The Geng Bisma berkumpul di kelas dan duduk di bangku Bisma. Mereka kehilangan akal karena Bisma mematikan ponselnya sepanjang waktu. Cara terjitu yang bisa di lakukan Riki dan kawan-kawan adalah menunggu Bisma datang ke sekolah.
Tidak ada satupun di antara mereka yang satu kelas dengan Bisma, mereka terbagi dan terlihat aneh saat Zui dan Gengnya memasuki ruangan.
Murid yang lain ikut heran melihat, Riki, Andra, Tomi dan Ryan yang duduk di atas bangku. Kaki Ryan, salah satu teman Bisma menginjak kursi tempat di mana Zui akan duduk.
“Maaf, ini tempat gue.” Zui menatap Ryan lekat.
Geng Bisma itu terkenal badung, bahkan sebelum Bisma datang ke sekolah itu.
“Terus, masalah sama gua apa?” tanya Ryan memancing kegaduhan.
Nana dan Duwi tidak berani mencari masalah, mereka tahu pasti jika mereka adalah anak-anak para pejabat di kota itu.
“Sepatu jelek lo nginjak bangku gue!” ucap Zui lantang.
Tadinya gadis itu ingin menegur dengan baik, tapi balasan Ryan tidak menunjukan rasa hormat.
“Belagu lu, ye!” Ryan melompat dari bangku dan mendekati Zui.
Bisma baru saja tiba, langkahnya terhenti sebelum Gengnya melihat. Pemuda itu penasaran kenapa Zui bisa berhadapan dengan teman-temannya.
“Lo, siapa sih, ha!” Ryan mendorong bahu Zui dengan telunjuknya. Reflek gadis itu mundur beberapa langkah.
Nana yang tidak terima melihat Zui diperlakukan seperti itu, berusaha menolong sahabatnya.
“Lo yang siapa? Ini kelas kita. Lo ngapain ke sini. Kalau lo mau ketemu Bisma sana di luar!” tekan Nana.
Riki, Tomi dan Andra segera turun dari bangku dan menghadapi kedua gadis itu.
“Wih, mangsa baru nih. Nggak nyangka Bisma punya mainan bawel di kelasnya, bisa menjadi hiburan buat kita, sebelum Bisma datang,” seru Andra.
Murid yang lain hanya menonton tanpa berani membantu Zui.
“Maksud kalian apa? Kalian yang lebih dulu nggak sopan.” Duwi pun mendekat ke samping Zui.
“Wow, nambah lagi, Bro!” Riki kegirangan melihat ketiga gadis itu.
“Eh, cewek rese bin cerewet! Lo pada tahu nggak siapa kita?” tanya Ryan senga.
“Apaan? Emang lo siapa anak sultan!” Nana bersungut menatapnya.
“Hehe, dia nggak tahu siapa kita, Bro.”
“Wajarlah, lo nggak lihat dandanan mereka. Cewek culun dan kutu buku mana tahu kita siapa,” Andra menimpali dengan terkekeh.
Nana yang paling emosian di antara ketiganya geram di katai kutu buku.
“Tahulah, kita siapa lo pada.”
Wajah Ryan dan Gengnya menatap ke arah Nana.
“Lo berempat, cowok blangsak bin nggak ada nyali, alias nggak bisa milih lawan yang tepat. Apaan lo mau ribut sama cewek. Udah bukan kelas lo, nyolot lagi.”
Zui dan Duwi terbelalak mendengar ucapan Nana.
“Nana, huss.” Zui mengingatkan sahabatnya agar tidak berlebihan.
Suasana menjadi tegang karena Geng Bisma menatap mereka dengan tatapan yang entah. Tatapan itu membuat semua yang melihat sadar. Jika Ryan dan teman-temannya akan berbuat gaduh.
“Blangsak, lo bilang!” Ryan maju beberapa langkah, pemuda itu akan menjambak Nana namun di halangi Zui. Gadis itu menutup kedua matanya bergidik membayangkan tangan lelaki itu menarik rambutnya.
“Benar kata mereka, kalian nggak punya malu,” ucapan Bisma membuat Gengnya semakin geram.
Zui membuka mata perlahan, Bisma berhasil menahan tangan Ryan tepat pada waktunya. Napas Zui terengah, gemetar melihat Ryan yang melotot ke arah Bisma.
“Yang benar saja, lo belain mereka, Bis?” tanya Riki tidak percaya.
Bisma mendorong tangan Ryan dengan sedikit kekuatan hingga membuat pemuda itu meringis dan mundur menabrak Andra yang berdiri tepat di belakangnya.
“Kasar tau nggak lo.” Riki membela Ryan.
Bisma berdecak, Gengnya sangat pandai memutar balikan fakta.
“Lo, kira yang barusan lo akan lakuin ke mereka nggak kasar. Lo ngapain di kelas kita?” Zui dan Nana mengerjap beberapa kali.
Bisma yang ada dihadapannya kini, terlihat berbeda.
“Bangun kalian! Ryan, Andra.” Riki dan Gengnya berdiri.
“Emang salah jika kita ke sini, Bis. Kita temen lo, jangan lupa hal itu,” ucap Tomi.
Bisma melempar ranselnya ke atas meja, yang di lakukan pemuda itu membuat Gengnya terlonjak kaget. Riki mengira Bisma akan menghajar mereka dengan ransel itu.
“Keluar, awas kalau kalian berani ke sini lagi.”
Bisma mengusir dengan wajah datar yang terlihat mengerikan. Pemuda itu terlihat sangat kecewa membuat Riki paham di mana letak kesalahannya.
“Oke, kita keluar sekarang. Tapi, lo harus janji akan bicara dengan kita nanti.”
Bisma tidak mengiyakan ucapan Riki, semua yang menyaksikan kejadian tadi, ikut deg-degan.
“Ayo cabut!” Satu per satu pemuda itu meninggalkan ruangan. Ryan sempat melotot ke Nana karena kesal.
Bel berbunyi, serentak semua siswa masuk ke kelas masing-masing. Nana memeluk Zui yang rela berkorban untuknya.
“Terima kasih, Zui.”
“Sama-sama.”
Bisma kembali ke bangkunya dengan santai, Zui yang telah ditolong merasa tidak enak jika tidak berterima kasih dengan pemuda itu.
Baru selangkah kaki Zui mendekat ke arah Bisma, Pak Kris sang wali kelas telah masuk untuk memulai pembelajaran.
“Selama pagi Anak-anak,” sapanya.
Zui kelabakan dan segera duduk di kursi.
“Pagi, Pak.”
Pak kris menjelaskan pelajaran yang akan berlangsung. Zui hanyut dalam pikirannya tentang Bisma. Aneh menurut gadis itu karena Bisma mau pasang badan untuknya dan Gengnya.
‘Apa benar yang di ucapkan Bu Vita? Bisma memang tidak senakal itu, tapi selama ini dia begitu kasar, lalu apa yang dia lakukan sekarang?’ batin gadis itu bertanya-tanya.
Bisma kini berubah menjadi cowok paling keren di mata Duwi dan Nana. Apa yang dilakukan Bisma membuat mereka kagum, walau seringkali mereka terang-terangan meledek dan mengatai Bisma. Lelaki itu tidak menyimpan dendam dan memihak pada Gengnya.
Perubahan Bisma dalam pelajaran pun membuat para guru memberi perhatian khusus.
Kemajuan yang di raih Bisma perlahan membuat sekolah merasa bangga karena hati pemuda itu tergerak untuk maju.
“Baiklah, Anak-anak. Adakah yang ingin menjawab pertanyaan di atas?” tanya Pak Kris setelah menulis soal di papan tulis.
Semua murid menatap ke depan kecuali Bisma yang tertunduk acuh.
Pak Kris iseng memanggilnya.
“Bisma, coba ke depan dan selesaikan soal matematika ini,” ucap Pak Kris dan menatap pemuda itu.
Semua mata menatap Bisma. Pemuda itu enggan maju ke depan. Lama tidak bergerak membuat Zui menoleh ke belakang.
“Apa yang lo lakuin? Pak Kris nyebut nama lo, Bis.”
Bisma menatap Rizuka, tidak biasanya gadis itu peduli.
“Bisma, apa suara Bapak kurang jelas?”
Dengan setengah terpaksa Bisma maju, Zui dan Nana yang berada di depan memperhatikan ke ogahan pemuda itu.
“Selesaikan.” Pak Kris menyerahkan spidol.
Zui terkesiap karenanya.