Bagian 6, Perempuan Itu

1267 Words
Kita bukan dua sisi koin yang berlawanan *** "Menurut kalian siapa?" tanya Cessa pada kedua sahabatnya. Kebetulan mereka tengah berteduh di bawah pohon akasia, menunggu pergantian jam karena pengambilan nilai olahraganya sudah selesai. Renata mengangkat telunjuknya, mengarahkan pada beberapa siswi. "Anggi?" Cessa dan Davina ikut mengalihkan perhatian pada cewek tinggi kurus yang sering mengepang rambutnya. Cessa menyipit karena sinar matahari yang tepat menyorot ke arah mereka, kemudian menggeleng. "Kayaknya bukan, dia udah punya cowok." Renata menganggukan kepala, kembali menggerakan jemari. "Kalau Zia?" Cessa menatap cewek yang dimaksud Davina. "Dia emang imut banget, tapi Dennis gak suka sama tipe polos-polos gitu. Dia gampang kesulut emosi, pasti mikir-mikir kalau mau deketin cewek kaya Zia." Renata dan Davina saling bertukar pandangan. Cessa seolah paling hafal tentang Dennis. Padahal di depan orang-orang, mereka seperti tikus dan kucing. Cewek itu selalu mengatakan membenci Dennis, pun sebaliknya. Mereka seketika terdiam melihat cewek berkucir kuda melintas sambil memeluk botol air mineral. Ketiganya saling mencuri pandang hingga Cessa menggeleng keras. "Gak mungkin. Anjlok banget kalau beneran dia yang Dennis taksir," ujar Cessa penuh keyakinan. Masalahnya ia sangat tahu tipe cewek Dennis seperti apa. Dan Leana tidak termasuk ke dalamnya. "Terus tipe cewek Dennis yang sebenernya kayak gimana?" tanya Davina. Cessa yang tadinya menggembu-gembu langsung mengerjap. Kedua sahabatnya malah berbalik mengintrogasi. "Em tipe Dennis ... y-ya gitu. Udahlah gak penting. Sekarang gue cuma perlu tahu siapa cewek itu." Renata sempat melirik Davina yang menggeleng pelan, kembali beralih menatapnya. "Lo yakin dia sekelas sama kita?" Cessa mengangguk.  "Makanya bantu gue." "Buat gagalin pendekatan mereka lagi?" tanya Davina. Seperti sebuah sindiran. Cessa mengangguk. Kernyitan di dahinya begitu dalam. "Emang lo gak capek dimarahin terus sama Aden?" tanya Renata sambil mengipasi wajahnya, "Dia yang biasanya pecicilan berubah jadi monster dan itu cuma kalau marah sama lo." "s**t!" umpat setelah membaca chat di ponselnya, mengabaikan ucapan Renata yang kini menggelengkan kepala. "Lo dengerin gue ngomong, kan, Ces?" sebal Renata. "Iya iya gue dengerin," jawabnya sibuk membalas chat. "Si Caka nyebelin banget sih, maksa mau jemput." "Dia 'kan cowok lo. Wajar, kan?" pancing Davina membuat cewek itu berdecak. "Wajar gimana sih? Orang gue pacaran sama dia ju-" Cessa menghentikan ucapannya. Ia hampir keceplosan. "Apa? Kok berhenti?" Cessa melengos mendengar pertanyaan menjebak Renata. Matanya berbinar mendapati sosok penyelamatnya, cewek itu berdiri. "Sam! Ajarin dong!" Cowok berlesung pipi itu menoleh dan melambaikan tangan. Cessa berlari kecil ke arah Sam, mendorong Lino hingga menubruk temannya yang lain. "Sam ih! Gue belum siap!" sebalnya karena lemparan bola Samudra hampir mengenai kepalanya. "Sam! Jangan ketinggian dong!" "Ih Samudra, kerasan dikit lemparnya kenapa sih?" "Heh Siti! Tinggal lari dikit kejar bolanya. Rempong amat sih!" omel Lino mendorong bahunya. "Udah sana lo! Gabung sama anak cewek." Cessa melirik pada kumpulan siswi yang dimaksud. "Gak ah males, yang ada gue gak bisa-bisa." "Dan lo di sini malah ganggu kita," balas Lino tak mau kalah. Cessa menaikan sebelah alis lalu mengarahkan tatapan ke sekitar. "Emang gue ganggu kalian?" Para cowok dengan serempak menggelang. Cessa tersenyum puas. Berbeda dengan Lino yang langsung mengumpati mereka semua. "Udah deh, rakyat jelata mending minggat!" usir Cessa. "Yeuuu sok cantik banget sih!" Lino hendak mendorong dahinya, tapi dengan cepat Cessa menghindar. "Emang gue cantik. Kenapa? Naksir?" "Hahaha, pede banget sih lo." tawa Lino. Cessa melengos, berdebat dengan Lino hanya akan membuat wajahnya keriput. Akhirnya ia berpindah tempat ke sebelah Samudra. "Udah, gak usah diladenin. Capek hati kalau ngomong sama dia." Samudra berbisik di dekat telinganya. Tatapan cowok itu tampak ... hangat. *** Dennis berjalan sambil bersenandung kecil. Ia baru selesai membeli pulpen dari koperasi. Suasana koridor terasa sepi karena sudah masuk jam terakhir pembelajaran. Langkahnya memelan mendengar seseorang yang berbicara di dekat toilet. Suara tak asing tersebut menarik atensinya. "Gue harus bilang berapa kali sih? Gak usah jemput! Gue ada ekskul." Dennis menaikan sebelah alis, mendapati sosok bertubuh tinggi sedang berdiri membelakanginya. Cewek itu tengah berdebat dengan seseorang lewat telepon. "Terserah! Lakuin apapun yang lo mau." Cessa mendesis kesal dengan kaki yang mulai menendang dinding di depannya. Dennis semakin dibuat penasaran. Ia menyandarkan badannya di tiang penyangga. Menunggu apa yang akan diucapkan Cessa selanjutnya. "Oh ya? Lo ngancem?" Cewek itu terkekeh, tapi sebelah tangannya mengepal. "Laporin aja! Bilang sama mereka kalau gue yang selingkuh dan gu-" Ucapan Cessa terhenti, disusul u*****n yang keluar dari bibir tipisnya karena Caka mematikan sambungan. "s****n!" Dennis mendengkus kecil, melanjutkan langkah tanpa menampakan wajahnya. Itulah Cessara dengan segala sikap yang tidak Dennis sukai. Bicaranya kasar, sering mengumpat dan juga licik. Dennis dapat menebak dengan siapa cewek itu berdebat. Ia yakin pertengkaran mereka adalah Cessa penyebabnya. Cewek itu mungkin ketahuan selingkuh, mengingat betapa banyak cowok yang mengelilinginya. "Aden?" Suara lembut itu membuat Dennis menoleh. Sebuah senyuman tersungging di bibirnya mendapati keberadaan Lea. "Hei abis dari mana?" Dennis berjalan mendekat. "Abis dari UKS." Raut wajah Dennis berubah khawatir, refleks menyentuh dahi cewek itu. "Kamu sakit?" Lea yang terkesiap melangkah mundur, raut salah tingkahnya membuat Dennis gemas. "Eng-enggak, tadi cuma pusing dikit mungkin karena gak sempet sarapan. Aku punya maag." "Harusnya kalau gak sempet, bawa bekel," ujar Dennis lembut dan penuh perhatian. Wajah Lea memerah dengan perlakuan cowok itu. "I-iya em aku lupa." Dennis berdecak. "Lain kali disempetin, gimana kalau nanti pingsan di sekolah kayak-" seperti disadarkan akan sesuatu, Dennis terkesiap. "Kayak siapa?" Lea tampak penasaran, terlebih melihat perubahan di wajah cowok itu. Dennis berdehem. "Kayak di sinetron-sinetron," ucapnya padahal bukan itu yang hendak ia katakan sebelumnya," ... atau kamu mau kayak gitu? Nanti aku yang gendong kamu ke UKS terus-" "Aden!" potong Lea malu. "Udah ah!malah ngelantur." Dennis tersenyum miring, tidak sulit mendekati cewek kalem di depannya. "Aku ke kelas duluan deh, gak enak kelamaan." Dengan berat hati Dennis mengangguk. Sebenarnya ia masih ingin berlama-lama melihat senyuman Lea yang menentramkan jiwa. "Ya udah hati-hati," ujar Dennis. Cewek itu mengangguk, tapi baru beberapa langkah, panggilan Dennis membuatnya menoleh. "Apa?" "Jangan kangen." Lea tertawa meski tak dapat menyembunyikan kegugupannya. Cewek itu melanjutkan langkah meninggalkan Dennis yang terkekeh, tidak sadar ada yang memperhatikan sejak tadi. Renata tampak tak percaya dengan keakraban kedua sejoli itu. Ia tidak bisa membayangkan kalau Cessa mengetahuinya. Meski cewek itu tidak pernah jujur tentang perasaannya, tapi Renata tahu bahwa sahabatnya menyukai Dennis. Dan Caraka? Entahlah, ia tidak yakin kalau Cessa mau dengan suka rela menjadi pacar cowok playboy itu. *** Cessa masih tetap berlatih padahal semua anggota ekskul sudah angkat kaki sejak dua puluh menit lalu. Ia tampak tak merasa lelah meski peluh membanjiri tubuhnya. Mengingat pemilihan untuk perlombaan dance akan diadakan, Cessa ingin melakukan yang terbaik dan menjadi perwakilan sekolahnya. Lagu masih terus berlanjut. Namun, Cessa menghentikan gerakannya. Ia menjatuhkan badan dan tidur terlentang, nafasnya terdengar beradu. Dering ponsel tak membuatnya bangkit. Cessa tahu siapa yang berusaha menghubunginya. Membiarkan cowok di seberang sana murka hingga mereka bertengkar hebat tak masalah. Toh nanti mereka akan kembali berbaikan. Bahkan setelah harga dirinya diinjak-injak, Cessa akan dengan rendah hati bersikap seolah tak terjadi apapun sebelumnya. "Gue suka sama lo," lirih cewek itu menatap langit-langit ruangan dengan sendu. Lagu sudah berakhir, pun ponselnya yang tak lagi berbunyi. Namun, Cessa masih tak beranjak. Hanya tempat ini yang menjadi tempat ternyamannya. Rumahnya sangat sepi, makanya Cessa selalu sengaja memutar lagu keras-keras. Atau ia lebih sering bermain di luar. Kadang Cessa berjalan sendiri tanpa arah. Memutari setiap sudut kota dengan pikiran melayang. Ia seperti mencari sesuatu yang hilang meski tak kunjung menemukan. "Sejak dulu, sebelum lo ketemu Citra," tambahnya dengan nada bergetar. Dadanya terasa sesak sekarang. "Gimana cara perbaiki semuanya? Berhenti lakuin hal konyol itu malah bikin lo seneng karena berhasil menjauh dari gue." Hening, hanya embusan nafasnya yang terdengar. "I love you." Cessa memejamkan matanya, bibir tipisnya kembali terbuka. "Raden Niswara Pratama."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD