Tak Seperti Yang Dipikirkan

1499 Words
Agam lagi-lagi melirik ke arah keponakannya ketika pulang ke rumah orangtuanya. Dua keponakan yang lahir tanpa adanya pernikahan dari orangtuanya. Sampai sekarang dia masih tidak bisa habis pikir dengan kakak kandungnya yang tepat di atasnya masih berlaku sama seperti dulu. Membanggakan kesalahannya di masa lalu. Dua anak masih belum cukup menyadarkannya. David masih sibuk dengan main wanita, tidak memikirkan perkembangan anaknya bagaimana. Hanya menghidupi tanpa memberikan perhatian lebih. Sedangkan Agam tidak menyukai kakaknya dari dulu tentang hidupnya yang bebas. Setiap kali pulang akan diajak ke tempat-tempat aneh yang dijauhi oleh Agam. Banyak alasan untuk tidak bergabung dengan kakak sendiri dalam hal pergaulan. Bisnis kakaknya juga bagus. Tidak serta-merta menggerakkan hati Agam untuk tertarik dengan kehidupan mewah sang kakak. Terbilang kehidupan yang serba ada. Apa pun yang diinginkan tinggal menjentikan jari dengan mudah. Barang yang diinginkan hanya perlu waktu hitungan jam untuk menghadirkannya. Tapi bagaimana dengan dua anak yang di hadapannya ketika dia pulang selalu dihampiri lalu anak-anak duduk di sebelahnya untuk bertanya kenapa dia jarang pulang. Sedangkan kalau bisa, dia yang ingin membawa dua anak ini. Tapi sayangnya Fera tidak memperbolehkan Agam membawa dua anak yang dirawat baik di sini. Memang belum bertanya mengenai ibu mereka. Tapi nanti, di suatu masa mendatang keduanya pasti akan dicari oleh ibunya, atau bahkan ketika mereka sudah tumbuh dan paham mengenai orangtua. Mereka akan bertanya ke mana ibu mereka. Lahir dari rahim yang berbeda. Dengan cara yang salah juga dalam pergaulan orangtua. David, pria yang masih belum tersadarkan atas kesalahan di masa lalu yang diperbuat. Belum ada kesadaran yang mampu menyentuhnya agar merasakan penyesalan. Agam merangkul mereka berdua yang duduk di sebelahnya. “Kenapa nggak pernah minta jalan-jalan lagi sama Om? Biasanya kalian minta waktu bertiga aja sama Om.” “Kata Nenek, Om sekarang sibuk. Jadi kita nggak pernah minta jalan-jalan lagi.” Ujar Canis. Leo yang mengayunkan kakinya sambil memeluk Agam. “Om tapi sehat, kan?” “Sehat, kalian sendiri bagaimana?” Keduanya menjawab kompak bahwa kabar mereka baik-baik saja. Mendengar suara mobil, keduanya melompat dari sofa untuk keluar. “Papa pulang.” Kata keduanya yang pergi dari ruang keluarga. Terdengar lagi suara keduanya masuk beberapa menit kemudian. Keduanya membawa box mainan yang cukup besar. Masing-masing mendapatkan satu sesuai dengan jenis kelamin mereka. Canis mendapatkan mainan rumah barbie, sementara Leo mendapatkan mobil-mobilan lengkap dengan lintasannya. Terlihat dari box yang mereka bawa dan itu sangat besar sekali. David juga masuk membawa mainan yang lain. Kalau soal kebutuhan, keduanya tidak pernah kekurangan. Tapi berbeda dengan kasih sayang seorang ibu, mereka tidak pernah mendapatkan itu. “Kapan pulang, Gam?” sapa David yang duduk di sofa sebelahnya. Pria itu terlihat santai sekali. “Aku baru nyampe, ditelepon sama Mama. Ini anak-anak dibeliin mainan terus?” “Nggak, kakak baru pulang dari Batam. Ada urusan beberapa hari. Mereka yang minta dibelikan mainan. Jadi kakak beliin tadi pas pulang ke sini.” Kedua anak-anak itu terdengar sangat senang sekali mendapatkan mainan baru. Mereka berterima kasih kepada David. Pria itu membantu membuka isolasi mainan anak-anak. “Papa mau mandi dulu, ya. Kalian di sini dulu.” Dia beranjak dari ruang keluarga. “Mama di mana, Gam?” “Mama masih dandan. Tadi pas aku ke sini baru selesai mandi. Jadi anak-anak yang temenin.” Jawabnya dengan jujur. Agam memerhatikan keduanya yang sedang merakit mainan mereka berdua. Agam yang duduk di sofa akhirnya pindah untuk membantu mereka berdua. “Om, bantuin yang besar ini.” Terdapat dua kotak yang untuk mereka berdua. Leo satu lintasan yang besar. Lalu Canis dengan istana yang besar sekali harus dirakit. “Tempat mainan kalian di mana? Kita rakit di sana. Soalnya kalau di sini nanti harus dipindahkan.” Anak-anak menunjuk ke satu tempat yang tidak jauh dari sofa ruang keluarga. Ia membawakan mainan itu ke sana sebelum dirakit agar tidak terlihat penuh di ruang keluarga. Kedua anak itu dengan kompak saling membantu. “Om, Papa kerja atau ketemu Mama?” Baru saja Agam khawatirkan soal itu. Tapi pertanyaan Canis seketika membuat gerakan Agam terhenti yang membahas mengenai seorang ibu untuk mereka. Memang selama ini tidak pernah ada pertanyaan seperti itu. Tapi lambat laun juga akan bertanya. Belum satu jam Agam berpikir soal ibu mereka berdua. Tapi sudah ditanya seperti itu bukankah itu juga sudah menandakan mereka sudah paham arti orangtua lengkap? Sedangkan usia mereka juga masih kecil-kecil. David memang memiliki pesona yang sulit ditolak oleh wanita lain. Selain tampan, pria itu juga mudah sekali untuk janji-janji tidak jelas. Omongannya sangat manis, wanita mana yang tidak terbuai dengan pria yang bukan gombal, tetapi dia bisa membawa siapa saja ke ranjangnya tanpa berpikir panjang mengenai apa yang akan terjadi ke depannya. Ini baru dua orang yang minta tanggung jawab waktu itu. Tapi bagaimana dengan wanita lain di luar sana yang tidak diketahui oleh keluarga mereka? “Om kok nggak jawab?” Agam mencoba mengalihkan pembicaraan. “Mobilnya Leo pasangin baterai, terus langsung taruh keduanya biar bisa balapan, ya.” Leo mengambil mainannya lalu diisikan baterai yang juga sudah tersedia di kotak mainan tadi. Fera menghampiri mereka bertiga sedang main di tempat anak-anak biasa bermain. “Waaah, mainan baru lagi nih.” Fera bergabung yang membantu Canis untuk merakit mainannya. Agam mencolek mamanya untuk pindah ke tempat lain. Wanita paruh baya itu mengiyakan. “Kalian main dulu, ya. Nenek mau ngobrol sama Om di sana.” Anak-anak memberikan izin. Agam sendiri juga sudah muak dengan kelakuan sang kakak yang sejauh ini membuat kesalahan. Berlari dari kehidupan nyata yang indah. Justru membuat kesalahan yang amat besar merugikan orang lain. menjadikan anak korban. Tapi tidak pernah merasa bersalah. “Mereka nanyain Mama mereka, Ma.” “Ya, bukan pertama kalinya. Ini udah lama kok Canis sama Leo tanya itu. Tapi kakak kamu nggak pernah jawab. Meskipun dia terlihat tidak peduli. Dia sangat peduli sebenarnya, mereka tidur bertiga. Dia menjadi ayah sekaligus ibu untuk dua orang anaknya. Tapi hanya kakak kamu yang tidak mengerti bagaimana memberikan kasih sayang. Yang dia berikan hanyalah sebuah kebahagiaan yang seperti ini.” “Kakak nggak niat menikah?” “Ada, Papa kamu pernah tanya. Dia jawab akan jadi ayah tunggal saja. Dia jawab kalau ada orang yang mau terima dua anaknya, dia pasti menikah. Karena David nggak mau anak-anaknya tumbuh dengan wanita yang salah.” “Kalau emang tidak mau, kenapa dia dulu bikin? Apalagi dua orang berbeda, Ma.” Fera tidak akan pernah menyalahkan David apa pun kesalahannya. Agam sendiri sudah tahu kelakuan wanita itu yang terus saja membela kesalahan yang dilakukan pria itu. Jujur saja kalau sebenarnya Agam sudah sering protes dengan cara begini. Namun, tidak ada reaksi apa pun yang dia dapatkan dari orangtuanya kalau protes tentang hidup David. Yang pasti kakaknya akan dibela habis-habisan oleh orangtuanya. “Papa ke mana, Ma?” ia mengalihkan pembicaraan karena tahu kalau mamanya akan membela kakaknya. Agam sudah mengalihkan semuanya karena takut sindir oleh sang mama. “Papa belum selesai kerja. Nanti pasti kalau udah kelar balik lagi.” Obrolannya berlanjut membahas banyak hal. Termasuk asmaranya Agam. Dia sendiri berkenalan dengan salah satu wanita karena teman-temannya. Tapi belum sempat dia temui karena sibuk bekerja akhir-akhir ini. Jadi, sementara waktu dia hanya mengabari dari chat saja. Itupun kalau Kadita sedang tidak sibuk. Dia juga sedang banyak kegiatan, jadi Agam memahaminya. Sampai malam dia berada di sana. “Papa ada kenalan, kamu mau nggak dikenalin?” Pertanyaan itu tiba-tiba terlontar dari papanya. Bukannya tidak mau menurut, tapi ia sedang pendekatan dengan Kadita. Sayang kalau tidak dilanjutkan, karena perkenalan waktu itu dia rasa juga sudah cukup baik. Chat juga selalu lancar, Kadita membalasnya dengan cepat. Jadi dia merasa diprioritaskan. Agam menjawab dengan sopan. “Aku ada calon, Pa. Tenang saja, aku bisa kenalkan nanti ke Papa. Tapi nggak sekarang, ya.” “Yakin?” “Ya, aku sudah temukan calon menantu yang selalu Papa bicarakan tentang kriterianya.” “Apa dia sesuai?” “Ya, sesuai sama yang Papa mau. Tapi tentunya aku juga harus nyaman, Pa.” Agam belum siap untuk kenalkan Kadita karena memang belum resmi jadian dengannya. Mungkin akan dikenalkan nanti. Papanya juga terlihat santai menanggapi. “Asal jangan cari yang di atas kamu. Soalnya kamu cuman karyawan perusahaan swasta, kamu nggak mau bantu Papa di kantor. Jangan sampai kamu direndahkan sama keluarganya. Papa nggak mau kamu sampai dihina, kamu udah kerja keras. Kamu dibesarkan dengan kasih sayang orangtua, soal ekonomi itu bukan masalah besar bagi kamu.” “Ah soal itu, aku nggak terlalu masalah, Pa. Wanita yang akan sama aku pastinya akan nerima apa adanya. Nggak semua wanita bisa dinilai dari penerimaan dia tentang isi kantong seorang pria bukan?” “Nggak semua, tapi orangtuanya harus kamu tahu juga. Nggak semua orangtua mau serahkan anaknya begitu saja. Kamu harus siap-siap soal ini.” Tiba-tiba terdengar suara kakaknya yang ikut bicara. Agam menoleh ketika David bergabung. “Kalau kamu tanya alasan kenapa aku batal nikahi yang dua itu. Jawabannya karena latar belakang orangtua yang nggak nerima. Siapa bilang aku nggak mau tanggung jawab? Mama juga tahu kok soal itu, jadi kalau kamu mikir aku cuman mau anak, kamu salah.”

Great novels start here

Download by scanning the QR code to get countless free stories and daily updated books

Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD