana boleh atau tidak, gua nggak peduli.”
Rahang Arga mengeras, kepalan tangannya terlihat. Pemuda itu berusaha sabar menghadapi sang adik.