“Sudah ketemu, Ma?” tanya Arga saat tiba di rumah.
Pemuda itu langsung menemui Mamanya yang gelisah. Bram belum menampakan diri, membuat seluruh keluarganya merasa cemas.
“Belum, Mama sudah berkeliling dari tadi. Sebaiknya kamu menuju ke kantor, Ga. Siapa tahu, Ayahmu ada di sana,” usul Yuliana.
Tanpa pikir panjang, Arga langsung meluncur ke kantor walikota yang berada tak jauh dari perusahaan Arga. Belum habis kecemasan dengan keadaan Bisma. Arga kini kembali di pusingkan dengan pencarian sang ayah yang entah di mana.
Di kantor walikota saat ini. Suasana sedang riuh. Video perkelahian Bisma tempo hari menyebar dengan cepat membuat orangtua Geng Bisma meradang.
“Wah, anak Pak Bram sudah kelewatan. Dia berulah selama ini nggak masalah. Ajak anak-anak kita manggung sampai telat ujian juga masih di toleran. Tapi, kalau udah main tangan begini. Nggak bisa di biarin.” Pak Adri merasa panas melihat video itu.
Beberapa staf yang lain menenangkan, bagaimanapun juga. Bram adalah atasan mereka.
“Sabar, Pak. Jangan sampai itu hanya video dari orang iseng. Takut kita semua hanya salah paham saja.”
“Nggak bisa gitu dong, Pak. Anak kami terluka. Wajahnya sampai bonyok di hajar oleh Bisma. Pak Bram harus bertanggung jawab atas semua ini,” ucap Pak Syamsul emosi.
Lelaki itu mengamuk, dia sudah curiga jika putranya bonyok karena berantem.
“Kalau masalah ini di biarkan, takutnya kedepannya putra Pak Bram akan semakin menjadi. Anak Pak Bram itu membawa pengaruh yang buruk pada anak-anak kita. Jangan mentang-mentang Bapaknya orang penting hingga berbuat seenaknya seperti ini.”
“Betul itu, Pak. Kita harus tegas!” ucap orangtua Tomi.
“Andra sampai tidak bisa membuka mulut, pas saya tanya kenapa. Anak saya hanya bilang jatuh,” sahut Papa Andra.
Mereka semakin panas dan tidak terkendali.
“Kita harus mendatangi rumahnya! Pak Bram harus tahu semua ini, titik.”
ke empat orangtua The Genk Bisma bersatu menuju ke rumah Bram.
“Sabar, Bapak-bapak. Kita selidiki semuanya lebih dulu. Jangan terburu-buru seperti ini. Kasihan Pak Bram, dia baru saja pulang dari Rumah Sakit. Bagaimana jika sakitnya kumat, semuanya akan tambah kacau.” Mahendra Ayah Zui yang diam dari tadi mulai angkat bicara.
“Bapak enak sekali mengatur kami, Bapak bilang begitu karena bukan Bapak yang mengalami. Apa yang di lakukan Bisma sudah sangat keterlaluan.” Ayah Ryan langsung meng skatmat Ayah Zui.
Hati siapa yang tidak murka jika buah hati kita di pukuli oleh orang, kendati anak itu sudah sama-sama remaja dan bisa membela diri.
“Apa ini masuk di akal, Pak. Empat anak laki-laki tidak bisa melawan satu orang? Tenangkan dulu hati Bapak-bapak sekalian. Jangan sampai kita salah berasumsi,” ucap Mahendra.
Semua staf menatapnya dengan pandangan yang aneh.
“Maksud Bapak apa? Jadi maksud Bapak video ini bohong. Jadi anak-anak kami yang bersalah sedang anak Pak Bram yang benar begitu?”
Mahendra sadar telah melukai perasaan rekannya.
“Maafkan saya, Pak. Saya tidak bilang seperti itu.”
Pak Syamsul menatap Mahendra kecewa, bisa-bisanya Ayah Zui masih mencoba berpikir positif setelah apa yang terjadi.
“Lagi pula, saya heran, kenapa anak bungsu Pak Bram seperti brandalan, sangat kasar. Beda sekali dengan Kakak laki-lakinya. Dari awal Pak Bram memang tidak bisa mendidik putranya. Bagaimana dia bisa mengurus kota kita, jika mendidik satu anak saja tidak becus,” sahut Papa Andra.
Suasana semakin menjadi, tak ada lagi respect atas Bram setelah video perkelahian Bisma dan Gengnya di tonton oleh semua staf yang ada di kantor. Seseorang dengan sengaja menyebar luaskan video itu setelah memotongnya di beberapa bagian. Hingga hasilnya, Bisma terlihat memukuli semua orang tanpa memberi kesempatan pada lawannya untuk membalas.
“Ini tidak bisa di biarkan. Jika begini terus, anak-anak kita akan terus menjadi samsak tinju anak Pak Bram.”
Mahendra hanya bisa diam mematung. Video berdurasi beberapa menit itu membuatnya tertegun. Rizuka putri kebangaannya ikut berada di sana.
Mahendra tidak dapat meredakan amarah semua orang.
“Pak, bukankah putri bapak juga di sana? Bagaimana bisa putri Bapak yang katanya cerdas dan sopan malah lebih membela Bisma dari pada anak-anak kami yang telah di pukuli dengan membabi buta seperti ini.”
Mahendra diam, ya, lelaki itu terbiasa bungkam dan tidak bicara saat mendapat masalah sedang dia tidak tahu hal apa yang sebenarnya terjadi.
“Bapak nggak merasa takut? Bisma itu nakal, Pak. Jika dia mendekati anak perempuan, Bapak. Lalu apa jadinya nanti?”
Satu per satu sesama staf mulai mengompori Mahendra. Ayah Zui hanya bisa mengurut d**a dengan sabar sebelum mendengar semua penjelasannya dari Rizuka.
“Kami hanya peringatkan Bapak. Ini untuk kebaikan Bapak dan putri Bapak. Sebaiknya minta putri Bapak menjauhinya.”
Arga yang berada di ujung pintu masuk, memilih kembali, dia tidak jadi mencari ayahnya di kantor. Arga yakin ayahnya tidak ada di sana karena para karyawan sedang heboh berdebat.
Saat Arga akan pergi, Mahendra-ayah Rizuka berjalan keluar mendahuluinya. Langkah Ayah Rizuka terhenti karena menyadari kehadiran Arga.
“Hey, bukannya kau yang di Rumah Sakit kemarin?” ucap Mahendra dan menjabat tangan Arga.
Abang dari Bisma itu hanya bisa tersenyum, canggung. Pemuda itu kepalang basah bertemu dengan staf bawahan sang Ayah.
“Iya, om.”
“Ucapan yang lain jangan di ambil hati, ya. Mereka sedang marah, nanti juga redah.”
Arga terpukul mendengar hinaan yang di tujukan kepada sang Ayah.
“Tidak apa- ....”
“Nah ini dia Kakaknnya si bradalan itu!” ucapan Arga terputus oleh Pak Syamsul yang merasa geram.
Semua staf keluar dan mengelilingi Arga, tatapan kesal terlihat di wajah orangtua yang anaknya di pukuli.
“Di mana anak itu! Dia harus bertanggung jawab atas apa yang dia lakukan pada anak-anak kami!”
Arga mengepalkan tangan, dia merasa geram atas tuduhan yang di arahkan pada sang adik.
“Tenang Bapak-bapak. Jangan main hakim sendiri.” Mahendra mengingatkan rekan-rekannya.
“Bapak jangan ikut campur, ini bukan masalah sepele lagi. Bisma sudah sangat keterlaluan.”
Telinga Arga terasa panas, walau dia cukup menghargai usaha Mahendra yang melindunginya.
“Baguslah, kita semua berkumpul disini, saya juga datang untuk meminta pertanggung jawaban.” Semua orang diam mendengar ucapan Arga.
Mahendra kini menoleh menghadap pemuda itu.
“Adik saya terbaring lemah di Rumah Sakit, dia korban pemukulan dan saksi mengatakan beberapa anak laki-laki berseragam sekolah yang sama menghajar Bisma lalu meninggalkannya terkapar di tengah jalan.”
Semua yang berada di ruangan itu, tertegun.
“Jangan fitnah kamu!”
“Hey!” tunjuk Arga lantang. Amarahnya terpancing. Tuduhan itu sangat membuatnya marah
“Saya pastikan, jika anak-anak kalian terbukti menganiaya adik saya maka. Tempat mereka akan berakhir di penjara.”
Arga berlalu setelah mengatakannya, langkah pemuda itu pasti. Meninggalkan para staf yang merana karena khawatir.