Arga telah tiba di Rumah Sakit, dia dan Mamanya menunggui sang Ayah yang belum membuka mata dari tadi. Dalam keheningan, Yuliana langsung menanyai soal Bisma pada putra sulungnya.
“Bagaimana, Ga? Apa kata Bisma?” Yuliana menunggu jawaban.
Arga menggeleng lemah dan membuang dirinya di sofa. Bingung memikirkan kemungkinan yang telah terjadi.
“Enggak tahu, Ma. Bisma hanya bilang kalau dia menyelesaikan ulangan dengan baik, aneh nggak sih. Lalu, kenapa Ayah marah?”
Yuliana memikirkan ucapan Arga. Dia pun tidak tahu di mana letak kesalahan Bisma.
“Kita tunggu Ayahmu sadar, dulu. Kalau seperti itu, Mama pun tidak tahu di mana kendalanya.”
Suara ketukan di pintu, mengakhiri percakapan mereka. Keduanya mendongak menatap ke arah pintu bersamaan.
Tok tok tok.
“Mungkin itu Bisma, Ma,” tebak Arga.
Yuliana bangkit untuk membuka pintu, wajah yang tadinya cemas berubah ramah saat melihat rekan kerja suaminya datang untuk berkunjung.
“Selamat malam, Bu. Kami mendapatkan kabar jika Pak Bram sedang di rawat di sini,” ucap Pak Adri mewakili rekan yang hadir.
Yuliana heran, dia tidak mengatakan pada siapapun jika suaminya masuk ke dalam rumah sakit. Meski begitu, Yuliana tetap menyambut semuanya dengan ramah.
“Iya, Pak. Silahkan masuk.”
Yuliana sedikit khawatir, takut suaminya akan marah, Bram tidak menyukai rekan di bawah kepemimpinannya. Sikap bermuka dua, menyanjung saat di depan dan mencela saat di belakang adalah sifat yang sangat di benci Bram.
Satu persatu rekan sang suami masuk ke dalam ruangan, Arga yang melihat Mamanya kedatangan tamu ikut berdiri menyambut mereka.
"Silahkan masuk, om."
"Eh, Nak Arga, ya?" tebak salah satu staf yang datang berkunjung.
"Iya, om. Om kenal saya?" tanya Arga.
"Iya, siapa yang tidak mengenal keluarga Pak Walikota. Pak Bram memiliki dua orang putra, kami telah mengenal Bisma, jadi ini pasti adalah Arga."
"Benar, om." Arga tersenyum canggung.
Mahendra dan keluarganya berada di urutan terakhir. Saat mereka memasuki ruangan. Arga menoleh menatap Zui yang tersenyum ramah kepada semua orang.
“Tolong diterima bingkisannya, Tante.” Zui menyerahkan keranjang buah pada Yuliana. Sikap Zui membuat ibu dua orang anak itu tersenyum.
“Terima kasih, maaf ini siapa?” tanya Yuliana.
Dia tidak tahu jika rekan kerja suaminya ada yang semuda Zui.
“Dia adalah putri saya, Bu. Namanya Rizuka dan ini adalah istri saya Rihana,” ucap Mahendra menjelaskan.
Yuliana tersenyum melihat Zui yang santun.
“Saya Zui, Tan.”
“Cantik sekali seperti orangnya.”
"Terima kasih."
"Mari, Jeng. Silahkan masuk," Yuliana menyambut Rihana dengan hangat.
Rihana mengangguk sopan, dia pun masuk bersama Zui dan berkumpul di dalam ruang rawat Bram. Semua orang penasaran kenapa Bram tiba-tiba pulang dan masuk ke Rumah Sakit. Perjalanan ke luar kota yang di lakukan Bram, di jadwalkan kembali minggu depan. Kedatangannya yang tiba-tiba menyisahkan penasaran.
“Ada apa sebenarnya, Bu. Perasaan Pak Bram baik-baik saja sebelum berangkat, lalu kenapa tiba-tiba seperti ini?” tanya Pak Syamsul.
Yuliana takut salah menjawab dan menyerahkan semuanya pada Arga, saat Mamanya menoleh, Arga yang mengerti maksud Yuliana langsung menjelaskan semuanya.
“Nggak tahu, Pak. Tahu-tahu drop, aja. Bapak-bapak tahu Ayah saya masuk ke Rumah Sakit dari mana?” tanya Arga sopan.
Mereka terlihat berunding, beda dengan Zui dan keluarganya.
“Kami tahu dari kantor, makanya langsung ke sini rame-rame, semoga Bapak cepat pulih dan bisa kembali bekerja.”
Arga dan Mamanya saling menautkan tangan, jawaban itu terdengar tidak masuk akal karena Arga maupun Mamanya tidak mengabari siapa pun.
Rizuka terus melihat ke arah Bram yang tertidur, Arga memperhatikan gadis itu.
Tidak ada Bisma di sana membuat Rizuka berasumsi bahwa Bisma tidak cukup dekat dengan sang ayah.
Lama mengobrol dan berbasa-basi, Bram tidak juga bangun walau mereka terkadang cekikikan.
“Bapak-bapak, sebaiknya kita pulang dulu. Sudah larut malam, anak-anak besok sekolah. Kami mohon pamit,” ucap Mahendra.
Pak Adri dan Pak Syamsul yang mengagumi kecerdasan Zui, menyetujui untuk pulang juga.
“Baik, Pak Mahendra. Zui memang harus segera pulang, gadis cerdas sepertinya harus cukup tidur.”
"Zui, om sudah mengatakan pada Ayahmu. Jika mencari calon menantu, pilih anak om saja. Anak om namanya Riki, teman Bisma. Zui kenal?"
Rizuka menatap Ayahnya lekat, lalu diapun menggeleng ke arah Pak Syamsul.
Tawa Pak Adri pecah melihatnya.
"Ha ha ha ha, memang bukan rezeki Bapak."
Zui memang tidak mengenal satupun teman Bisma, begitupun dengan Riki.
Arga dan Yuliana kini tahu jika gadis itu satu sekolah dengan Bisma.
Mahendra hanya tersenyum.
"Sudahlah, kita lanjut lagi nanti." Mahendra pun pamit pada Yuliana dan juga Arga.
“Kami pamit, Bu. Semoga Bapak cepat sembuh.”
Yuliana menyalami Mahendra, Zui dan Rihana.
“Terima kasih sudah mengunjungi kami,” ucapnya sopan.
Semua orang mulai bubar meninggalkan ruangan setelah menyalami Bu Yuli. Setelah pintu tertutup sempurna, Arga dan Mamanya kaget melihat Bram telah duduk di tempat tidurnya.
“Ayah! Teman-teman Ayah baru saja pu ....”
“Mereka bukan teman Ayah,” ucap Bram sebelum Arga menyelesaikan ucapannya.
Bram sangat kesal, suara berisik mereka membuat Bram terganggu.
“Kenapa mereka bisa berada di sini?” Yuliana menegang melihat Bram.
“Entahlah, Yah. Katanya mereka tahu dari kantor,” jawab Arga.
Bram mengepalkan tangan.
“Siapa yang menyebarkan? Tidak mungkin berita itu muncul begitu saja.”
Arga mendekati sang Ayah yang kembali emosi.
“Yah, Ayah baru saja pulih. Tolong jaga kesehatan Ayah, jangan memikirkan apapun dulu.”
Bram yang baru sadar menatap ke sekeliling.
“Di mana Bisma! Di mana Adikmu?” Bram mencari seperti kesetanan.
“Wow, wow, Ayah tenanglah.”
“Mas, sebenarnya apa yang terjadi? Kenapa Mas begitu marah pada Bisma?”
Arga tidak yakin melihat kondisi Ayahnya.
“Ma, sebaiknya aku panggil dokter dulu.”
“Tidak perlu, ayah akan katakan. Bisma selama ini tidak bodoh, dia hanya sengaja mempermalukan Ayah di depan semua orang. Guru Bisma melaporkan jika anak itu menyelesaikan ulangannya dengan cepat. Mau di taruh di mana muka Ayah, Ga. Bisma mempermainkan pendidikannya. Dia menghukum Ayah dengan cara ini.”
Jantung Bram mulai kumat lagi, napas lelaki itu mulai tersenggal dan meremas dadanya yang kesakitan.
“Yah, tenanglah. Mungkin semua itu hanya kebetulan saja,” ucap Arga.
Pemuda itu dengan cepat menekan tombol darurat yang berada di samping brangkar Bram.
“Hal ini bukanlah kebetulan, Bisma dari dulu pintar, Ga. Hanya saat dia memasuki bangku menengah atas, adikmu itu di luar kendali!”
Bram ambruk memegang dadanya.
“Mas! Arga segera panggil Dokter,” ucap Yuliana panik.
Arga menekan tombol darurat berkali-kali.
“Ayah, bertahanlah.”
"Ayah akan menghukumnya, lihat saja nanti!"
Dokter masuk bersama dengan suster bersamaan.
"Dok, tolong."
Suster langsung menggiring mereka keluar.
"Silahkan tunggu di luar."
Yuliana pucat pasi melihat suaminya kesakitan.
"Ayo, Ma. Biarkan mereka bekerja. Semoga Ayah baik-baik saja."
"Mama tidak akan memaafkan Bisma jika omongan Ayahmu benar! Kami menahan malu, memikirkan kebaikan adikmu itu, lalu apa sekarang!"
Arga sangat sedih melihat keadaan keluarganya.
"Anak itu sudah keterlaluan!"